TSK2-06

4.9K 374 13
                                    

Vote dulu yaaa

Liona berdiri di balik pohon besar yang tumbuh di dekat kampus, memperhatikan sosok Arin yang berjalan dengan langkah cepat menuju parkiran. Mata Liona memicing tajam, memperhatikan setiap gerakan saudara perempuannya itu dengan seksama. Sudah beberapa hari ini dia mengamati Arin dari kejauhan, dan nalurinya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan Arin.

Dia memperhatikan bagaimana Arin berhenti sejenak, melihat ke sekeliling, seolah memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya. Bibir Liona menyunggingkan senyum tipis, menyeringai dingin. "Kau kira aku tidak tahu?" batinnya, sinis.

Dengan gerakan ringan, Liona bergeser sedikit ke arah bayangan gedung, masih menjaga jarak. Tatapannya tajam, penuh dengan kecurigaan. Arin membuka pintu mobil dengan tergesa, membungkuk sejenak ke dalam sebelum keluar dengan sebuah tas kecil di tangannya.

Liona berdecih pelan, mencibir dalam hatinya. "Apa yang kau sembunyikan, Arin?" ujarnya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan. Meski tak ada yang mendengarnya, Liona tahu, waktunya semakin dekat. Dia akan membongkar rahasia Arin, apapun itu.

Arin menutup pintu mobil dengan suara lembut, lalu berjalan kembali ke arah pintu belakang kampus. Tas kecil itu tergenggam erat di tangannya, terlihat biasa saja di mata orang lain, namun tidak di mata Liona. Dia tahu ada yang aneh dengan gerak-gerik Arin akhir-akhir ini.

Liona melangkah pelan mengikuti dari kejauhan, memastikan dirinya tetap berada dalam bayangan dan tak terdeteksi. Setiap kali Arin berhenti untuk memeriksa keadaan sekelilingnya, Liona bersembunyi di balik tiang atau dinding terdekat. Detak jantungnya tetap tenang, penuh keyakinan bahwa dia mampu mengatasi Arin, jika situasi mendesak.

Di sebuah lorong sepi yang mengarah ke area belakang kampus, Arin berhenti dan memandang sekeliling lagi. Liona berjongkok, menyembunyikan dirinya di balik kendaraan parkir yang terdekat, memastikan jaraknya tetap aman. Dari tempatnya bersembunyi, Liona melihat Arin mengetuk pintu besi kecil di sudut lorong. Sesaat kemudian, pintu itu terbuka, dan seorang pria berjas hitam keluar. Liona tak mengenal pria itu, tapi ada sesuatu yang janggal dalam cara mereka berbicara—seperti mereka berusaha agar tak ada yang tahu tentang pertemuan ini.

Mata Liona menyipit lebih tajam, bibirnya berdesis pelan. "Jadi, ini rahasiamu, Arin."

Dia mengamati dengan cermat percakapan singkat itu, meskipun tak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Arin menyerahkan tas kecil itu kepada pria berjas hitam, yang kemudian mengangguk sambil menyelipkan sesuatu ke tangan Arin. Arin cepat-cepat memasukkan benda itu ke saku jaketnya, lalu pria itu berbalik dan masuk ke dalam lagi.

Liona menghela napas pelan, tapi senyumnya melebar. "Sudah kuduga... ada sesuatu yang besar," gumamnya, suara rendahnya terdengar seperti ancaman.

Arin berbalik, mulai melangkah pergi dari tempat itu. Namun kali ini, Liona tak berniat membiarkannya pergi begitu saja. Dia memutuskan untuk mengikuti Arin lebih dekat. Waktunya untuk mendapatkan jawaban sudah tiba.

Liona berdiri di tempatnya sejenak, memperhatikan Arin yang semakin jauh. Bibirnya tertarik membentuk senyum dingin, penuh perhitungan. Gerakan-gerakan kecil yang dilakukan Arin—cara dia berhenti untuk memeriksa sekeliling, cara dia menyembunyikan sesuatu di saku jaketnya—terlalu mencurigakan. Terlalu mudah dibaca, apalagi di dunia kriminal yang Liona kenal dengan baik. Tak ada yang bisa lolos dari pengamatannya, terutama tidak saudara kandungnya sendiri.

"Gerakan amatir," pikir Liona sambil menggeleng pelan. Dia tahu betul apa yang sedang dilakukan Arin—permainan kecil yang berbahaya, yang melibatkan lebih dari sekadar transaksi biasa. Namun, Liona tak perlu langsung menanganinya sekarang. Ada prioritas lain yang menuntut perhatiannya.

Dia melangkah mundur, meninggalkan tempat itu dengan tenang. Tangannya dengan cepat meraih ponsel di saku jaketnya, menyalakan layar dan membuka aplikasi yang telah lama dia siapkan. Di layar muncul dua feed CCTV yang telah dipasang secara rahasia. Satu di ruang rawat Ilona, saudara kembarnya yang kini terjebak dalam dunia tanpa waras, dan satu lagi di kantor polisi, tepat di ruang sel tempat Hendra, ayahnya, ditahan.

Liona mengamati rekaman di layar dengan ekspresi datar. Di ruang rawat, Ilona duduk tak bergerak di sudut, menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai. Gadis itu terlihat rapuh, hancur, jauh berbeda dari dirinya yang dulu. Liona tahu ini bukan sekadar penyakit mental—ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang terjadi pada Ilona. Sesuatu yang perlu ia bongkar.

Kemudian, Liona beralih ke feed CCTV di kantor polisi. Hendra duduk di balik jeruji, tubuhnya lelah namun matanya masih menyala penuh kebencian dan ketidakpercayaan. Liona menatapnya dalam diam, pikirannya berputar.

"Semua ini berawal dari sini," pikirnya sambil menyeringai dingin. Permainan keluarga ini bukan lagi sekadar urusan kecil—ini adalah pertempuran hidup dan mati. Setiap langkah, setiap keputusan, harus diperhitungkan dengan teliti.

Dengan satu sentuhan di layar ponselnya, Liona mematikan feed CCTV itu dan memasukkan ponselnya kembali ke saku. "Waktunya bermain lebih cerdas," gumamnya. Dia tahu, sebelum segalanya meledak, dia harus bergerak cepat. Arin, Ilona, dan Hendra—semuanya bagian dari teka-teki yang lebih besar.

Dan Liona, seperti biasa, sudah selangkah lebih maju.



Mau double up nggak? Enggak? Wkwk

Mau ga niehh??

#tbc
Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgrace

Follow tiktok: @Wiwi Ramadani

KOMEN DOONG YANG BANYAKKK HIHI😖🖤 SPAM NEXT!!

JANGAN LUPA VOTE🖤

TRANSMIGRASI SANG KETUA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang