Chapter 12

9 1 0
                                    

Matahari baru saja muncul dari balik cakrawala, menyinari halaman rumah dengan sinar keemasan yang lembut. Arga sudah selesai sarapan, tapi ada hal lain yang mengganjal di pikirannya pagi itu. Ia duduk di meja makan dengan wajah serius, memandangi adiknya, Aira, yang sedang menyiapkan tas sekolah. Hari ini rasanya seperti ada sesuatu yang harus ia lakukan, tapi ia masih ragu. Sudah beberapa hari ia terus memikirkan Deelah, namun ia masih belum punya keberanian untuk menghubunginya langsung.

Aira, yang sedang sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, mendongak dan menatap Arga dengan bingung. “Kenapa sih, pagi-pagi udah serius banget? Jangan bilang kamu masih mikirin temen ku yaaa?” goda Aira sambil tersenyum setengah meledek.

Arga menghela napas panjang, mengusap wajahnya sejenak sebelum menjawab. “Ya, gue lagi mikirin Deelah.”

" Ehh titip salam ya, bilang dari Arga" Lanjut lelaki itu.

Aira tertawa kecil, tapi matanya tetap penuh perhatian. “Kenapa nggak ngomong aja langsung? Masih aja nitip-nitip salam kayak anak SMP.”

Arga memutar mata, tak menanggapi ledekan adiknya. "Gue nggak punya kontak dia, lo juga tau itu. Dan lo nggak pernah mau kasih gue nomornya."

Aira berhenti tertawa seketika. Wajahnya serius sejenak, tapi ia segera kembali bersikap biasa. "Yah, gue cuma nggak mau lo bikin dia nggak nyaman. Lo tau kan, dia tuh orangnya tertutup banget sama cowok."

Arga mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Makanya, gue nitip salam aja, boleh nggak? Nggak ada salahnya, kan?”

Aira menatap Arga, merasa sedikit kasihan. Ia tahu kakaknya ini sebenarnya tulus, tapi Deelah memang bukan tipe yang mudah didekati. “Oke deh, gue sampaikan. Tapi lo harus janji nggak usah nanya-nanya yang macem-macem lagi ke gue soal dia, ya.”

Arga mengangguk cepat, senyumnya mulai muncul. “Gue janji. Cuma salam doang, nggak lebih.”

Aira tertawa kecil sambil mengangkat bahu. “Oke, siap. Tapi lo janjiin gue traktir bakso minggu depan.”

“Deal!” jawab Arga cepat, setengah lega karena setidaknya sekarang ada cara buat Deelah tahu kalau dia masih ingat dan peduli.

Aira kemudian mengangkat tasnya dan berjalan menuju pintu, tapi sebelum keluar, ia menoleh lagi ke Arga. "Gue bilangin ya, kalau gue sogokan gini sih cuma sekali-kali aja. Besok-besok urusin sendiri, ya!"

Arga tertawa kecil dan mengangguk. "Oke, noted!"

***
Udara pagi terasa segar, dan suara burung-burung bernyanyi di luar menambah suasana tenang. Di meja makan, Deelah sedang menikmati sarapan terakhirnya dengan Dzira dan Rika. Meski hari tampak tenang, Rika sudah mulai membuat sedikit keributan seperti biasanya.

“Aku nggak mau bareng Tante Delia! Aku bawa Kelly aja sendiri!” keluh Rika sambil meneguk jus jeruknya dengan tergesa-gesa.

Deelah tersenyum sabar, sementara Dzira menggeleng pelan, sudah terbiasa dengan sikap heboh adiknya itu. “Rik, nggak ada salahnya bareng Tante Delia. Kan enak ada yang jemput, bisa ngobrol di jalan, dan nggak capek,” bujuk Deelah dengan nada tenang.

Rika mendesah, masih cemberut. “Iya, tapi aku lebih suka jalan sendiri pake Kelly. Seru kan, kayak bebas gitu!”

Deelah meletakkan sendoknya dan menatap adiknya dengan penuh perhatian. “Tapi hari ini Tante Delia udah mau jemput kita, Rik. Nggak enak kalau kamu nolak. Lagian, kamu bisa pake Kelly besok lagi. Gimana?”

Rika memeluk tasnya dengan ekspresi protes, tapi akhirnya menyerah setelah melihat tatapan lembut Deelah. “Iya deh, aku ikut. Tapi besok aku mau pake Kelly ya!” serunya, masih setengah ngambek.

Jejak Sang Gadis Mungil (Ongoing)Where stories live. Discover now