Ayam kecap manis

2 1 0
                                    



Keesokan paginya, Adara bangun lebih awal dari biasanya untuk mempersiapkan sarapan spesial. Ia memasak ayam kecap manis, salah satu makanan kesukaannya, ditambah beberapa makanan pendamping dan secangkir kopi hitam—karena ia tahu Fadhlan tidak bisa memulai hari tanpa kopi. Pagi itu, Adara juga mempercantik dirinya dengan sedikit riasan, memperlihatkan kecantikan alaminya yang menawan. Matanya yang sipit, mirip seperti keturunan Korea, menambah pesonanya. Selain cantik, Adara juga seorang poliglot, mampu berbicara dalam banyak bahasa, seperti Korea, Jepang, Jerman, dan Turki. Tak hanya itu, tulisan-tulisan karyanya pun sudah mendunia, sering kali terinspirasi dari Fadhlan, kekasih hatinya yang kini telah menjadi suaminya.


Tak lama kemudian, Fadhlan turun dari kamarnya. Ia terlihat rapi dengan setelan jas, tapi Adara segera menyadari bahwa ia lupa mengenakan dasi. Mendekatinya, Adara berkata dengan lembut, "Mas, biar aku pakaikan dasinya." Ia tahu bahwa Fadhlan tidak pernah bisa memasang dasi dengan baik. Namun, Fadhlan menolak dengan dingin, "Nggak usah, aku bisa pakai sendiri." Nada suaranya penuh dengan penolakan, tetapi Adara tetap menariknya perlahan ke meja makan.


"Ayo sarapan dulu, aku sudah masak makanan kesukaanmu," ajak Adara dengan senyuman. Meskipun Fadhlan menyimpan rasa benci yang mendalam terhadap Adara, kenangan akan cinta besar mereka dahulu membuatnya sulit untuk sepenuhnya menolak ajakan tersebut. Fadhlan akhirnya duduk di meja dan mulai makan, namun dengan wajah dingin yang tak bisa disembunyikan.


Adara, yang terbiasa dengan perubahan sikap suaminya, tetap tersenyum dan bertanya lembut, "Gimana mas, enak nggak makanannya?"

Fadhlan menjawab dengan datar, "Biasa aja," meski dalam hatinya ia sulit memungkiri bahwa masakan Adara sangat lezat. Setelah selesai makan, Fadhlan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia bangkit dan pergi begitu saja, meninggalkan Adara yang hanya bisa menghela napas panjang.

Adara merasa lega meskipun kecewa. Setidaknya, Fadhlan masih mau memakan masakannya. Setelah itu, Adara masuk ke ruang kerjanya untuk menulis. Biasanya, ia menulis dengan penuh kebahagiaan dan cinta, namun kali ini, ada rasa yang berbeda. Tulisannya kini dipenuhi dengan kesedihan dan kekecewaan, seakan mencerminkan hatinya yang mulai diliputi kebingungan dan ketidakpastian.


Setelah Fadhlan meninggalkan rumah tanpa sepatah kata, Adara duduk di ruang kerjanya, mencoba menenangkan diri dengan menulis. Namun, pikiran tentang Fadhlan terus mengganggu fokusnya. Ia mengingat masa-masa manis mereka dulu, saat cinta di antara mereka begitu kuat dan tulus, tapi kini semua terasa dingin dan penuh jarak. Setiap gerakan, tatapan, dan kata-kata Fadhlan seperti bayangan akan dendam yang tak pernah Adara mengerti sepenuhnya.


Adara mencoba menulis, tapi aliran kata-kata yang biasanya penuh kebahagiaan terasa begitu berbeda. Tulisan-tulisannya kali ini dipenuhi dengan nada suram, menggambarkan kisah cinta yang terperangkap dalam kesedihan dan kebingungan. Ceritanya bercerita tentang seorang perempuan yang berusaha keras mempertahankan cinta, meski pasangannya telah menjauh secara emosional. Adara merasa seperti menulis tentang dirinya sendiri.


Sementara itu, di tempat lain, Fadhlan duduk di mobilnya dengan perasaan campur aduk. Meski ia berusaha membenci Adara karena alasan yang hanya ia ketahui, ada bagian dari dirinya yang masih merasakan cinta. Namun, dendam yang sudah lama ia simpan menutup semua perasaan positif yang dulu ada. Dia mengingat saat-saat awal hubungan mereka, saat segala sesuatunya terasa sempurna. Namun, sesuatu terjadi yang mengubah perasaannya—sesuatu yang membuatnya sulit untuk memaafkan, bahkan mencintai Adara dengan tulus lagi.


Di kantor, Fadhlan duduk dengan tatapan kosong, pikirannya masih penuh dengan kebingungan dan pertanyaan tentang masa lalunya dengan Adara. Sekretarisnya, Niska—yang juga teman dekat Firda, mantan kekasih Fadhlan—masuk ke ruangannya. Dengan nada menggoda, Niska bertanya, "Pak, kenapa Bapak nggak pakai dasi? Apa mau saya bantu pakaikan? Pasti karena istri Anda nggak becus mengurus Anda, ya?"


Fadhlan tetap diam, enggan menanggapi komentar Niska yang jelas-jelas menyindir Adara. Dia menahan emosinya dan memilih fokus pada pekerjaannya. Namun, situasinya berubah ketika tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan Firda masuk dengan sikap percaya diri. Dia mendekati Fadhlan dan langsung menanyakan, "Mau makan siang bareng, nggak?" Fadhlan tetap diam, tidak tertarik dengan ajakan Firda, meskipun kehadirannya sedikit mengguncang pikirannya.


Firda, tidak menyerah, mendekat lebih lagi. "Aku tahu, loh, ada saksi mata yang melihat kejadian Adila jatuh waktu itu." Kata-kata Firda langsung membuat Fadhlan terkejut. Dia segera bertanya dengan serius, "Siapa? Cepat beri tahu aku!"


Firda tersenyum licik dan menjawab sambil menggoda, "Tapi ada syaratnya... kamu harus makan siang bareng aku dulu."

Terdesak oleh keinginan untuk mengetahui kebenaran dan menghilangkan keraguannya tentang Adara, Fadhlan akhirnya mengiyakan. Meskipun ia tahu Firda punya maksud tersembunyi, Fadhlan merasa tidak punya pilihan lain. Dalam hatinya, ia berharap bahwa bukan Adara yang bersalah dalam tragedi yang menimpa Adila, karena jika itu benar, semua cinta yang tersisa untuk istrinya akan benar-benar hancur.

Love and DoubtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang