3.Simbol-simbol

2 0 0
                                    

Hutan di Pulau Tiru terasa seperti dunia lain. Pepohonan menjulang tinggi, menciptakan kanopi hijau yang membatasi cahaya matahari, hanya menyisakan sinar yang menyusup di antara dedaunan. Udara lembap terasa sejuk di kulit mereka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar. Di sekitar mereka, suara burung dan serangga mengisi udara, menciptakan simfoni alam yang penuh kehidupan.

Alex memimpin jalan dengan langkah tenang namun mantap. Ia terbiasa dengan alam liar, dengan posturnya yang tegap dan atletis, dia tampak nyaman berjalan di medan hutan. Sesekali, ia berhenti untuk memastikan bahwa yang lain masih mengikutinya.

"Lihat ini!" seru Dito, yang meskipun berada di belakang Alex, tetap semangat mengeksplorasi sambil sesekali berlari kecil ke depan saat melihat sesuatu yang menarik. Ia menunjuk pohon dengan akar yang menjalar di permukaan tanah, melingkari sebuah batu besar. "Ini seperti sesuatu dari film petualangan." Senyumnya melebar, dan meski keringat sudah mulai membasahi dahinya, semangatnya tidak berkurang sedikit pun.

Rina, yang berada di belakang mereka, berusaha menjaga kecepatan meski jelas terlihat ia sedikit kelelahan. "Hutan ini indah," katanya sambil mengambil napas panjang. Rambut hitamnya yang terikat ke belakang bergoyang setiap kali ia bergerak, dan meski kakinya sudah mulai terasa berat, ia tetap berusaha menikmati pemandangan.

Maya, dengan kamera di tangan, mengambil beberapa gambar pohon-pohon besar dan flora aneh yang mereka temui sepanjang jalan. "Ini akan menjadi foto yang bagus untuk blogku," gumamnya sambil terus mengabadikan momen. Dengan mata tajamnya yang selalu mencari detail, Maya tampak lebih bersemangat untuk mendokumentasikan setiap sudut hutan daripada sekadar menikmati perjalanan itu sendiri.

Mereka terus berjalan dengan suasana hati yang ringan, sesekali berhenti untuk melihat sesuatu yang menarik, seperti tanaman merambat yang unik atau burung berwarna cerah yang terbang melintasi jalur mereka.

Namun, setelah sekitar satu jam berjalan, suasana mulai berubah. Hutan yang tadinya terasa hidup dan ramah, tiba-tiba menjadi lebih sunyi. Angin yang sebelumnya berhembus lembut kini berkurang, dan suara burung serta serangga semakin jarang terdengar.

Alex, yang memimpin jalan, berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa yang lain masih mengikutinya. "Ada yang merasa tempat ini mulai terasa berbeda?" tanyanya dengan nada yang lebih serius. Matanya memandang ke sekitar dengan cermat, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak terlihat.

Dito, yang biasanya selalu penuh semangat, mengangguk. "Ya, rasanya seperti... terlalu sunyi." Wajah antusiasnya sedikit berubah, dan meski dia masih penasaran, ada sedikit ketidaknyamanan yang mulai muncul.

Rina menggigil sedikit, bukan karena dingin, tetapi karena firasat aneh yang mulai merasukinya. "Mungkin kita sudah terlalu jauh masuk ke hutan?"

Maya, yang biasanya lebih rasional, juga merasakan keanehan yang sama. Ia menurunkan kameranya dan memandang ke sekeliling dengan pandangan waspada. "Aku rasa tempat ini... terasa berbeda, tapi aku tidak bisa menjelaskan kenapa."

Mereka melanjutkan langkah mereka, tetapi kali ini dengan keheningan yang lebih menegangkan, setiap langkah terasa lebih berat. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai dari balik pepohonan, tetapi tidak pernah menampakkan diri.

Mereka terus melangkah dengan hati-hati, memasuki bagian hutan yang semakin padat. Pohon-pohon besar dengan akar yang mencuat dari tanah terlihat seperti penjaga kuno yang diam, seolah memperhatikan setiap langkah mereka. Sementara itu, sinar matahari semakin sulit menembus dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak bersama angin.

Alex, yang masih memimpin di depan, berhenti sejenak saat melihat sesuatu di tanah. Di depannya, di sela-sela akar pohon, ada sebuah batu besar dengan ukiran aneh di permukaannya. Ukiran itu tampak tua, hampir terkikis oleh waktu, tetapi masih bisa dikenali sebagai simbol-simbol yang asing bagi mereka.

"Lihat ini," katanya pelan sambil berjongkok untuk melihat lebih dekat. Dito segera mendekat, matanya berbinar dengan rasa ingin tahu.

"Sepertinya bukan ukiran alami," kata Dito sambil menyentuh permukaan batu tersebut dengan jemarinya. "Ada seseorang yang membuat ini... tapi siapa?"

Maya langsung mengeluarkan kameranya dan memotret ukiran tersebut dari berbagai sudut. Wajahnya serius, namun matanya penuh dengan rasa penasaran yang tak tertahankan. "Ini seperti tanda atau penanda... Tapi kenapa di sini, di tengah hutan yang tidak terjamah?"

