Sesak

4 1 0
                                    



Adara pammit pulang kepada ibu mertuanya berlari keluar, hatinya hancur berkeping-keping. Tangisannya terpendam di tenggorokan, seolah-olah dunia ini terlalu sempit untuk menampung rasa sakit yang ia rasakan. Dia menuju tempat di mana dia selalu pergi saat hatinya tidak baik-baik saja—sebuah taman kecil di pinggir kota, tempat ia bisa menangis tanpa merasa dihakimi.

Setibanya di sana, Adara duduk di bangku kayu, napasnya terengah-engah. Air mata yang ditahannya sejak tadi tumpah ruah, mengalir deras tanpa henti. Ia menangis sekencang-kencangnya, tak peduli dengan orang-orang yang mungkin melihatnya. Bagi Adara, semua rasa sakit yang tertahan di dalam dada harus keluar, walau ia tahu tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit ini sepenuhnya.

"Sampai kapan aku harus seperti ini?" bisiknya di antara tangis.

Langit di atasnya terasa begitu jauh, begitu hampa. Rasanya tak ada tempat yang bisa memberinya kedamaian. Semua seolah musnah di hadapan hatinya yang hancur.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Adara tidak mengangkat wajahnya, tetapi suara yang ia dengar sangat dikenalnya.

"Adara," suara Dimas terdengar lembut.

Adara terkejut, matanya penuh air mata saat ia mendongak. "Dimas? Kenapa kamu di sini?"

Dimas berdiri di depannya, wajahnya penuh rasa iba. "Aku tahu semuanya, Adara. Aku tahu kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu."

Adara terdiam, mulutnya tak mampu mengucapkan kata-kata. Hatinya berteriak, namun bibirnya tetap bungkam.

"Dengar, Adara," lanjut Dimas, duduk di sampingnya. "Satu hal yang aku percaya... aku tahu bukan kamu penyebab jatuhnya Adila. Kamu tidak bersalah. Aku sudah mendengarkan semua cerita dari sudut pandang mereka, tapi aku percaya kamu."

Air mata Adara semakin deras mengalir. "Tapi, Mas Fadhlan tak pernah mempercayaiku. Aku mencoba segalanya, tapi dia terus menyalahkanku. Dia bahkan lebih peduli pada Firda daripada aku, Dimas."

Dimas menghela napas dalam. "Adara, aku tak kuat melihatmu hidup seperti ini. Kau berhak mendapatkan kebahagiaan, bukan terus terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan keraguan dan luka. Lepaskan Fadhlan... mulai hidup baru. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini."

Adara tersentak. "Lepaskan Fadhlan?" gumamnya. Hatinya terasa semakin kacau mendengar kata-kata itu. Selama ini, ia berjuang untuk mempertahankan cinta mereka, tapi kenyataan menunjukkan luka yang tak kunjung sembuh.

"Aku tahu itu tidak mudah," lanjut Dimas dengan suara pelan, "tapi aku hanya ingin kamu bahagia, Dara. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini, terus menerus menderita. Jika Fadhlan tidak bisa melihat betapa berharganya dirimu, maka dia bukan orang yang tepat untukmu."

Adara terdiam, menatap jauh ke depan, ke arah taman yang mulai sepi. Kata-kata Dimas menggema di kepalanya, membuat pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia masih mencintai Fadhlan, namun di sisi lain, ia merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi semua ini.

Adara menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis semakin keras. "Apa aku benar-benar harus menyerah, Dimas?"Dimas merangkulnya, memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan dari Fadhlan akhir-akhir ini. "Kamu tidak menyerah, Adara. Kamu hanya memilih untuk menghargai dirimu sendiri."

 Di sisi lainFadhlan menerima foto Adara yang bersama Dimas dari Firda, amarah Fadhlan langsung membuncah. Meski cintanya pada Adara telah berubah menjadi dendam, rasa cemburu itu tetap menguasainya. Tak bisa menerima kenyataan bahwa Adara terlihat akrab dengan lelaki lain, Fadhlan memutuskan untuk pulang lebih awal dari kantor.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love and DoubtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang