"Cendana, kamu begitu indah. Namun aku sadar bahwa aku tidak pantas untuk terus bersamamu."
Braga, laki laki yang begitu lembut dan memiliki unggah unguh yang begitu sopan. Banyak hal yang membuat beberapa perempuan sangat menyukai kepribadiannya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sore ini entah kenapa Cendana sangat letih, pikirannya masih tertinggal disekolah. Perihal pelajaran fisika yang tidak ia kuasai, bahkan saat bertanya dengan teman sekelas pun mereka tidak ada yang paham. Dia sudah harus mengejar dan mendahului materi disekolahnya, agar dia dapat membanggakan orang tuanya, tak terkecuali ayah.
Baru saja sampai rumah dan disana sudah ada ayah dan ibu. Mereka duduk berdua diteras rumah, sambil berbincang hangat dengan segelas teh hangat diatas meja.
"Eh kakak sudah pulang? Gih bersih bersih dulu, habis itu turun buat makan."
Cendana mengangguk, tidak membantah karena dirinya memang membutuhkan air mengalir mengguyur badannya. Tanpa melihat ayahnya atau mengucapkan sepatah kata pun, Cendana berlalu begitu saja, masuk kedalam rumah.
Entah apa yang dibicarakan ayah dan ibu selanjutnya, dia memilih untuk tidak peduli dan melanjutkan jalannya menuju kamar.
Tak berselang lama, Cendana selesai membersihkan diri dan memutuskan turun kebawah untuk makan.
Saat sudah berada diruang makan, dia melihat tempe dan sambal disana. Tentunya tanpa basa basi, dia mengambil nasi dan memakan lauk kesukaannya itu.
"Cendana, habis ini ayah mau bicara."
Ayah muncul entah dari mana, cendana juga tak ingin tau. Cendana hanya mengangguk dan kembali melanjutkan makannya karena perutnya masih terus minta diisi.
Sudah 15 menit berlalu, Cendana sudah selesai mengisi perutnya dan sekarang dia terduduk disofa depan. Ayah dan ibu yang berada disofa panjang, sedangkan Cendana terduduk didepan ayah dan ibu.
"Ayah mau kamu ikut olimpiade matematika, tapi kali ini olimpiadenya ada di Surabaya."
"Ayah udah pasti percaya kamu akan lolos, jadi ayah juga akan langsung bilang sekarang aja."
"Biaya saat di Surabaya sudah ditanggung ayah, kemarin juga ayah berkoordinasi dengan guru dan dia menyetujui."
"Mungkin minggu depan kamu udah akan dikirimkan ke Surabaya."
Cendana tidak menampakkan raut ingin protes, dia hanya terdiam dan mengangguk perlahan. Ibu menatapnya iba, Cendana selalu tau dan selalu paham situasi yang terjadi saat ini. Ayah yang selalu memintanya untuk menjadi yang terbaik, sedangkan ibu yang ingin membela namun tidak memiliki kuasa apa apa.
Ayah yang masih memberikan raut wajah tegas perlahan mengangguk saat mengetahui bahwa Cendana menyetujui itu semua. Bahkan dari segala sisipun, Cendana tidak memiliki celah untuk menolak kan? Tugasnya menjadi seorang anak adalah untuk membanggakan kedua orang tua. Tidak menolak, menurut, dan diam saja. Bukankah begitu?
"Baguslah kalau kamu setuju."
Memangnya kapan cendana menolak suruhan ayahnya? Entah untuk mengikuti lomba atau mengikuti serentetan kegiatan menguras otak.