Rina, yang berdiri agak jauh dari mereka, merasa sedikit gelisah. "Mungkin kita seharusnya tidak menyentuhnya," katanya dengan nada khawatir. Matanya memandang ke sekitar, seolah-olah takut ada yang memperhatikan mereka.

"Apa maksudmu?" tanya Alex sambil berdiri dan menepuk celananya untuk membersihkan tanah. "Ini hanya batu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Tapi lihat saja tempat ini," Rina melanjutkan. "Terasa... berbeda. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku punya firasat buruk tentang hal ini."

Dito tersenyum lebar, mencoba meredakan suasana. "Kau selalu khawatir berlebihan, Rina. Ini justru hal yang menarik! Mungkin ini bagian dari sejarah pulau ini yang belum diketahui banyak orang. Bukankah itu alasan kita datang ke sini?"

Namun, bahkan Maya, yang biasanya berpikiran logis, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. "Aku setuju dengan Rina. Ada sesuatu tentang tempat ini yang terasa... salah. Aku tak bisa menjelaskannya, tapi mungkin kita harus berhati-hati."

Alex menghela napas dan mengangkat tangannya, meminta perhatian. "Baiklah, kita semua tetap tenang. Kita tidak tahu apa-apa tentang ukiran ini, jadi kita tidak akan membuat asumsi. Tapi, mari kita catat lokasi ini dan melanjutkan perjalanan. Kita masih punya jalan panjang untuk sampai ke puncak."

Mereka setuju, meski rasa cemas belum sepenuhnya hilang. Sambil meninggalkan batu itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih hati-hati dan mata yang selalu waspada.

Jalur yang mereka tempuh semakin menanjak, dan medan semakin sulit dengan akar-akar pohon besar yang menjulur di sepanjang jalan setapak. Sesekali, mereka harus saling membantu untuk melewati rintangan yang sulit, tetapi tak ada yang berbicara banyak lagi. Keheningan yang semula dipenuhi canda dan tawa kini digantikan oleh rasa waspada yang perlahan-lahan menyusup di antara mereka.

Saat mereka mendekati puncak bukit kecil, Maya, yang berjalan di belakang, berhenti lagi. Kali ini, dia tidak hanya melihat satu ukiran di batu, tapi serangkaian ukiran kecil di beberapa pohon di sekitar mereka. Simbol-simbol aneh itu tersebar di batang-batang pohon, sebagian hampir tertutup lumut, namun jelas berasal dari tangan manusia.

"Lihat ini," panggilnya, suaranya sedikit bergetar. Ia menunjuk pada salah satu pohon yang paling dekat dengannya.

Alex, Dito, dan Rina segera berkumpul di sekitar Maya. Mereka melihat simbol-simbol itu dengan pandangan bingung, mencoba mencari tahu apa artinya. Bentuk-bentuk yang diukir tampak seperti huruf atau simbol yang tidak dikenal, teratur tetapi aneh, seolah menyampaikan pesan yang tidak dapat mereka pahami.

"Aku tidak menyukai ini," kata Rina pelan, suaranya semakin lemah. "Kenapa ada begitu banyak ukiran seperti ini di tengah hutan? Apa yang mereka coba sampaikan?"

Dito mendekati salah satu pohon dan memeriksa ukiran itu lebih dekat. "Mungkin ini semacam bahasa kuno atau ritual. Tapi kenapa di sini, di pulau yang seharusnya tidak berpenghuni?"

"Aku rasa ini bukan kebetulan," Maya menimpali, suaranya penuh keyakinan. "Ada sesuatu di tempat ini yang berhubungan dengan sejarah pulau ini. Ini mungkin bukan hanya pulau biasa."

Mereka semua berdiri diam sejenak, memandang ke arah puncak bukit yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Di balik rasa takut dan cemas yang mulai menjalari hati mereka, ada rasa penasaran yang semakin kuat. Mereka tahu bahwa sesuatu yang besar menanti di depan, sesuatu yang mungkin mengubah pemahaman mereka tentang pulau ini.

"Apakah kita tetap melanjutkan?" tanya Alex, mencoba menenangkan diri. Matanya bertemu dengan mata setiap orang, mencari persetujuan.

Dito, yang biasanya penuh semangat, mengangguk meski tampak ragu. Maya tidak mengatakan apa-apa, tetapi gerakannya yang mengangkat kameranya lagi menunjukkan bahwa dia siap untuk melanjutkan. Rina, meski terlihat lebih cemas daripada sebelumnya, akhirnya mengangguk juga.

"Baiklah," kata Alex. "Kita akan melihat apa yang ada di puncak ini, lalu kita putuskan apa yang akan kita lakukan."

Dengan semangat yang bercampur aduk antara rasa takut dan penasaran, mereka melangkah maju, mendekati puncak bukit dengan hati yang semakin dipenuhi pertanyaan.

PETUALANGAN DI PULAU TERPENCILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang