Bab 7

106 16 0
                                        

Bab 7

Hari-hari Pearly setelah syuting berjalan tidak kalah sibuk. Agenda harian yang dipenuhi oleh janji, rapat dan sesi pemotretan membuat waktu terasa begitu cepat berlalu. Dalam sekejap, jadwalnya kembali terisi penuh, bahkan sebelum sempat menghela napas panjang. Ditambah lagi, pemberitaan soal paparazi yang menangkapnya di bioskop terus bergulir, membuatnya harus menghadapi tekanan publik yang semakin intens.

Konferensi pers sudah dijadwalkan oleh manajernya, sebagai bagian dari upaya untuk meredam spekulasi publik. Pearly tahu bahwa situasi ini harus ditangani dengan hati-hati. Meski ia terbiasa menghadapi kamera dan media, tetap saja, kali ini ada tekanan tambahan-mereka harus memastikan bahwa identitas Kafka tetap terlindungi.

Pagi konferensi pers terasa seperti hari-hari lain, tapi dengan ketegangan yang lebih nyata. Dari awal bangun, Pearly sudah terlibat dalam percakapan serius dengan Ari tentang strategi dan langkah yang akan diambil.

"Tenang aja, Ly. Kita udah siapin semua jawaban yang tepat dan kita nggak akan ngasih mereka terlalu banyak informasi. Fokus kita adalah menenangkan rumor, tapi tetap menjaga privasi lo dan Kafka," ujar Ari sambil menyerahkan secangkir kopi pada Pearly.

Pearly mengambil napas panjang sambil menerima cangkir tersebut. "Gue tau. Gue cuma mau mastiin semua berjalan lancar, nggak ada yang terlalu menekan atau membuat spekulasi lebih lanjut."

Ari mengangguk yakin. "Kita akan jalani ini dengan profesional seperti biasa. Lo tinggal santai aja dan ikuti alurnya."

Pearly tersenyum lemah, tapi matanya menampakkan ketegangan. Dia tahu bahwa meskipun semua sudah direncanakan dengan baik, tidak pernah ada jaminan bahwa media tidak akan mencoba mengejar lebih dalam, mencari celah untuk menggali informasi yang lebih sensitif.

***

Lokasi konferensi pers dipilih dengan sangat hati-hati. Di sebuah hotel bintang lima di pusat kota, ruangan sudah disulap menjadi ruang konferensi yang elegan. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo brand yang diwakili Pearly terpasang rapi. Di depan panggung, ada barisan kursi yang disediakan untuk para jurnalis dan fotografer yang diundang. Mereka semua duduk dengan tenang, menunggu kehadiran Pearly.

Setelah beberapa saat, lampu-lampu kamera mulai menyala saat Pearly muncul di ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana namun anggun, dengan rambutnya ditata rapi. Wajahnya tampak tenang, meski ada sedikit tekanan yang terasa dari tatapan-tatapan yang diarahkan padanya. Ari berjalan di belakangnya, mengikuti langkahnya dengan senyum profesional, meskipun Pearly bisa merasakan ia juga waspada.

Sorotan kamera segera berfokus pada Pearly saat ia duduk di kursi di depan mikrofon, persis di tengah panggung. Ruangan hening, hanya suara kamera yang terus memotret dari berbagai sudut. Pearly menatap sekilas ke depan, mencoba menenangkan diri sebelum memulai.

"Selamat pagi semuanya, terima kasih udah hadir di sini," ucap Pearly dengan nada lembut namun tegas. Senyuman kecil menghiasi wajahnya, meski di dalam, perasaannya tetap bergejolak. "Saya tahu ada beberapa spekulasi yang berkembang di media beberapa hari terakhir mengenai foto saya di bioskop minggu lalu dan saya ingin memberikan klarifikasi."

Para jurnalis mulai mempersiapkan diri, tangan mereka siap menulis, mata mereka tak lepas dari setiap gerak tubuh dan ekspresi Pearly. Beberapa kamera mulai zoom in, mencoba menangkap reaksi sekecil apa pun.

"Saya memang mengunjungi bioskop minggu lalu untuk menikmati waktu pribadi saya," lanjut Pearly dengan hati-hati. "Namun, saya mau menegaskan kalau itu adalah kegiatan pribadi dan saya tidak sedang bersama siapa pun yang harus menjadi perhatian publik. Saya harap, kita semua bisa menghormati privasi tersebut."

Pernyataan itu disampaikan dengan nada yang jelas dan lugas, tapi Pearly tahu beberapa wartawan akan mencoba menggali lebih jauh. Tangan Pearly tetap terlipat di atas meja, menjaga postur tubuh yang tenang meskipun di baliknya ada ketegangan. Seorang jurnalis mengangkat tangan, meminta kesempatan untuk bertanya.

"Jadi, siapa laki-laki yang terlihat duduk di sebelah kamu di bioskop?" tanya salah satu jurnalis dengan nada hati-hati, namun tetap menggiring ke arah yang mereka inginkan.

Pearly tersenyum tipis, sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Seperti yang saya katakan sebelumnya, itu adalah momen pribadi. Saya tidak akan mengomentari siapa yang ada bersama saya, karena hal tersebut tidak relevan. Fokus saya saat ini adalah pekerjaan dan proyek-proyek saya ke depan."

Jawaban itu cukup diplomatis, tapi beberapa jurnalis terlihat masih penasaran. Namun, Pearly tetap tenang, memberikan jawaban-jawaban yang sama untuk beberapa pertanyaan berikutnya, memastikan tidak ada informasi tambahan yang bocor.

***

Setelah konferensi pers berakhir, Pearly segera menuju ruang belakang di mana Ari sudah menunggunya. Wajah manajernya tampak puas dengan hasil konferensi tersebut.

"Lo ngelakuinnya dengan baik, Ly," ujar Ari sambil menepuk bahunya. "Jawaban-jawaban lo tepat sasaran, nggak ada celah buat mereka gali lebih dalam."

Pearly menarik napas lega, akhirnya bisa sedikit mengendurkan ketegangan yang ia rasakan sejak pagi. "Gue harap ini segera berlalu. Gue nggak suka terus-terusan harus ngejelasin hal pribadi kayak gini."

Ari mengangguk. "Ini emang bagian dari pekerjaan Lo. Tapi tenang, kita udah meminimalisir dampaknya. Sekarang, Lo bisa fokus ke proyek-proyek berikutnya tanpa terganggu."

Pearly tersenyum kecil, lalu duduk di sofa yang tersedia di ruang ganti, melepaskan sepatu hak tingginya dan meregangkan kakinya. "Gue nggak sabar buat istirahat sebentar setelah ini," gumamnya sambil memijat ringan pergelangan kaki.

***

Di balik layar, Pearly terus menghadapi jadwal padatnya dengan profesionalisme tinggi. Dia mengikuti setiap sesi pemotretan, pengambilan gambar untuk iklan dan persiapan proyek-proyek mendatang. Lokasi syuting yang ia datangi bervariasi-dari studio indoor yang megah hingga lokasi outdoor yang lebih alami dan terbuka. Di setiap lokasi, para kru sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan teliti, dari pencahayaan hingga setting latar belakang, memastikan semuanya berjalan mulus.

Namun, di tengah semua kesibukan ini, Pearly tak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari Kafka dan keadaan mereka. Setiap kali ia memiliki momen tenang, pikirannya selalu kembali pada suaminya, membayangkan saat-saat mereka berdua, terpisah dari sorotan kamera dan publik.

Saat selesai dengan jadwal syuting di hari yang sangat padat itu, Pearly kembali ke ruang istirahat. Matanya terasa berat, namun ada perasaan lega ketika akhirnya dia bisa merebahkan diri sejenak di sofa. Asisten pribadinya, Nina, mendekat sambil menyerahkan ponselnya.

"Kak, tadi Kak Kafka telepon," ujar Nina dengan suara lembut.

Pearly mengambil ponsel itu, dan tanpa berpikir panjang, ia langsung mencari kontak Kafka. Ia merindukan suaranya, bahkan hanya mendengar satu kalimat dari Kafka sudah cukup untuk membuatnya merasa lebih baik.

***

Love's AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang