****
Setelah melewati empat hari tiga malam dengan tidur yang tidak nyenyak hanya untuk memikirkan nasib bayinya, Bella akhirnya membuat keputusan. Ia akan mengatakan pada Jona tentang kehamilannya. Bagaimana pun, Jona harus tahu kalau ada benihnya di dalam rahim Bella saat ini. Terlepas seperti apa respon Jona nanti, yang jelas Bella sudah memberitahukannya.
Kata-kata Disa terus terngiang di dalam kepala, tentang Ibu yang meninggalkannya. Bella tidak ingin seperti wanita itu, Bella tidak akan membunuhnya. Bayi itu tidak bersalah, jadi mengapa ia harus mengugurkannya? Sekali pun Jona tidak akan bertanggung jawab, Bella tetap akan membesarkan anak itu seorang diri. Ia sudah tidak perduli apa kata orang. Yang penting dirinya bahagia bukan?
Mengecek jarum jam di pergelangan tangan, Bella duduk dengan resah sembari menunggu Jona datang. Bertempat di salah satu restoran bintang lima, Bella yang tadi sempat menghubungi Jona dan mengatakan kalau ada sesuatu yang ingin ia sampaikan—tak tahan meremat jari jemarinya dengan gugup.
Sebelumnya Bella meminta Jona untuk datang ke apartemennya, ia ingin bertemu di tempat yang aman dan tidak terjangkau oleh orang lain. Karena masalah yang akan mereka obrolkan ini pasti akan terdengar sangat sensitif. Tapi Jona menolak, bahkan tadinya lelaki itu tidak ingin menemuinya. Bella memaksa dan kemudian mereka berjanji bertemu di restoran ini.
Sudah hampir lima belas menit dari waktu yang dijanjikan, Jona belum juga tiba. Bella menanti lelaki itu dengan perasaan yang berdebar. Hingga kemudian langkah kaki menggema terdengar menghampirinya, Bella merasakan jantungnya semakin bertalu-talu. Jona lantas duduk di kursi yang berada di depannya. Wajah lelaki itu tidak menunjukan keramahan.
"Ada apa? Gue gak punya banyak waktu," ujar Jona to the point yang membuat Bella jadi semakin gugup. Ia juga melirik jarum jam di tangan seolah waktunya memang tidak banyak untuk datang ke sini. "Urusan kita udah selesai kan, seperti yang lo bilang."
"Ya." Bella menatap lelaki di depannya itu seraya mengamati wajahnya. Ada yang berubah dari Jona, sepertinya lelaki itu telah memotong rambutnya sedikit. Jona terlihat semakin tampan di matanya.
Duh ... ini pasti karena bayi di perutnya.
"Bel?" Jona menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Bella, yang sontak membuat wanita itu gelagapan. "Kenapa?"
Bella menggelengkan kepala. "G—gak," jawabnya. "Gak apa-apa." Ia berubah salah tingkah dan gugup, apa ini ulah bayi di dalam perutnya juga? "A—ada yang mau gue omongin sama lo."
"Apa?"
"Lo yakin kita mau ngomong di sini?" tanya Bella menatap sekeliling, meski tempat itu terlihat sepi, tapi semua memiliki telinga, bukan? Bella tetap takut akan ada yang mendengar obrolan mereka. "Gak mau cari tempat lain?"
Jona berdecak. "Gue sibuk, Bel. Gue gak punya banyak waktu, jadi lo mendingan cepet bilang sebelum gue harus kembali kerja," sungutnya.
Bentakan itu membuat Bella tersentak, ia semakin meremat jari jemarinya yang berada di atas paha dengan kuat, seolah ia sedang mencari kekuatan dari tindakannya itu.
"Oke ...."
Baiklah, kalau Jona memang ingin mereka berbicara di sana, ia akan mengatakannya sekarang.
"Jo ... gue hamil," ujarnya pelan, namun masih bisa didengar oleh Jona. "Gue hamil anak lo," lanjutnya yang sontak membuat tubuh Jona menegang, raut wajah yang tadi dibuat sedingin mungkin kini berubah pucat.
"A—apa? Lo bilang apa?"
"Gue hamil, dan itu anak lo."
Seperti terkena petir di siang bolong, Jona hanya mampu tercengang saat satu kalimat itu berdenging di telinganya. Satu kalimat yang sontak membuat dunia di sekelilingnya berhenti berputar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merajut Asa
RomanceBella merasa terkhianati saat lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama lima tahun memilih untuk melepaskannya dan kembali pada wanita yang telah sang ayah jodohkan. Rasa ingin membalaskan dendam sangat kuat, Bella ingin mereka hancur, Bella ingin...