pil

4 1 0
                                    


Di meja makan, suasana tampak tegang meski makanan yang dihidangkan terlihat sederhana—semangkuk bubur, potongan buah segar, dan sesuatu yang membuat dada Adara semakin sesakpil pencegah kehamilan.


Adara menatap pil itu dengan bingung, hatinya hancur. Sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, Fadhlan datang menghampiri. Dengan nada dingin dan tanpa ragu, dia berkata, "Jangan lupa minum obat itu, karena aku tidak mau punya anak dari orang jahat sepertimu."


Kata-kata itu menghantam Adara seperti badai. Rasa sakit yang ia rasakan bukan hanya dari penolakan Fadhlan, tapi juga dari penghinaan yang terus-menerus menghujam hatinya. Di balik wajah dingin Fadhlan, Adara bisa merasakan dendam yang belum terobati. Setiap kata yang keluar dari mulut Fadhlan adalah pengingat tajam bahwa cinta mereka yang dulu penuh kebahagiaan kini hanya menyisakan kebencian yang mendalam.

Adara berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan suami yang dulu ia cintai sepenuh hati. Diam-diam, ia bertanya pada dirinya sendiri: sampai kapan ia bisa bertahan di bawah bayang-bayang kebencian Fadhlan?



Adara tidak pernah menyentuh obat itu. Setiap hari, ia berjuang melupakan luka yang terus menggerogoti hatinya. Menulis menjadi satu-satunya pelarian. Setiap kata yang ditulisnya adalah pelampiasan rasa sakit yang mendalam. Buku terbarunya menarik perhatian penerbit besar, dan mereka mengatur pertemuan di sebuah restoran mewah.


Saat hari pertemuan tiba, langit yang semula cerah berubah gelap, mendung tebal menggantung di atas kota. Di tengah-tengah percakapannya dengan penerbit, hujan turun dengan deras. Pertemuan itu pun berakhir, tapi hati Adara terasa kosong, seperti langit yang terus mengguyur tanpa henti. Rasa sakit yang terpendam di dadanya seolah meledak, dan tanpa sadar, ia keluar dari restoran dan berlari menerobos hujan.


Tangisnya melebur dengan tetes-tetes air hujan yang menyelimuti tubuhnya. Jalanan yang basah dan dingin tidak membuatnya berhenti. Ia berlari, tanpa arah, hanya ingin menghapus segala kepedihan yang selama ini ia pendam. Saat setengah jalan, sebuah mobil berhenti di depannya.


Pintu mobil terbuka, dan seseorang berlari menghampirinya. "Adara! Hey, sadar! Kamu kenapa hujan-hujanan seperti ini? Bahaya!" suara itu milik Dimas, sepupu suaminya yang kini berdiri di hadapannya, wajahnya penuh kekhawatiran.

Tanpa berkata apa-apa, Dimas menarik Adara masuk ke dalam mobilnya. Hujan masih mengguyur deras, tapi di dalam mobil itu, hanya ada keheningan yang berat. Dimas menatap Adara, wajahnya bingung, tapi juga penuh simpati. "Aku akan mengantarmu ke rumah mertuamu," ucapnya pelan, meski ia tahu ini bukan tempat yang Adara inginkan saat ini.

Sesampainya di rumah ibu Fadhlan, sang ibu langsung dikejutkan oleh pemandangan Adara yang basah kuyup dan tampak begitu lelah. Matanya yang biasanya tenang sekarang memancarkan rasa cemas yang tak bisa disembunyikan.


"Adara, apa yang terjadi, Nak?" suara sang ibu terdengar penuh perhatian, mencoba memahami keadaan menantunya.


Adara tersenyum tipis, meski dalam hatinya dia masih berjuang mengendalikan air matanya yang hampir tumpah. "Aku nggak apa-apa, Bu. Tadi habis meeting sama penerbit di restoran, eh tiba-tiba hujan deras. Karena kelamaan nunggu, aku malah jadi pengen hujan-hujanan. Sudah lama juga nggak merasakan hujan." Adara berusaha tertawa kecil, mencoba mengubah suasana, tapi tawanya terdengar hambar.


Sang ibu menatapnya dengan penuh kasih. "Kenapa nggak panggil suamimu, Nak? Fadhlan kan bisa jemput kamu. Kamu tahu dia pasti khawatir kalau kamu hujan-hujanan begini."

Adara tercekat mendengar nama suaminya disebut, namun dengan cepat ia menyembunyikan perasaan sakit yang menghimpit hatinya. "Ah, aku nggak mau merepotkan, Bu. Aku bisa sendiri." Jawabannya singkat, namun penuh makna yang tak tersampaikan.Sang ibu menghela napas, tangannya dengan lembut mengusap lengan Adara, seolah mengerti ada sesuatu yang lebih besar terjadi. Adara hanya tersenyum, berusaha menguatkan dirinya, meski di dalam hatinya semakin tenggelam dalam luka yang sulit ia bagi dengan siapa pun.

Love and DoubtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang