"Jadi, kalian bertengkar di mobilnya Mas Kamal?" Isha mengulang isi curhatan Hilya barusan.
Perempuan cantik itu mengangguk walau bibirnya sibuk mengunyah kue pukis. Minggu pagi tentu saja harus diisi dengan lari pagi, walau lari hanyalah kedok, karena pada akhirnya mereka justru jajan pinggir jalan.
"Iya gitu."
Isha bisa membayangkan bagaimana Adimas yang kaku, dingin, menyebalkan, bertengkar dengan Hilya yang tidak akan mau kalah. Dia jadi kasihan dengan Kamal yang jadi pihak ketiga hari itu.
"Gue cuma mau dia sedikit aja menghargai Mas Kamal. Dia kayak nggak ada gairah hidup, Sha."
Isha terkekeh. Mereka melanjutkan perjalanan setelah mampir ke penjual kue pukis.
"Tapi, Ya."
Hilya mulai tertarik dengan penjual risol isi mayo yang tampak panas. "Apa?"
"Gue rasa lo yang salah prasangka sama Pak Adimas."
Hilya tidak jadi bergerak, keningnya berkerut di balik topi milik Ayah yang dia pinjam hari ini. "Maksud lo?"
Isha tetap tenang. "Maksud gue, lo baru tahu Pak Adimas baru-baru ini, sedangkan Mas Kamal sudah separuh hidupnya bareng Pak Adimas. Kalau sampai detik ini Mas Kamal masih memilih Pak Adimas jadi rekan kerjanya, itu berarti Pak Adimas tidak seperti yang lo bayangkan."
Hilya menjilat bibirnya yang kering.
"Kadang kita hanya tahu luarnya aja, Ya. Belum tentu dalamnya Pak Adimas seperti yang lo pikirkan. Siapa tahu, aslinya Pak Adimas manja kayak anak kucing?"
Hilya membayangkan, mendadak merinding. Wajah kaku, rahang tegas itu, berbinar-binar ketika menginginkan sesuatu. Astaga bulu kuduknya berdiri semua.
Isha terbahak melihat reaksi sepupunya tersebut. "Hati-hati, Ya. Biasanya yang benci dan sebal, sering ketemu lho."
Hilya membelak, panik, tentu saja. Tidak bisa dibayangkan dia harus bertemu Adimas di mana pun dia pergi. Dengan cepat Hilya mengusap perutnya.
"Amit-amit."
Isha makin tergelak.
Di sisi lain, Adimas dengan kaus putih dan kemeja kotak-kotak warna biru muda yang dia lepas seluruh kancingnya itu, tampak paling sibuk hari ini. Tentu saja, hari ini adalah ulang tahun Celvi, keponakannya yang berusia 9 tahun. Sudah besar sekali, tetapi masih merengek mau ulang tahunnya dirayakan bertema garden party.
Di halaman rumah besar milik adik bungsu Adimas, pria itu sibuk membawa sebox es batu untuk membuat minuman dingin spesial hari ini. Mana cuaca sungguh terik, dia sudah berkeringat. Sekitarnya memang ramai, pesta sudah berlangsung sejak tadi, ada beberapa teman Papa dan Mamanya, juga anak kecil, teman sekelas Celvi. Wajah mereka mayoritas ada blasteran, rasanya murni Celvi yang pribumi asli di sini.
Adimas menyerahkan box es batu itu pada Ai, adiknya. Yang mengenakan gaun musim panas dengan sedikit cardigan putih menutupi lengannya. Ai tersenyum melihat perjuangan sang Kakak begitu besar hari ini.
"Terima kasih."
Adimas mengangguk. Melirik kegiatan Ai yang menuangkan sirup ke dalam teko besar. Ada beberapa susu dingin juga.
"Anak-anak minum susu, yang dewasa cukup sirup. Bagaimana?"
Adimas mengangguk lagi. Ai tertawa kecil.
"Aku kira Abang nggak akan jadi datang hari ini."
Adimas menerima segelas sirup dingin dari Ai, sudah ditambahkan es batu. Menegaknya segelas. "Sudah janji dengan Celvi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Fanfiction[Romance, AU 15+] 《UPDATE SETIAP KAMIS》 Hilya yang kehidupannya sudah berwarna tetap menginginkan ada kekasih di hari-harinya. Hilya bertekad dia akan segera menikah walau tahun ini dia baru genap 25 tahun. Kemudian, Ayah memberitahu kalau rumah kos...