Real revange

2 1 0
                                    


Sekarang, rasa cinta Fadhlan untuk Adara telah sepenuhnya berubah menjadi dendam. Setiap kali ia melihat Adara, yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati, yang ia kagumi atas kecerdasan dan kelembutannya, kini hanya menyulut amarah yang berkobar dalam dadanya. Hatinya terasa terbakar oleh luka yang ia yakini berasal dari  wanita yang dulu dianggapnya sebagai cinta sejati.


Rasa benci itu begitu dalam, begitu gelap, hingga Fadhlan mulai mencari pelarian. Malam demi malam, ia larut dalam kesepian yang tak tertahankan. Minuman terlarang kini menjadi temannya yang setia, memberi jeda dari beban emosional yang menghantuinya. Setiap tetes alkohol yang ia minum bukan hanya sekadar pelampiasan, tetapi juga wujud dari kehancuran dirinya sendiri.


Suatu malam, Fadhlan pulang dengan tubuh sempoyongan, diantar oleh teman-temannya yang khawatir melihatnya semakin tenggelam dalam dunia yang tak lagi mengenal moral. "Percayalah, Fadhlan dulu anak yang baik," ujar salah satu temannya kepada supir yang membantunya masuk ke rumah. "Dia penurut, penuh kasih, tapi masalah ini merusaknya."


Pintu rumah terbuka, namun bukan kebahagiaan yang menyambutnya, melainkan kehampaan. Di lorong yang sunyi, Fadhlan tersungkur, mabuk berat. Gumaman-gumaman kesedihan dan kemarahan keluar dari bibirnya. "Kenapa harus Adara? Kenapa orang yang aku cintai, Tuhan? Mengapa bukan yang lain saja?" suaranya penuh penderitaan. "Aku tahu dia mencintaiku, tapi cintanya menghancurkanku, menghancurkan orang-orang di sekitarku. Kenapa kau biarkan ini terjadi?"


Ia terus bergumam, tak lagi mengerti batas antara cinta dan kebencian. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena pertempuran batin yang tak kunjung usai. Dalam mabuknya, Fadhlan merasa terjebak dalam paradoks cinta yang berubah menjadi pisau tajam yang memotong hati dan kepercayaannya. Kenangan akan cinta Adara, yang dulu menghangatkannya, kini justru menjadi luka yang tak bisa sembuh.

Tangisnya pecah di tengah malam. Ia benci Adara, benci pada semua perasaan yang masih melekat, tetapi ia tak bisa benar-benar menghilangkan bayangannya. Dendam itu menghantui setiap detik hidupnya, menghancurkan dirinya sedikit demi sedikit, hingga tak tersisa apa-apa selain kehampaan dan kebencian yang tak bisa dilawan.



Setelah malam itu, kehidupan Fadhlan semakin berantakan. Kebiasaan mabuknya tidak hanya merusak kesehatannya, tetapi juga mulai memengaruhi hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya dan pekerjaan yang ia cintai. Dia semakin sering pulang larut, menghindari interaksi dengan Adara, dan hanya larut dalam pelariannya.


Di rumah, Adara mulai merasakan jarak yang semakin besar antara mereka. Dia tahu Fadhlan berubah, namun tak pernah menduga bahwa kebenciannya begitu dalam. Meskipun Adara mencoba untuk memperbaiki keadaan, setiap usaha seakan sia-sia. Fadhlan mengunci diri dalam dunianya sendiri, membiarkan kemarahan dan dendam menguasai hatinya.


Suatu malam, ketika Fadhlan kembali mabuk berat, Adara memutuskan untuk menghadapinya. Dengan air mata di wajahnya, Adara berusaha berbicara dari hati ke hati. "Mas, kenapa kita jadi begini? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar, penuh harapan. Namun Fadhlan, dengan mata merah dan wajah dingin, hanya menatapnya tanpa belas kasihan.


"Apa yang terjadi? Kau masih berani bertanya, Adara?" jawab Fadhlan sinis. "Semua ini karena kau. Cintamu adalah racun. Kau menghancurkan semua orang di sekitarmu."

Love and DoubtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang