16. THORNS IN SENTENCES

50 25 1
                                    

"SIALAN SIALAN! TIDAK BERGUNA!!" teriakan Kendra mengisi sudut rumah yang sepi itu. Ia berteriak sambil mengumpat menyebutkan setiap nama hewan di kebun binatang dari mulutnya. Kaki itu tak berhenti menendang sesuatu yang berada di dekatnya.

Kenyataan bahwa preman suruhannya telah gagal sangat membuat dirinya emosi. Dadanya naik turun, nafasnya memburu pada saat yang sama. Bagaimana bisa preman seperti mereka kalah dengan satu orang anak sekolah?! Memalukan! Kendra benar-benar malu. "Anak sialan! Lucifer bangsat!" umpatnya tanpa henti.

"Tuan, ada terselip kertas di saku preman bertato itu." sekretaris pria itu menaruh secarik kertas pada telapak tangan Kendra, dengan tulisan seperti ceker ayam yang tak bisa ia baca.

Kertas itu dilempar oleh Kendra, mana mau dirinya membaca tulisan dari anak sekolah itu, apalagi tulisannya ceker ayam begini. Makin malas membaca! "Baca tulisan itu."

Sekretaris Kendra hanya bisa memanggut pelan dan menurut. Ia mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya.

Saya harap perasaan anda baik-baik saja setelah mengetahui bahwa Preman anda ini telah berhasil saya kalahkan.

Tidak apa-apa, Tuan Kendra. Masih ada banyak cara agar anda bisa membunuh saya, tapi saya tidak yakin apakah hidup ada akan bertahan lama sampai semua rencana itu anda lakukan.

Kendra meraih kertas itu dan merobekannya hingga menjadi potongan kecil yang berserakan di lantai. Wajahnya merah padam saat dirinya begitu diremehkan oleh bocah puber tersebut. Tak kehabisan cara, ia menyuruh sekretarisnya itu mencari seorang pembunuh bayaran.

"Jika sudah ditemukan orangnya langsung bawa ke hadapan saya!" Kendra mencak-cak di tempat karena masih kesal dengan tugas preman itu yang gagal.

"Tuan."

"Apalagi?!"

"Saya ragu memberitahu ini, tapi ini cukup penting. Tuan jangan marah setelah mendengarnya."

Kendra mendelik tajam. "Iya apa?! Kasih tau ke saya!" hardiknya yang sudah emosi malah semakin emosi dengan omongan bertele-tele seperti ini.

Sekretaris itu menarik nafas pelan. Bingung bagaimana awal penyampaian yang baik agar Kendra tidak marah. "Apa Tuan ingat piala yang Tuan dapatkan saat ajang kompetisi perusahaan terbaik?"

Kendra sepenuhnya menghadap ke arah sekretarisnya. Matanya melotot tajam saat mendengar piala berharganya diungkit dalam obrolan ini. Piala beharga yang mati-matian untuk ia dapatkan setelah berhasil mengalahkan banyak perusahaan di Indonesia ini. Tentu saja piala itu sekian dari banyaknya harta yang berharga bagi Kendra. Dan ia sudah menyimpan piala itu di tempat yang paling aman dan tidak di ketahui orang, kecuali orang-orang terdekatnya.

"Piala itu hilang, Tuan."

Bagaikan petir di siang bolong, hal itu benar-benar merosotkan bahu Kendra yang tegap. "BAGAIMANA BISA HILANG?!" bahkan amarah Kendra berkali-kali lipat lebih dari yang tadi.

Sekretaris tersebut meneguk salivanya. "Ada pencuri yang masuk ..." ia menjadi kelabakan ketika menjelaskan analisis piala itu menghilang, suara deru nafas Kendra membuat hawa di sekitarnya menjadi dingin dan menyeramkan. "Saya tidak tau pasti bagaimana ia bisa masuk ke ruangan itu, tapi dia berhasil melumpuhkan penjaga di sana."

"Bodoh!" cetus Kendra. "Bagaimana bisa lengah?!" dia berkacak pinggang sambil memberikan sumpah serapah pada pelaku yang telah berani mengambil harta kesayangannya itu.

Pria yang memakai jas abu-abu itu hanya menggeleng samar, dirinya juga tidak tau jelas bagaimana pencuri itu berhasil melakukan semua ini. Yang ia tau saat mengecek ruangan itu lagi, piala itu sudah tidak di sana.

ELGAR: ROBOT'S & FLOW'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang