Aku ingin pulang ke Salatiga, tidur seharian di kasur kamarku. Melupakan petaka saat manggung tadi, dan menonaktifkan sosial media.
Sayangnya nggak akan bisa, karena banyak orang yang akan kena dampak atas kelakuan egoisku, sekecil apapun itu. Aku cuma bisa menelan bulat-bulat segala ketakutan, kemarahan dan kekecewaan.
Kamar kosku yang gelap sunyi gagal membawa rasa tenang, pikiranku masih sibuk memikirkan banyak skenario. Apa ada yang sempet ngerekam kejadian tadi? gimana kalau viral?
Apa sih yang ada di pikiran Bapak itu?
Ternyata label kalangan atas, dan berpendidikan itu nggak menjamin seseorang ber-manners oke ya?
Jadi di tempat mana yang aman buat perempuan? bahkan di atas panggung dengan banyaknya orang yang ngawasin aja, masih bisa ngalamin pelecehan.
Layar ponselku terus berkedip sejak tadi, sudah hampir shubuh masih ada saja yang mengirim pesan. Beberapa ucapan dukungan sudah kuterima semalaman dari teman-teman dan staff Arseri lain, mereka mungkin membaca info ketikkan Mas Jevan di group label soal kejadian apes yang menimpaku, agar jadi kewaspadaan bersama.
Kuraih ponsel itu, ada pesan dari Mama Papaku yang saat ini sedang di Aussie mengunjungi kakakku. Di sana sudah pagi, Mamaku mengirim foto kegiatan seperti biasanya, foto menu sarapannya yang nggak menggugah seleraku. Cuma sepotong roti toast yang kelihatan keras dengan alpukat dan telur setengah matang di atasnya. Sementara Papaku mengirim pesan lebih panjang dari biasanya yang membuatku berteriak di balik bekapan bantal.
Papa : Kamu lebih baik berhenti nyanyi, mungkin pindah ke Aussie dekat kakak. Papa nggak masalah kalau seandainya kamu di Aussie aja, nggak usah bantu perusahaan Papa nggak masalah. Kamu bisa kuliah di sini.
Apa Papa Mamaku tahu soal kejadian semalam?
Bang Sabda cerita?
Nyaris kutekan tombol panggil pada nomer Bang Sabda, tapi buru-buru kualihkan ke ruang pesan lagi.
Aku : Papa Mamaku tahu? Bang Sabda cerita?
Status pesan itu cuma centang satu, lama sampai setelah shubuh aku baru mendapat balasannya.
Bang Sabda : sbb, nggak. aku nggak selancang itu buat ngasih tahu.
Aku : jangan sampe mereka tahu, atau aku dan Bang Sabda bakal nggak punya kerjaan lagi
Bang Sabda : Ta, are you okay? sorry ya aku nggak jaga kamu baik2 kemarin
Aku : bukan salah bang sabda
Aku : udahlah, nggak usah ungkit yang semalem. aku nggak mau inget2 hal menjijikkan itu lagi
Bang Sabda : kamu mau ngobrol sama psikolog nggak buat hal ini? aku dan anak-anak lain khawatir
Aku : nope, i'm fine bang
***
Siang ini aku tetap manggung seperti biasa, kupaksa diriku untuk nggak berlama-lama tenggelam dalam ketakutan. Semua timku bergerak dan berbicara serba hati-hati di sekitarku, terutama Bang Sabda. "Bang Sabda nggak usah merasa bersalah karena kejadian kemarin." Aku menegaskan kalimat itu padanya sebelum perform. Sebenarnya kukatakan begitu untuk menguatkan diriku sendiri sih.
Aku ingin meringankan beban dan menghilangkan tatapan kecemasan dari orang-orang yang bekerja denganku. Saat naik ke atas panggung, aku mengatur napas berkali-kali. Kulihat banyak perempuan yang berdiri paling dekat dengan panggung, aku merasa lebih rileks dan aman.
Bang Sabda berdiri lebih dekat dengan posisi Mas Jevan di sisi kanan panggung, aku bisa melihat tatapan penuh awas dari matanya mulai lagu pertama sampai sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA TITAH (selesai)
ChickLitAku, Titah Cinta. Panggung demi panggung adalah duniaku, penuh tantangan yang harus kuhadapi tanpa ragu. Sebagai penyanyi aku terbiasa berdiri dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri di bawah sorot lampu. Aku juga terlatih menghadapi banyak tat...