Bab 4

223 36 3
                                    

Bab 4

Malam itu, atmosfer di bioskop begitu ramai. Orang-orang berdatangan, berbisik-bisik antusias menantikan film yang akan diputar. Namun, di tengah keramaian tersebut, dua sosok yang jauh dari sorotan mencoba menyelinap tanpa menarik perhatian. Sosok pertama, seorang pria dengan topi baseball dan kacamata hitam, melangkah tenang ke dalam gedung bioskop. Wajahnya yang sebagian tertutup membuat orang-orang tidak menyadari siapa dia sebenarnya—Kafka Kalingga, pengusaha sukses yang biasanya menjadi sorotan.

Sesaat setelah memasuki lobi bioskop, Kafka dengan tenang berjalan menuju konter tiket otomatis. Ia sudah memesan tiket untuk dua kursi di bagian paling belakang, tempat yang paling tidak menarik perhatian.

Setelah mendapatkan tiket, Kafka melangkah ke ruang tunggu bioskop. Ia memilih tempat duduk di sudut yang agak terpencil, sengaja menjauh dari orang-orang. Napasnya perlahan, seolah mencoba mengatur denyut jantungnya yang sedikit berdebar. Ada sesuatu yang mendebarkan dari cara ini, menyamar di tengah keramaian.

Di sisi lain gedung bioskop, sosok kedua muncul. Pearly baru saja turun dari mobil dengan tampilan yang tidak kalah sederhana. Kacamata hitam besar dan topi fedora menutupi sebagian besar wajahnya, tapi pesonanya tetap tidak bisa benar-benar disembunyikan. Dia menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada paparazzi atau orang-orang yang mengenalinya. Meski hatinya berdebar, ada sebersit kegembiraan yang terasa seperti kembali ke masa-masa remaja.

Sambil menyentuh bibirnya yang sedikit menyungging senyum kecil, Pearly melangkah menuju pintu masuk bioskop. Ia tahu Kafka sudah di dalam menunggu dan gagasan itu membuat dadanya terasa hangat. Di tengah hiruk-pikuk kehidupannya sebagai seorang aktris, momen ini adalah pelarian yang sempurna. Meski menyamar dan bersembunyi dari dunia adalah hal yang melelahkan, kali ini rasanya sangat berbeda—rasanya seperti petualangan kecil di antara mereka berdua.

Mereka hanya ingin merasakan apa yang dinamakan "kencan normal." Mereka bisa saja menyewa satu bioskop penuh atau menonton di rumah, tetapi itu tidak akan memberikan sensasi yang sama. Rasanya terlalu mewah dan teratur, tidak ada kesenangan seperti ini.

Dengan langkah penuh keyakinan, Pearly menuju ke arah pintu masuk. Dia berhenti sejenak di depan bioskop, menunggu beberapa detik untuk memastikan bahwa ia tidak menarik perhatian. Setelah merasa cukup aman, dia segera masuk, berjalan menuju ruang teater yang sudah mereka pilih sebelumnya.

Jantungnya berdetak lebih cepat ketika ia mendekati pintu teater. Tangan Pearly mencengkeram tiket di saku jaketnya dan dia menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu lebar ketika petugas tiket dengan santai memeriksa tiketnya tanpa kecurigaan. Ini adalah bagian dari permainan mereka—melewati semua pengawasan tanpa diketahui.

Saat ia melangkah ke dalam ruangan bioskop yang gelap, Pearly melihat Kafka sudah duduk di pojok belakang, tepat seperti yang telah direncanakan. Cahaya redup dari layar membuat wajah Kafka samar-samar terlihat, namun cukup baginya untuk mengenali pria yang dicintainya. Pearly mendekat tanpa tergesa, dengan hati-hati agar tak menimbulkan kecurigaan dari penonton lain. Dia duduk beberapa kursi dari Kafka, menjaga jarak sementara. Meski mereka belum bisa bersentuhan, rasanya kehadiran satu sama lain di ruangan itu sudah cukup memuaskan.

Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya suara film di layar yang mengisi ruangan. Tak ada satu pun di antara mereka yang bergerak, seolah sedang menjalani peran masing-masing dengan sempurna. Tapi diam-diam, Kafka menggeser kakinya sedikit, memberi tanda kecil kepada Pearly. Hanya mereka yang tahu isyarat itu dan Pearly pun merespons dengan menggeser tubuhnya perlahan, mendekat ke arah suaminya.

Rasanya seperti permainan rahasia di mana mereka adalah dua orang asing yang tak saling mengenal, namun dalam hati, mereka tahu persis apa yang sedang terjadi. Dalam suasana bioskop yang gelap, setiap gerakan kecil terasa begitu mendebarkan. Seperti ketika jari Kafka perlahan menyentuh lengan Pearly yang diletakkan di sandaran kursi, lalu menjalin di antara jemarinya. Sentuhan itu sederhana, tetapi dalam situasi seperti ini, terasa lebih intens.

Pearly menahan senyum. Dalam keheningan bioskop, hubungan mereka terasa lebih kuat. Mereka mungkin dikelilingi orang-orang yang tidak tahu, tetapi di antara mereka, hanya ada koneksi yang mendalam.

Saat film makin mencapai puncaknya, Kafka memiringkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke arah Pearly. Dengan hati-hati, ia berbisik pelan di telinganya, "Kita kayak buronan yang lagi menghindari kejaran Polisi."

Pearly tertawa geli, pelan, berusaha untuk tetap tenang meski suara desiran lembut di telinganya membuat tubuhnya meremang. Sambil tersenyum, ia meletakkan kepalanya di bahu Kafka, merasa nyaman dalam kedekatan tersebut. Tangannya mulai meremas tangan suaminya, memainkan jari-jari mereka yang kini saling terikat erat.

Sementara film terus bergulir di layar, mereka berdua tenggelam dalam keintiman terselubung yang hanya bisa dirasakan di ruangan gelap ini. Sentuhan kecil yang seolah tidak disengaja di lengan, gesekan lembut antara bahu mereka, semuanya terasa lebih intens dalam suasana penuh rahasia seperti ini.

Pearly menoleh sedikit, mengarahkan matanya ke arah Kafka meski ruangan terlalu gelap untuk melihat dengan jelas. Tapi itu tidak masalah. Mereka tidak butuh banyak kata atau kontak mata untuk mengerti apa yang sedang mereka rasakan. Ada getaran yang lebih dari sekadar kehadiran fisik—ada koneksi emosional yang dalam.

Lampu bioskop yang sepenuhnya padam membuat segalanya makin terasa berbeda. Gelapnya ruangan menciptakan nuansa yang lebih mendebarkan, seolah memberikan izin bagi mereka untuk lebih bebas. Kafka yang biasanya sangat berhati-hati, kali ini merasa terdorong untuk lebih dekat. Ia menurunkan masker, menundukkan wajahnya dan dengan penuh perlahan, ia menempelkan bibirnya di dahi Pearly.

Ciuman itu lembut, tetapi membuat jantung Pearly berdebar lebih kencang. Ada sesuatu yang berbeda dari malam ini, sesuatu yang tidak mereka rasakan saat harus berbagi kehidupan di depan umum. Di sini, mereka bebas dan ciuman sederhana itu terasa jauh lebih bermakna.

Tangan Kafka turun, perlahan menyentuh pinggang Pearly, memberikan tekanan ringan yang tak pernah terasa mengintimidasi, hanya mengundang lebih banyak kehangatan di antara mereka. Sementara Pearly mengangkat sedikit wajahnya, pandangan mereka bertemu dalam kegelapan. Mata mereka berbicara lebih dari apa yang bisa diucapkan kata-kata. Ada dorongan yang kuat, sebuah energi yang terus tumbuh di antara mereka. Saling memahami tanpa kata, Kafka mendekatkan bibirnya ke leher Pearly, mengecup perlahan.

Pearly menggigit bibir bawahnya, menahan desahan yang hampir terlepas. Rasanya seperti petualangan berbahaya, namun sangat menyenangkan. Tangan Kafka yang lain kini bergerak ke paha Pearly, memijat lembut bagian atasnya dengan gerakan yang terukur namun menggoda.

Detik demi detik berlalu dan mereka makin tenggelam dalam momen itu. Tanpa seorang pun menyadari, di tengah keramaian bioskop, dua jiwa ini saling terhubung dengan cara yang begitu intim. Meski terjebak di tempat umum, mereka menciptakan dunia mereka sendiri—dunia yang hanya dipenuhi oleh bisikan lembut, sentuhan tersembunyi dan hasrat yang makin membara.

Saat lampu film menyala perlahan di tengah pertunjukan, tubuh mereka sedikit menjauh, kembali ke posisi semula, seolah tidak ada yang terjadi.

Selama sisa film, mereka tidak banyak bicara lagi. Mereka hanya menikmati momen tersebut—berada di samping satu sama lain, meski harus terus menyembunyikan siapa diri mereka yang sebenarnya.

Saat film selesai dan lampu sepenuhnya menyala, mereka masih duduk di sana, menunggu sebagian besar penonton ke luar lebih dulu. Dengan hati-hati, Kafka melepas genggaman tangannya dari Pearly, lalu berdiri lebih dulu. Dia berjalan ke luar tanpa menoleh, mengikuti langkah tenang yang sudah direncanakan.

Pearly menunggu beberapa detik, memandangi punggung Kafka yang makin menjauh sebelum ia pun berdiri. Perasaan mendebarkan masih ada di dadanya. Perlahan-lahan ia menyusul Kafka ke luar, dan meski mereka ke luar dari bioskop dengan jarak yang terpisah, di dalam hati mereka tahu—mereka telah mencuri satu momen lagi dari dunia yang terlalu ingin tahu tentang hidup mereka.

Mereka mungkin adalah pasangan terkenal, tetapi malam ini, mereka hanya dua orang yang sedang jatuh cinta, menikmati kencan sederhana yang penuh dengan keseruan tersembunyi.

***

Love's AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang