"Apa hidupmu seburuk itu hingga kamu butuh seseorang seperti aku?" tanya Jisoo, kali ini suaranya lebih serak dan emosional. Pandangannya masih intens dengan tatapan tajamnya. "Aku tahu suamimu, keluargamu... hidupmu kelihatannya sempurna. Tapi kamu malah ada di sini, bersamaku, menawarkan sesuatu yang... gila."
Jennie tertawa kecil, namun tawanya terdengar pahit. "Sempurna?" dia mengulang kata itu, seolah tak percaya Jisoo akan berpikir demikian. "Sempurna itu cuma ilusi, Jisoo. Kamu lihat apa yang orang lain ingin lihat. Suamiku... dia tak pernah ada. Kehidupan yang terlihat bahagia? Itu semua topeng."
Perkataan Jennie membuat Jisoo terdiam. Pandangannya menurun, bingung bagaimana harus merespons. Di satu sisi, dia merasa kasihan dengan Jennie yang ternyata tidak sebahagia yang dia kira. Di sisi lain, tawaran yang Jennie berikan benar-benar menarik.
Jisoo menahan napas lagi, matanya tertuju pada Jennie, berusaha memahami maksud di balik setiap kata yang diucapkannya. "Tapi kamu sudah punya suami. Anak. Apa yang kamu inginkan dari aku?" tanyanya, kali ini nada suaranya terdengar sedikit lebih tajam, menuntut kejelasan.
Jennie tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menyentuh bibir Jisoo dengan jarinya, seakan ingin membuatnya diam untuk sementara waktu. Kemudian, Jennie mendekatkan wajahnya, bibir mereka hampir bersentuhan lagi, tapi tidak benar-benar menyatu. Hanya jarak tipis yang tersisa, cukup untuk membuat Jisoo makin panas dingin.
"Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa hidup lagi," Jennie berbisik di telinga Jisoo, suaranya begitu lirih dan sensual. "Seseorang yang tidak akan mengikuti aturan. Yang bisa mengimbangi aku."
Namun, sebelum Jisoo sempat mencerna lebih jauh, Jennie mendekatkan wajahnya lagi. "Kamu bisa menjadi bagian dari hidupku yang sesungguhnya, Jisoo. Bukan yang dilihat orang lain, tapi yang nyata. Kamu bisa memilih, jadi lelaki simpananku, atau terus hidup seperti ini... terjebak dalam rutinitas yang melelahkan," ucap Jennie dengan nada menantang, sambil jemarinya kembali mengelus dada Jisoo hingga turun ke pinggangnya.
Jisoo menelan ludah, tangannya gemetar saat mencoba memegang kendali atas situasi ini. "Kamu serius dengan tawaran ini?" tanyanya, masih berusaha memastikan meskipun hatinya sudah ruwet dengan berbagai emosi.
Jennie tersenyum lagi, kali ini senyum licik yang penuh kepercayaan diri. "Aku tidak main-main, Jisoo."
Setelah perbincangan yang intens dengan Jennie, suasana menjadi sedikit lebih tenang. Jennie, yang sudah mengenakan pakaian rapi, melihat jam tangannya dan menyadari bahwa waktunya sudah semakin mendesak untuk kembali ke perusahaannya. Dia berdiri dan pamit kepada Jisoo dengan senyum menggoda.
"Aku harus pergi sekarang," kata Jennie sambil merapikan rambutnya. "Ada banyak hal yang harus aku urus di kantor. Kau bisa menghubungiku jika kau sudah membuat keputusan."
Jisoo, yang masih berada dalam keadaan setengah linglung setelah pembicaraan itu, berusaha menawarkan diri untuk mengantarkan Jennie. "Biar aku antar. Aku juga harus keluar untuk mengurus beberapa hal."
Namun, Jennie tersenyum kecil dan menolak dengan lembut. "Tak perlu. Supir pribadiku akan segera menjemputku. Tapi terima kasih untuk tawarannya." Dia mendekat lagi, kali ini lebih lembut, dan berbisik di telinga Jisoo, "Pertimbangkan tawaranku baik-baik, ya." Lalu sebelum Jisoo bisa bereaksi, Jennie memberikan ciuman singkat di bibirnya yang berbentuk hati, mengedipkan mata dengan penuh godaan sebelum berbalik dan meninggalkan Jisoo sendirian di kamarnya.
Jisoo berdiri mematung, jantungnya berdebar cepat, pikirannya benar-benar berkecamuk. Di satu sisi, ada tawaran Jennie yang menggiurkan, tapi di sisi lain dia takut risiko yang akan dihadapinya, bagaimana jika dunia mengetahuinya.
Setelah beberapa saat, Jisoo menghela napas panjang dan mencoba menenangkan dirinya. Dia memutuskan untuk fokus pada skripsinya yang sudah tertunda selama beberapa waktu. Dia merapikan barang-barangnya dan bersiap menuju kampus untuk bertemu dosen pembimbingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY BOY
RomantizmKim Jisoo, seorang mahasiswa akhir berusia 21 tahun, berjuang menyeimbangkan kehidupannya antara menyelesaikan skripsi dan bekerja paruh waktu sebagai barista di sebuah klub malam demi menutupi kebutuhan ekonomi. Di sisi lain, Kim Jennie Rubyjane, C...