2 😼

336 64 16
                                    

Malam semakin kacau di dalam klub. Suara musik berdentum, lampu warna-warni terus berkedip, dan pengunjung semakin banyak yang mabuk. Jennie, yang awalnya terlihat tegas dan memikat, kini tampak lemah dan sempoyongan di kursi bar. Dia menggumamkan sesuatu yang tak jelas, kepalanya terkulai ke belakang, matanya setengah tertutup.

Jisoo memperhatikannya dari balik bar sambil menyeka tangan dengan kain. Dia baru saja menyelesaikan pesanan terakhirnya dan siap mengakhiri shift-nya, namun ada sesuatu yang membuatnya tak bisa mengabaikan Jennie begitu saja. "Dia CEO," ingatnya akan ucapan Rose. Pikiran buruk berkelebat di kepalanya: Jika terjadi sesuatu padanya, aku yang akan kena.

Jisoo mendekat, duduk di sebelah Jennie yang hampir tidak sadar sepenuhnya. "Jennie-ssi?" Jisoo menggoyangkan lengannya pelan. Tak ada respons selain gumaman tak jelas dari bibir Jennie. Dia tertawa pelan, seolah ada hal lucu dalam pikirannya. Jisoo menghela napas dalam-dalam, mencoba berpikir cepat.

"Jennie-ssi, kamu baik-baik saja?" Jisoo mencoba lagi, suaranya kali ini lebih lembut tapi juga tegas. Dia menepuk bahu Jennie, mencoba menyadarkannya. Tapi Jennie hanya menggumamkan sesuatu yang tak bisa dimengerti, memalingkan wajahnya sambil tersenyum tipis.

"Ini... tidak akan baik kalau dia tetap di sini," pikir Jisoo, kepalanya penuh dengan kekhawatiran. Dia menoleh mencari Rose, satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu. Namun ketika dia melihat Rose, sahabat Jennie itu sudah berjalan keluar, disertai seorang pria yang lebih muda—kemungkinan adiknya. Rose yang sudah mabuk berat dibawa pulang oleh adiknya.

"Aish, Rose meninggalkanku dengan masalah ini," gumam Jisoo pelan, sedikit frustrasi.

Dengan sedikit ragu, Jisoo menunduk mendekatkan wajahnya ke Jennie, mencoba menarik perhatiannya lagi. "Jennie-ssi... aku akan membawamu pulang, oke?" katanya pelan, tidak yakin apakah Jennie bisa mendengarnya. Jennie hanya tertawa lagi, kali ini kepalanya jatuh ke bahu Jisoo.

Jisoo sedikit kaget, merasakan berat Jennie bersandar padanya. Jantungnya berdebar cepat. Dia mabuk... ini bisa jadi masalah besar. Dengan sigap, dia mencoba mengangkat tubuh Jennie yang lemas.

"Oke, ayo, aku akan membawamu ke tempat yang aman," ucapnya lirih, lebih pada dirinya sendiri. Ketika Jennie tidak menunjukkan tanda-tanda bisa berjalan dengan baik, Jisoo akhirnya menuntunnya pelan, lengannya melingkari pinggang Jennie. Jennie tersenyum tipis dan berbisik pelan di telinga Jisoo, "Kamu tampan dan wangi banget... apa kita mau dansa lagi?"

Jisoo terdiam sejenak, pipinya terasa panas mendengar bisikan Jennie yang mabuk. "Aku wangi?" gumamnya sedikit kikuk, tidak yakin harus bereaksi bagaimana.

"Ya... wangi... kayak... hmmm... vanilla," jawab Jennie setengah mengigau, kemudian tertawa kecil dan bersandar lebih berat ke tubuh Jisoo.

Jisoo merasakan Jennie semakin sulit untuk berjalan. Dia menarik napas dalam, merasa tidak punya pilihan. "Jennie-ssi, aku tidak bisa meninggalkanmu di sini. Kita harus keluar dari sini," ucapnya, meski dia tahu Jennie terlalu mabuk untuk memahami sepenuhnya.

Setelah berhasil membawa Jennie keluar dari klub, Jisoo menuntun tubuhnya yang lemas menuju motor. Pikirannya berpacu, tapi dia tahu tak ada pilihan lain selain membawanya pulang ke kosannya. Ia mengikat tubuh Jennie ke tubuhnya dengan syal yang kebetulan ada di jok motor, memastikan agar Jennie tidak terjatuh saat mereka berkendara.

"Tolong tahan sebentar, Jennie-ssi," bisik Jisoo pelan sambil memastikan syalnya cukup kencang. Jennie, yang setengah sadar, hanya menggumamkan sesuatu yang tak jelas dan bersandar di punggung Jisoo.

Motor melaju perlahan melewati jalanan malam yang sepi. Suara angin malam yang sejuk dan suara knalpot motor mengisi keheningan. Namun, sesaat kemudian Jennie mulai berbicara, suaranya kecil dan parau.

BABY BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang