16.Kunci

1 0 0
                                    

Langkah kaki sosok besar itu menggema di dalam gua, membuat suasana semakin tegang. Gemuruhnya seperti dentang guntur, semakin keras seiring ia mendekat. Sosok itu muncul dari kegelapan, tubuhnya menjulang dengan otot-otot yang tebal dan permukaan kulit yang tampak keras seperti batu. Matanya yang merah menyala mengunci pandangannya ke arah Alex dan yang lain, seolah mengukur kekuatan mereka.

“Kita harus segera keluar dari sini!” Rina berbisik panik, pandangannya bergantian antara makhluk itu dan jalan keluar yang tertutup.

Alex berdiri kaku, tangan gemetar memegang bola kristal yang kini berkilauan, seakan-akan benda itu hidup. Maya berdiri di sisinya, matanya fokus pada makhluk besar itu, mencoba mencari cara untuk bertahan.

“Ada ide?” Alex bertanya, suaranya serak.

“Satu-satunya cara kita bisa keluar dari sini adalah dengan menghadapinya,” Maya menjawab tegas, meski jelas ada keraguan di matanya. “Kristal ini… mungkin bisa membantu, tapi kita belum tahu bagaimana menggunakannya.”

“Tidak ada waktu lagi!” seru Dito, memposisikan dirinya di depan mereka semua. "Aku akan coba menghentikannya sementara kalian pikirkan sesuatu!"

Sebelum Alex bisa menghentikannya, Dito sudah berlari ke arah sosok besar itu, menghunus pisau survival-nya. Dito menerjang dengan kecepatan yang luar biasa, mencoba menusuk makhluk itu di bagian samping, tetapi bilah pisaunya hanya memantul dari kulit keras sosok tersebut tanpa meninggalkan bekas.

Makhluk besar itu menggeram rendah, kemudian mengayunkan lengan besarnya ke arah Dito. Dito berhasil menghindar pada saat terakhir, tetapi ayunan makhluk itu menghantam dinding gua, menghancurkan batu-batu yang terlempar ke segala arah.

“Dito!” Rina menjerit, wajahnya pucat.

“Aku baik-baik saja!” Dito berteriak, meski jelas terlihat ia mulai kelelahan setelah serangan gagal itu.

Maya menatap bola kristal di tangan Alex, lalu beralih menatap ukiran-ukiran di dinding gua yang bercahaya samar. “Ada sesuatu di sini. Kristal itu bereaksi dengan ukiran ini… kita harus mencoba menyelaraskannya.”

“Apa maksudmu?” Alex bertanya sambil tetap mengawasi makhluk besar itu yang sedang fokus ke Dito.

“Letakkan kristal di salah satu ukiran itu! Aku pikir ini bukan sekadar hiasan, ini kunci!” Maya menunjuk ukiran berbentuk lingkaran dengan simbol-simbol kuno yang berputar di sekitarnya.

Tanpa berpikir panjang, Alex berlari ke arah dinding, bola kristal masih di genggamannya. Sementara itu, Dito terus berusaha mengalihkan perhatian makhluk besar itu, menghindari setiap pukulan yang diarahkan kepadanya dengan kecepatan yang mengagumkan.

“Cepat, Alex!” teriak Dito, suara napasnya mulai terengah-engah.

Alex mendekati ukiran tersebut dan meletakkan bola kristal di tengah lingkaran. Tiba-tiba, bola itu menyala dengan terang, memancarkan cahaya biru yang menyebar ke seluruh ruangan. Simbol-simbol di dinding mulai bersinar, berputar perlahan di sekitar bola kristal.

Makhluk besar itu berhenti bergerak, matanya yang merah menyala tampak berkedip, seolah terganggu oleh cahaya dari bola kristal. Ia menggeram keras, tapi tubuhnya mulai terlihat kaku, seakan-akan ia sedang ditahan oleh kekuatan yang tidak terlihat.

“Maya, itu berhasil!” Alex berseru, matanya penuh harapan.

“Tapi kita belum selesai! Cahaya itu menahannya sementara, tapi aku tidak tahu berapa lama!” Maya berteriak kembali. “Kita harus temukan cara untuk menghentikannya sepenuhnya.”

Namun, sebelum mereka bisa melakukan apa pun, dinding di belakang mereka mulai bergeser perlahan, terbuka sedikit demi sedikit, memperlihatkan lorong lain yang tersembunyi di baliknya. Lorong itu tampak gelap dan lebih dalam, seolah mengundang mereka untuk masuk.

“Ayo, ini kesempatan kita!” Dito berseru, mulai berlari ke arah pintu yang terbuka. “Kita harus pergi sebelum dia bebas!”

Mereka semua berlari menuju lorong tersebut, meninggalkan makhluk besar yang masih terjebak di bawah pengaruh bola kristal. Tepat saat mereka memasuki lorong, suara gemuruh lain terdengar, seolah-olah gua itu merespons kekuatan yang baru saja diaktifkan.

Rina menoleh ke belakang sesaat, melihat sosok besar itu yang masih berjuang melawan kekuatan kristal. “Apa itu benar-benar akan menahannya?”

“Kita tidak bisa bertahan untuk mencari tahu,” jawab Alex dengan napas terengah-engah. “Yang jelas, kita harus terus maju.”

Saat mereka berlari masuk ke dalam lorong, pintu batu yang terbuka mulai tertutup kembali perlahan, mengurung makhluk besar itu di belakang mereka. Namun, ada perasaan yang menggantung di udara—bahwa ini belum berakhir. Makhluk itu mungkin tertahan sementara, tetapi ancaman yang lebih besar mungkin menunggu di depan.

PETUALANGAN DI PULAU TERPENCILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang