Liona mendekati Arion yang masih duduk dengan wajah santai, menyeringai penuh godaan. Tangan kecilnya bergerak cepat, mengacak rambut Arion dengan gemas. Arion tertawa kecil, lalu menatap istrinya sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
"Dasar kamu," gumamnya, seringai tak pernah lepas dari bibirnya.
Liona hanya mendengus pelan, menikmati momen santai bersama suaminya itu. Kehangatan sederhana di dapur mereka menjadi bagian rutinitas yang mulai dia nikmati. Tapi kehangatan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba terdengar ketukan pintu sebanyak tiga kali. Ketukan itu memecah suasana tenang di antara mereka.
Setelah suara ketukan pintu itu terdengar sebanyak tiga kali, Liona berhenti sejenak dan mengerutkan keningnya. Dia menoleh ke arah Arion yang masih duduk santai di kursi pantry.
"Kamu pesan sesuatu?" tanya Liona sambil memiringkan kepalanya, merasa curiga pada waktu pengiriman yang tidak biasa ini.
Arion menggeleng sambil terus menatap Liona. "Nggak, aku nggak pesan apa-apa."
Liona mengangguk pelan, lalu meletakkan piring nasinya di meja dan berjalan ke arah pintu. Ketika dia membukanya, sebuah kotak kardus kecil ada di depan pintu, tanpa nama atau pengirim yang jelas. Rasa penasaran membuat Liona memungut kotak itu dan membawanya ke dalam rumah.
Saat dia membukanya perlahan, tubuhnya tiba-tiba membeku. Di dalam kotak itu, terdapat seekor bangkai tikus yang masih baru, dikelilingi darah segar yang menyebar di dasar kardus. Di sampingnya, terdapat sebuah pisau tajam, yang mata pisaunya bersinar dingin di bawah sinar lampu dapur.
Liona berdiri kaku, matanya terpaku pada isi kotak itu. Tangannya yang memegang tutup kardus sedikit bergetar. Sementara itu, Arion yang mulai menyadari bahwa sesuatu tidak beres, berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat.
"Liona?" panggil Arion dengan nada penuh perhatian, namun Liona tidak menjawab.
Ketika Arion melihat isi kotak itu, alisnya mengerut dalam. Matanya langsung memancarkan kecurigaan dan kemarahan yang tak terbendung. "Siapa yang melakukan ini?" bisiknya, suaranya dalam dan menahan amarah.
Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Arion semakin terkejut. Liona, yang awalnya tampak terdiam dan terpaku, tiba-tiba tersenyum tipis. Perlahan, seringai buas mulai menghiasi wajahnya, mata tajamnya memancarkan kegilaan yang lama terpendam.
"Mari kita mulai lagi permainan ini," gumam Liona dengan nada dingin, suaranya nyaris berbisik namun penuh dengan makna ancaman. "Tampaknya aku terlalu lama bersantai."
Arion, yang kini berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap Liona dengan dalam. Dia mengenal tatapan itu—tatapan yang penuh kebencian, amarah, dan tekad bulat. Tatapan yang hanya muncul ketika Liona sudah siap membalas dendam, ketika dia sudah berada di ambang batasnya.
"Liona," panggil Arion, kali ini dengan nada lebih tenang namun tegas, mencoba meredakan api yang tampak mulai menyala di dalam diri istrinya. "Kita harus berhati-hati. Ini jelas bukan ancaman biasa."
Liona memutar tubuhnya dan menatap Arion dengan tatapan yang tajam. "Aku tahu. Justru itu yang membuat ini lebih menarik."
"Butuh bantuan?" tanya Arion.
Liona menggeleng pelan. "Tidak, biarkan aku menyelesaikannya sendiri,"
Liona menatap Arion dalam-dalam, matanya memancarkan ketenangan di balik amarah yang mendidih. Dia mengangkat tangannya perlahan, menangkup rahang Arion dengan lembut. Jemarinya yang kecil menyentuh kulitnya dengan hangat, namun penuh keyakinan.
"Kamu cukup mendukungku, sayang," ucap Liona pelan, suaranya tenang namun tegas, menegaskan bahwa dia mampu menghadapi ancaman ini.
Arion tersenyum, menatap istrinya dengan rasa bangga dan penghargaan yang dalam. "Itu sudah pasti," jawabnya sambil mengangguk. "Aku tahu kamu tidak butuh bantuan, tapi ancaman bisa datang kapan saja. Dan aku selalu siap kalau itu terjadi." Dia menatap Liona lebih dalam lagi, seperti mengunci pandangan mereka berdua dalam kesepakatan tak terucap. "Kau mengerti, Hazel?"
Liona mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari Arion. "Aku mengerti," jawabnya dengan senyum tipis yang penuh tekad.
Setelah keheningan beberapa saat, Liona menarik napas panjang dan meletakkan kotak berisi ancaman itu di sudut meja. "Sudahlah, kita lupakan ini dulu," katanya, suaranya kembali tenang. Arion mengangguk setuju dan keduanya melanjutkan rutinitas mereka di dapur seolah tidak ada yang terjadi. Keduanya mulai membersihkan meja dan mencuci piring.
Ketika waktu semakin mendekati pagi, Arion melihat jam dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Dia meraih jaketnya, mengancingkan kemeja, dan memeriksa ransel di sudut ruangan. Sementara itu, Liona tetap mengikutinya, berjalan pelan di belakangnya tanpa berkata apa-apa.
Arion mengerutkan kening, menoleh ke arah istrinya yang terus mengikutinya dari belakang. "Kenapa kamu ngikutin aku?" tanyanya, bingung.
Liona hanya tersenyum, tatapannya penuh godaan. "Mandi bareng, yuk," jawabnya singkat, mata hazelnya bersinar penuh tantangan.
Arion meneguk ludahnya dengan susah payah, tidak menyangka akan mendengar ajakan itu pagi-pagi begini.
Namun, setelah beberapa detik, seringai jahil muncul di bibirnya. "Hazel, kalau kamu terus menggoda seperti ini, mungkin aku benar-benar bakal bolos kuliah hari ini." godanya sambil mendekat sedikit ke arah Liona. "Kamu yakin?"
Liona tertawa renyah, lalu memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya masih menggoda. "Emm, gak usah deh.."
Arion tertawa kecil mendengar jawaban Liona yang tiba-tiba berubah. Dia menggelengkan kepala sambil menatap istrinya dengan penuh rasa sayang bercampur godaan. "Dasar cewek jahil," ucapnya, lalu mengulurkan tangan dan dengan lembut mengusap kepala Liona.
Liona hanya tersenyum, menikmati momen hangat yang selalu mereka ciptakan, bahkan dalam suasana yang sempat mencekam tadi. "Kamu yang ngajarin aku jadi begini," balas Liona dengan canda.
Arion terkekeh pelan, meraih ranselnya dan melangkah menuju pintu. "Aku pergi dulu, nanti kita bicara lagi soal kotak tadi. Jangan lakukan apa pun sendirian tanpa bilang aku dulu."
Liona mengangguk, namun di matanya, ada kilatan kegigihan yang tak bisa ditutupi. "Tenang saja, aku akan berhati-hati," ujarnya, meski dia tahu betul ada rencana yang sudah tersusun di pikirannya.
Arion menatapnya sekali lagi, lalu menghela napas. Dia tahu Liona, dengan segala keahlian dan ketangguhannya, bisa menjaga diri. Tapi ada rasa cemas yang selalu muncul di hatinya setiap kali mereka berada dalam situasi berbahaya seperti ini.
"Kita harus selesaikan ini bersama, Hazel. Jangan lupa itu," kata Arion sebelum melangkah keluar rumah, menutup pintu di belakangnya.
Begitu pintu tertutup, senyum Liona perlahan memudar. Dia menatap kotak di atas meja, lalu menghela napas panjang. Permainan ini sudah dimulai, pikirnya dalam hati. Namun, kali ini, dia akan memastikan bahwa dia yang akan mengakhirinya.
Setelah beberapa detik termenung, Liona beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap, otaknya terus memutar rencana baru. Dia tahu ada ancaman nyata di luar sana, dan siap atau tidak, dia akan menghadapi siapa pun yang mencoba mengganggu hidupnya lagi.
SPAM NEXT BUAT LANJUT
VOTE!!
KOMEN HARUS 100 BUAT UPDATE#tbc
Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgraceFollow tiktok: @velinxndr / Wiwi Ramadani (ada vt TSK)
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI SANG KETUA 2
Mistério / Suspense❝Menggoda dengan manis, menyerang dengan tajam.❞ -Liona Hazel Elnara