Bab 3

302 38 0
                                        

Sebelum baca ini, baca dulu private chapter 2 biar makin paham, wkwk.

***

Setelah beberapa saat, keheningan yang nyaman dan kehangatan yang menyelimuti tubuh mereka mulai terganggu oleh kenyataan bahwa perut mulai merintih minta diisi. Pearly menarik napas panjang dan memeluk Kafka lebih erat, enggan untuk meninggalkan kehangatan yang mereka ciptakan.

"Kayaknya kita harus makan sesuatu," ucapnya sambil tersenyum kecil, menekan wajahnya di dada Kafka.

Kafka, yang masih berbaring dengan santai, hanya tersenyum tipis dan mengecup puncak kepala istrinya. "Aku nggak mau ke mana-mana," ucapnya memeluk sang istri lebih erat.

Pearly tertawa pelan, tetapi dengan lembut mendorong dada suaminya. "Emangnya kamu nggak laper?"

Kafka menatapnya, tersenyum jahil sambil menelusuri wajah Pearly dengan jemarinya. "Aku ngerasa udah cukup kenyang dengan sarapan yang tadi," godanya.

Pearly memukul pelan bahu Kafka, pipinya merona malu mendengar candaan suaminya yang sarat dengan maksud tersirat. "Sarapan kita kali ini harus melibatkan makanan, bukan cuma ... kamu," balasnya, sambil perlahan bergeser dari pelukan Kafka.

Dengan berat hati, Pearly akhirnya duduk di tepi ranjang, meraih jubah tipis yang tergeletak di dekatnya dan mengenakannya. Rasa lapar perlahan mulai mendominasi pikirannya, meskipun jejak keintiman mereka masih terasa jelas di seluruh tubuhnya.

Kafka, yang masih terbaring santai, menatap Pearly dengan penuh kekaguman. Bagi Kafka, setiap gerakan istrinya, bahkan saat mengenakan jubah dengan santai, selalu tampak anggun dan penuh pesona. Ia mendesah, kemudian akhirnya bangun dari tempat tidur, menyusul Pearly yang sudah setengah siap untuk melanjutkan pagi mereka.

"Kamu mau sarapan apa? Omelet atau ... roti panggang dengan alpukat? Atau aku buatin kopi dulu?" Kafka bertanya sambil membuka lemari untuk mengambil kaus yang biasa ia kenakan di rumah.

Pearly menoleh dan tersenyum. "Roti panggang dengan alpukat kayaknya enak. Tapi aku mau kopi duluan. Aku butuh tenaga setelah ‘sarapan’ awal kita tadi," tambahnya dengan sedikit godaan di nada suaranya.

Kafka tertawa kecil sambil mengenakan kausnya. "Kopi, coming right up," sahutnya, lalu berjalan menuju dapur sambil melirik Pearly yang mulai merapikan rambutnya.

Pearly menyusul Kafka ke dapur, melangkah pelan dengan jubahnya yang melambai mengikuti gerakan tubuh, menikmati suasana pagi yang terasa tenang di rumah mereka. Meskipun mereka hidup di tengah-tengah kota besar, saat berada di rumah, suasana selalu terasa damai dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan luar.

Dapur mereka elegan, dengan sentuhan modern yang mencerminkan gaya hidup mereka yang dinamis. Pearly duduk di salah satu stool di dekat meja dapur, memandang Kafka yang sedang sibuk menyiapkan kopi dan roti panggang dengan alpukat. Jubah sutra tipis yang dikenakannya membuat sebagian kulitnya terlihat samar-samar. Kafka, yang berdiri di dekat meja dapur, tak bisa menahan senyum melihat istrinya yang masih tampak memesona meskipun baru saja bangun tidur.

Sarapan pagi itu seolah menjadi perpanjangan dari keintiman mereka sebelumnya, hanya saja kali ini dengan nuansa yang lebih lembut dan menggoda.

"Sedikit gula atau tanpa gula?" tanya Kafka sambil mengulurkan dua cangkir kopi ke arah Pearly.

Pearly, dengan gerakan lambat yang menggoda, meraih cangkir kopi tanpa gula, namun bukannya segera meminumnya, ia membiarkan jari-jarinya menyentuh jari Kafka sejenak. Sentuhan singkat itu terasa seperti aliran listrik yang merayap ke seluruh tubuhnya, membuat Kafka seolah terpaku di tempat.

Love's AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang