bagian 1

72 11 19
                                    

"Hilya!"

Perempuan yang masih menyisir itu menoleh, pada pintu kamar yang terbuka dan seseorang dengan sanggul kecil terlipat, meski beberapa anak rambut masih tersisa tampak memandanginya sangat lama.

"Apa?"

"Panggil aja."

Hilya merotasikan matanya. "Lo mau ngajar hari ini?"

Perempuan cantik itu mengangguk, melepaskan tangan dari daun pintu, membuat jaraknya lebih besar, sehingga kamar berantakan itu terlihat jelas.

"Bukan ngajar, hari ini jadwal pentas."

"Woah, di mana?"

"Gedung Pemuda."

Hilya selesai dengan rambut panjangnya, hanya diberi pemanis jepitan warna pink menyesuaikan dengan crop top ungu muda yang dia kenakan hari ini. Riasan wajahnya juga begitu manis, tidak berlebihan, wajar karena hari ini dia ada rencana bertemu jajaran redaksi penerbitan tempatnya kerja.

"Wow, naik apa?" tanya Hilya, kini sudah menatap lekat sepupunya itu, Isha.

"Sewa mobil elf gitu."

"Kalian itu harusnya sudah punya mobil sendiri, minimal."

"Uangnya habis untuk bayar utang gedung yang nunggak, Ya."

Mereka kompak jalan berdua menuruni tangga, menuju dapur di mana aroma harum nasi goreng telur dadar itu tercium sampai atas. Bisa mereka dengar bunyi berisik dari Ibu yang sibuk sejak pagi.

"Masih banyak yang harus dibayar?"

Isha sampai lebih dulu di dapur, mendorong kursi. "50 juta lagi."

"Apa yang 50 juta?"

"Selamat pagi, Bundahara!"

Ibu—Mayang menyipitkan mata menatap kedua putrinya ini dengan tak percaya, lidahnya mengecap begitu saja melihat tingkah keduanya terlalu mirip sekarang.

"Woah, Ibu masak apa sarapan ini? Nasi goreng! Luar biasa!" Hilya selalu memberikan komentar yang berlebihan terkadang, meski begitu Mayang tetap menyukainya.

"Telur dadarmu yang dipisah masih di wajan."

"Aku ambil sendiri." Hilya bangun dari duduknya masuk ke wilayah dapur.

Sedangkan kini tersisa Mayang dan Isha yang duduk saling berhadapan. Mayang sudah tahu jika kedua putrinya ini berbeda. Jika Hilya selalu diliputi rasa semangat, maka Isha berbanding terbalik. Perempuan cantik itu hanya menyendok nasi gorengnya dengan tenang, lalu bilang itu enak.

"Hari ini anak-anak ada pentas?"

"Iya, Bu. Di Gedung Pemuda." Isha baru teringat. "Kayaknya aku bakal pulang terlambat deh, Bu. Habis dari pentas, aku masih ada rapat sama guru tari lain."

"Ya sudah." Terdengar ada mangkuk bergeser dari dapur. "Ngapain sih, Hilya?"

Hilya terkekeh, di tangannya ada dua piring, satu piring telur dadar dan satu lagi sisa ikan sarden semalam. Masih ada, hangat juga.

"Sayang, Bu kalau nggak dimakan."

Mayang menghela saja, kalau soal makanan Hilya tidak bisa diganggu gugat.

Suasana makan di meja makan itu berangsur tenang. Isha makan dengan khidmat, sedangkan Hilya masih berusaha menemukan tontonan seru di Youtube untuk jadi temannya.

"Bu, Ayah ke mana?" Hilya baru menyadari betapa kosongnya rumah besar ini. "Tumben nggak sarapan."

"Ayahmu lagi ke komplek sebelah."

KaleidoskopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang