55 ~ Ternyata bukan mimpi

10.4K 884 75
                                    

Tubuh Hilma bergetar, untuk memegang dan memeriksa tubuh yang berada di dalam kantong oren itu saja rasanya ia akan mati. Tidak mungkin itu Daren, Daren sudah berjanji padanya dan Haraz untuk selalu hidup bahagia. Mereka juga sedang promil untuk memberi Haraz adik karena jagoannya itu sudah merengek ingin punya adik. Daren tidak mungkin mengingkari itu semua kan?

Hilma mencoba untuk berdiri namun pandangannya berputar. "BUNDA!" Dan panggilan Haraz itu yang terakhir ia dengar sebelum pandangannya gelap.

***

"KAKAK!" Hilma terbangun dengan nafasnya yang memburu. Kepalanya pusing apalagi saat ia mengedarkan pandangannya ke ruangan yang tertutupi semua tirai ini. Dari bau nya sepertinya ini rumah sakit.

"Love, gimana kepalanya? Masih pusing?"

Lelaki yang menyibak tirai dan langsung mengajukan pertanyaan itu membuat Hilma terdiam. Ia menatapnya dari atas sampai bawah lalu kembali lagi ke wajah itu. Itu Daren, itu suaminya, dalam kondisi baik dan sempurna sama seperti berangkat kerja tadi.

"K- kok ...."

"Apa? Kenapa? Kepala kamu gimana?"

Mata Hilma tidak lepas dari Daren yang sudah duduk di samping ranjang rumah sakit ini. Hilma menepuk pipi Daren. "Kakak beneran?"

"Kamu kira aku setan?"

Hilma menunduk dan langsung memeluk tubuh Daren. Daren yang peka berdiri sehingga ia tidak susah untuk memeluk suaminya itu. "Kakak gak papa? Tadi mobil kakak ...."

"Kamu gimana?"

"AKU SEHAT, KALAU KAKAK BAIK-BAIK AJA AKU UDAH GAK PAPA."

Terdengar kekehan tawa Daren yang membuat senyum Hilma tidak bisa berbohong, ia tersenyum dengan lebar karena masih mendengar suara itu. "Haraz mana?"

"Sama oma nya. Dia kaget kamu pingsan."

"Kakak beneran gak papa?"

"Haraz di sekolah tadi masa katanya temennya ada yang gak suka karena dia bisa jawab semua pertanyaan guru."

"Haraz kan pinter ngikut kakak."

"Kamu juga pinter tau. Haraz bakalan aman kan?"

Hilma menutup matanya saat kepalanya terasa berputar lagi. Hembusan nafasnya terasa berat. Ia masih syok.

"Dedek nya aman."

Hilma dengan cepat mengangkat kepalanya dari bahu Daren. Keningnya berkerut dan menatap Daren tidak bingung. "Dedek? ADA ANAK KECIL DI TABRAKAN TADI?"

Cubitan di hidungnya membuat Hilma mengaduh. "Apa sih? Dedek kita, di dalam perut kamu, adik Haraz."

"Dedek kita? Dalam perut aku? Adik Haraz? Hah?"

Hilma dapat melihat wajah gemas Daren. Namun sedetik kemudian ekspresinya berganti menjadi terkekeh kembali. "Emang harusnya nunggu agak nanti aku ngomong sama kamu. Otak kamu belum berjalan sempurna."

"Ih, gimana? Aku belum mudeng!"

Hilma mengikuti pergerakan Daren yang duduk di kursi samping ranjang kembali. Tangan lelaki itu terulur dan kemudian memegang perutnya. "Dedek, baby, bayi, anak kita ada di sini."

My DarenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang