Bab 2

369 45 0
                                        

Bab 2

Setelah sesi keintiman di dapur, Kafka dan Pearly duduk berhadapan di meja makan. Hidangan yang sudah siap tersaji di depan mereka-spaghetti aglio e olio dengan tambahan salad segar. Suara sendok garpu yang beradu dengan piring terdengar lembut, melengkapi keheningan malam itu.

Pearly mengamati suaminya dari seberang meja. Meski wajah Kafka tampak serius, Pearly tahu betul betapa pria itu merindukan momen seperti ini-sederhana, tanpa gangguan dari dunia luar. Baginya, setiap detik yang mereka habiskan bersama saat weekend adalah waktu yang tak ternilai.

"Masakan kamu makin enak. Perfeksionis. Bahkan dalam urusan memasak," ujar Pearly sambil menyuapkan sepotong pasta ke mulutnya. Senyuman kecil terbit di sudut bibirnya.

Kafka menatapnya, bibirnya melengkung tipis. "Itu sebabnya kamu milih aku sebagai suami, kan?" godanya.

Pearly tertawa kecil.

Mereka berbincang tentang hal-hal ringan, mulai dari proyek Kafka yang baru saja diselesaikan hingga pemotretan Pearly yang melelahkan di luar kota. Meski topik percakapan mereka terdengar biasa saja, ada kehangatan yang tak tergantikan di antara mereka. Setiap kata yang terucap dipenuhi rasa sayang, seolah waktu di luar akhir pekan tidak cukup untuk menyampaikan semuanya.

"Gimana rasanya jadi suami seorang aktris terkenal?" tanya Pearly dengan nada menggoda.

Kafka mengangkat alis. "Sulit. Aku harus bersaing dengan jutaan fans kamu, tapi aku nggak bisa kasih tau mereka kalau kamu milik aku," balasnya dengan nada sarkastis yang bercampur manis.

Pearly tertawa lagi, suara tawanya memenuhi ruangan, membuat suasana makin hangat.

"Dan gimana rasanya jadi istri seorang pengusaha sukses?" Kafka balik bertanya, menatap Pearly dengan mata berbinar.

"Seneng lah. Rekening aku selalu terisi," jawab Pearly dengan tawa senyum penuh arti.

Kafka tergelak.

Lalu, mereka kembali diam. Ada kenyamanan dalam diam mereka. Sebagai suami istri yang merahasiakan pernikahan dari dunia, mereka telah terbiasa menemukan kebahagiaan dalam momen-momen sunyi yang penuh makna.

Setelah selesai makan, mereka berdua membawa gelas anggur masing-masing ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa, berdekatan. Pearly menyandarkan kepalanya di bahu Kafka dan pria itu merangkulnya erat. Tidak ada kata-kata, hanya keheningan yang menyelimuti, diselingi oleh musik jazz lembut dari speaker di sudut ruangan.

Kafka memandangi wajah istrinya yang terlihat damai. "Capek?" katanya pelan, jari-jarinya menyusuri rambut Pearly dengan lembut.

Pearly mengangguk sedikit. "Tapi nggak terlalu, nyaman banget kalau udah di deket kamu," sahutnya, menyelipkan dirinya lebih dalam ke pelukan Kafka.

Malam itu, mereka tidak membutuhkan lebih dari sekadar kebersamaan. Tanpa ponsel, tanpa gangguan dari pekerjaan atau dunia luar. Hanya mereka berdua, di dunia kecil yang mereka ciptakan sendiri.

Dengan lembut, Kafka mencium kening Pearly. "Aku selalu ada buat kamu. Jadi, kapanpun kamu butuh aku, jangan ragu untuk minta aku datang," bisiknya.

Pearly tersenyum dalam pelukan Kafka. "Aku nggak mau ganggu kerjaan kamu. Bisa ketemu setiap weekend gini udah lebih dari cukup buat aku," jawabnya pelan.

Mereka berdua tahu bahwa setelah weekend berlalu, mereka akan kembali ke dunia masing-masing-dunia yang penuh dengan sorotan, tanggung jawab, dan rahasia. Tapi untuk saat ini, mereka hanya ingin menikmati momen kebersamaan ini, tanpa peduli pada apa yang akan datang esok hari.

***

Pagi yang lambat di hari Minggu selalu menjadi momen yang paling dinantikan oleh Kafka dan Pearly. Hari di mana mereka bisa berlama-lama di tempat tidur tanpa beban, tanpa perlu khawatir dengan panggilan kerja, jadwal syuting, atau tenggat proyek yang menuntut perhatian mereka. Ini hari mereka, waktu pribadi yang sangat langka dan selalu dijaga dengan hati-hati.

Love's AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang