****
Jona bukan laki-laki yang gemar menikmati tubuh wanita, ia hanya pernah sesekali membayar pelacur di kelab malam untuk melampiaskan perasaan buruknya. Jona bukan lelaki berengsek yang gemar mengajak wanita tidur bersama. Bahkan ia melepas keperjakanya saat berusia dua puluh empat tahun.
Jona juga bukan pecandu alkohol, Jona hanya menikmati minuman haram itu saat kepalanya sedang pening akibat tekanan yang sang ayah berikan. Semua yang Jona lakukan bukan karena pergaulan, ia bukan tipe lelaki yang gemar nongkrong dan menghabiskan malam minggu dengan teman-teman. Ia cukup tertutup pada sekitar.
Jona termasuk pintar dalam hal akademis, ia selalu masuk ke dalam peringkat lima besar di sekolah. Meski bukan yang pertama, tapi namanya tidak pernah turun dari daftar ranking paralel. Jona juga tidak pernah berbuat sesuatu yang buruk, jalannya teramat lurus hingga kemudian semua berubah saat Papa mulai terobsesi menjadi CEO Pradipta Group.
Papa yang hanya seorang menantu di keluarga itu tentu tidak akan bisa mendapatkan jabatan tinggi, semua hanya akan dikuasai oleh anak laki-laki kakek. Maka itu, beliau meminta Jona untuk bisa merebut jabatan itu, menekan dirinya, membuat Jona terpaksa harus bisa menyingkirkan Sean dan mengalahkan sepupunya itu meski dengan cara terburuk sekali pun.
Papa terus memberi tekanan, membuat hubungan antara dirinya dan Sean yang semula baik perlahan memburuk. Ia jadi membenci lelaki itu, ia benci selalu dibandingkan, ia benci dikalahkan. Hingga Jona melakukan segala cara untuk menghancurkan Sean, lalu membuatnya bertemu dengan Bella, wanita yang sudah dicap buruk oleh keluarganya.
Sesungguhnya Bella tidak seburuk itu hingga harus dipandang sebelah mata, bahkan Om Bagas pernah menghinanya dengan sebutan wanita rendahan. Bella memang matre, bahkan wanita itu mendekati Sean hanya untuk melancarkan karirnya. Tapi, bukan berarti ia pantas dihina bukan? Jona yakin, meski tidak ditunjukan, Bella memiliki hati yang baik.
"Habis dari mana kamu?"
Suara Papa yang menggema di ruangan itu sontak membuat Jona menghentikan langkah kakinya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia menoleh, mendapati sang ayah sedang duduk di sofa ruang tamu dengan koran di tangan. Sepertinya Papa sengaja menunggunya di sana.
Jona menghampiri. "Papa ngapain di sini?" Lantas ia duduk di sofa yang bersebrangan dengan sang ayah.
"Papa nunggu kamu." Wibowo melipat koran yang sejak tadi beliau baca sembari menunggu sang anak di ruangan itu. Matanya memancarkan aura yang tajam, perasaan Jona mendadak tak tenang.
Sejak pagi Papa terus memarahinya karena kabar yang mereka dengar tentang keberhasilan Sean dalam mengambil simpatik para pemegang saham. Hingga Sean yang juga berencana mengunjungi Aldo untuk meminta suara lelaki itu di rapat umum nanti. Semua kabar itu membuat Papa murka.
"Kamu darimana? Sudah berhasil bertemu dengan Aldo?"
Menelan salivanya perlahan, Jona berusaha tenang dengan kepala menggeleng pelan. "Belum, Pa."
"Terus kenapa keluyuran? Habis ketemu siapa kamu?"
Jona lagi-lagi menelan salivanya dengan kelat. Ia tentu tidak akan berkata jujur, Papa mungkin bisa mengamuk kalau beliau tahu ia baru saja bertemu dengan Bella. "Jona tadi habis ketemu temen, Pa," jawabnya gugup.
Wibowo mendesis, menatap putranya tak percaya. "Siapa temen kamu?"
"Ya?" Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuat Jona membeliak, mendadak ia gelagapan. Jona tidak pintar berbohong saat berada di depan Papa, maka raut panik seketika terpancar di wajahnya. "Temen ... kuliah."
"Apa wanita ini temen kuliah kamu?"
Meraih tablet di atas meja, Papa menyodorkan benda itu ke arah Jona. Layarnya menampilkan gambar Bella dan dirinya yang sedang berdiri di depan pintu apartemen wanita itu. Foto itu baru saja diambil tadi, saat ia datang menemui Bella.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merajut Asa
Lãng mạnBella merasa terkhianati saat lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama lima tahun memilih untuk melepaskannya dan kembali pada wanita yang telah sang ayah jodohkan. Rasa ingin membalaskan dendam sangat kuat, Bella ingin mereka hancur, Bella ingin...