- Chapter 4

39 1 1
                                    

Setelah Rafayel meninggalkan Raphaelle, dia pun berjalan keluar dengan pelan. Langkah kakinya terasa aneh, seakan ada beban berat yang mengikutinya setelah momen barusan. Dari yang awalnya berdua, kini dia mendapati dirinya sendiri, dan entah mengapa perasaan itu sangat familiar, namun juga menyakitkan.

Pasar malam yang ramai, penuh dengan suara tawa dan hiruk-pikuk, tiba-tiba terasa menyesakkan. Di tengah kerumunan yang tampaknya hidup, Raphaelle merasa terasing, seolah semua orang di sekitarnya tidak melihatnya. Hal ini mengingatkannya pada masa kecilnya, ketika dia berada di tengah keramaian namun tetap merasa sendiri.

Dia ingat bagaimana, meskipun banyak orang di sekelilingnya, dia hanyalah seorang gadis kecil yang sendirian, terjebak dalam dunia yang tidak memperhatikannya.

Benar-benar sendiri...

Tanpa siapapun.

Deg.

Raphaelle menghentikan langkahnya. Detak jantungnya berdebar kencang, dan napasnya terasa sesak. Dia memukul pelan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran melankolis itu. "Berhenti seperti ini, Raphaelle, jangan sok lemah. Cuma ditinggal orang asing sebentar, kok tiba-tiba melo sih," ujarnya pelan namun tegas, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Dia kembali melanjutkan langkahnya, mencari stand kentang tornado sesuai permintaan Rafayel tadi. Mendadak, dia merasakan ngidam kentang tornado dengan bumbu balado, aroma yang seakan memanggilnya.

Langkah demi langkah, Raphaelle mengitari pasar malam demi mendapatkan jajanan itu. Kenapa belum ketemu juga ya? pikirnya, sambil menelusuri keramaian yang mulai menggeliat.

Setelah berjalan selama tujuh menit yang terasa seperti selamanya, Raphaelle akhirnya menemukan stand kentang tornado. Cukup lama juga untuk menemukan jajanan ini, tetapi syukurlah, antriannya hanya dua orang. Dia tidak perlu menunggu lama.

Antrian bergerak cepat, dan tidak sampai semenit, tiba giliran Raphaelle.

"Kak, mau beli dua kentang dengan bumbu balado semua, ya," pinta Raphaelle, senyumnya merekah di wajahnya, seolah mencoba melawan bayang-bayang kesedihan yang menyelimutinya tadi.

Penjual kentang itu menatap Raphaelle dan membalas senyumannya, "siap, kakak cantik."

"Oh ya, kak. Boleh minta kresek juga nggak untuk bungkus, hehe," imbuhnya, teringat akan tas kresek yang ia lupakan.

Penjualnya pun membalas, "boleh dong."

Penjual itu menjulurkan satu tas kresek berisi dua kentang tornado yang masih panas, aroma baladonya menyusup ke hidung Raphaelle dan membangkitkan rasa lapar yang mendalam.

"Terima kasih, kak." Raphaelle tersenyum, kemudian bergegas pergi. Namun langkahnya segera terhenti saat aroma hujan samar-samar tercium di udara.

Entah ini perasaannya setelah mellow tadi atau bagaimana, tetapi saat itu juga, gerimis turun dengan deras.

Suasana pasar malam yang ceria seketika berubah panik; pengunjung berlarian mencari tempat berteduh. Raphaelle ikut merasakan kepanikan itu.

Hujan mulai menjadi lebih deras, dan dia tidak menemukan tempat untuk berteduh. Pakaiannya basah kuyup, dan perasaannya mulai tidak nyaman. Napasnya menjadi sesak, dan dinginnya rintik hujan membuat tubuhnya bergetar.

Meski demikian, Raphaelle berusaha terus berjalan menuju pintu keluar.

Kilatan putih di langit muncul.

Ctaaaarrrr...

Suara petir yang mengguntur membuat Raphaelle terjatuh berlutut, secara refleks membuatnya menutup telinga. Semua ketakutannya menjadi nyata saat itu. Petir.

Badannya bergetar, diiringi tangis yang tak tertahan.
Air matanya menyatu dengan air hujan yang mengalir di sekujur tubuhnya. Dia berharap ada seseorang—siapa saja—yang mau menolongnya.

"Tolong..." ucapnya pelan dan bergetar, suara itu hampir tenggelam dalam deru hujan.
Petir terus-menerus menyambar dan membuat Raphaelle semakin takut. Sudah hampir 5 menit Raphaelle membeku di bawah guyuran hujan.

Tiba-tiba datang seseorang, berlutut, dengan membawa payung yang besar, cukup untuk melindungi mereka berdua dari derasnya hujan.

Dia memeluk Raphaelle dan membawa kepalanya ke dekapan dadanya, "ayo ikut aku, tutup aja matamu," suara cowok terdengar samar di telinga Raphaelle. Namun tetap saja, dirinya tidak sanggup bangkit.

"Aku takutt." Raphaelle lanjut mengangis sambil tetap menutup telinganya.

Cowok itu meraih badan Raphaelle dan dengan tegas menggendong Raphaelle di punggungnya. Raphaelle dengan samar dapat mencium aroma parfum dari lehernya. Wangi yang familiar baginya.

Dari belakang, tubuh Raphaelle yang lelah terkulai dalam dekapan hangatnya, seolah menemukan tempat perlindungan dari dunia yang dingin dan basah. Rambut panjangnya yang basah mengalir di sepanjang punggung pemuda itu, dan pelukan Raphaelle terasa erat, seolah takut akan hilang di tengah derasnya hujan.

Sementara itu, dengan tangan kirinya, cowok itu memegang payung yang terbuka, melindungi mereka dari guyuran hujan. Setiap langkahnya mantap, meskipun beban di punggungnya tidaklah ringan. Namun, dia tidak peduli, yang terpenting adalah menjaga Raphaelle tetap aman dan kering.

Hujan yang deras dan suara gemuruh petir tiba-tiba menjadi tenang sedikit, sama seperti perasaan Raphaelle saat ini yang berada di punggung cowok yang ternyata bukan Rafayel itu. Sepanjang jalan, mereka hanya diam, Raphaelle masih belum berani sepenuhnya membuka matanya.

Cowok itu membawanya ke parkiran. Berjalan menuju mobil sport berwarna hitam. Membuka pintunya lalu mendudukkan Raphaelle.
Cowok itu lantas menutup pintu dan berjalan menuju bangku kemudi.

Raphaelle membuka matanya dan melihat cowok itu perlahan. Orang yang baru saja menggendongnya tadi masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobil.

Lalu dia menoleh ke arah Raphaelle.

Mata mereka bertatapan...

Who's Love?  | Love and Deepspace FFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang