Vote dulu ya terus follow akun wp author WiwiRamadani
Liona duduk di bangku paling pojok belakang, dengan tangan terlipat di atas meja. Mata kuliah pertamanya sebagai mahasiswa baru seharusnya biasa saja—kelas yang luas dengan dinding putih polos, namun terasa begitu sesak, membuat Liona merasa terasing. Matanya menyapu sekeliling ruangan tanpa minat, hingga tiba-tiba pintu kelas berdecit terbuka.
Seorang pria berjas hitam masuk, membuat seluruh kelas bergemuruh dengan bisikan pelan. Beberapa siswa berbisik bahwa pria itu adalah seorang dosen, namun Liona, yang duduk diam di belakang, menyeringai tipis. Orang ini.., dia tahu betul siapa dia. Pria yang sama yang tadi ditemui oleh Arin di lorong kampus.
Liona memperhatikan gerak-gerik pria itu dengan seksama. Langkahnya mantap dan penampilannya terlihat normal, seolah hanya seorang akademisi biasa. Tapi Liona tahu lebih baik daripada itu. Tidak ada yang mencurigakan pada awalnya, hingga matanya tertuju pada sesuatu di lengan pria tersebut—sebuah tato kecil yang terlihat samar di balik lengan jasnya. Tato yang hanya akan dikenali oleh mereka yang memahami maknanya.
Liona memicingkan matanya, membaca dengan jelas tulisan kecil di sekitar tato tersebut. "The Rose."
Detik itu juga, mata Liona membelalak, darahnya mendidih. The Rose. Sebuah nama yang begitu familiar, bukan sekadar nama, tapi simbol yang pernah menjadi bagian dari jiwanya. The Rose adalah keluarga, tempat yang dulu ia sebut rumah. Keluarga Auristella, sebutan untuk kelompok yang pernah menjadi hidupnya sebelum semuanya berantakan. Bagaimana mungkin? Bagaimana tato itu bisa ada di sini, di lengan pria ini? Di tempat yang jauh dari masa lalunya? Liona merasa tubuhnya membeku, otaknya berputar liar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Pikiran Liona mulai terpecah, semua memori dan perasaannya tentang The Rose menghantamnya sekaligus. Tidak mungkin ini kebetulan. Pria ini, dan tato itu—semua ini pasti bagian dari sesuatu yang lebih besar.
"Kamu yang di belakang, apa yang kamu lamunkan?" suara berat pria itu membuyarkan lamunannya. Semua mata di kelas kini tertuju padanya.
Liona tetap tak menjawab, tak ingin menunjukkan emosinya. Matanya perlahan-lahan beralih dari tato ke wajah pria itu. Rahangnya mengeras, amarah mulai menjalari dirinya. Pria itu mengangkat alis, menunggu respons, namun Liona tidak peduli.
Dia memalingkan pandangannya lagi ke tato itu, kini dengan perasaan berbeda. Bukan hanya kebingungan, tapi tekad kuat. The Rose adalah satu-satunya tempat yang pernah ia anggap rumah, dan sekarang simbol itu kembali menghantuinya. Apa pun artinya, dia tahu satu hal—dia harus merebut rumahnya kembali.
Dengan napas yang teratur tapi penuh dengan kemarahan terpendam, Liona mengencangkan genggamannya di sisi kursi. Tidak ada yang bisa menghentikannya, tidak kali ini.
The Rose miliknya, dan dia akan mengklaimnya lagi, apapun yang terjadi.
Liona menghela napas panjang sebelum menggeleng pelan, berusaha mengendalikan dirinya. “Tidak ada, Pak,” jawabnya akhirnya, suaranya datar namun tegas. Pria berjas hitam itu memandangnya sejenak, seolah menilai apakah Liona sedang berbohong atau hanya terganggu, tapi tampaknya dia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini.
“Baik, kalau begitu,” ujarnya, lalu kembali melanjutkan materi kuliah seperti seorang dosen pada umumnya. Suaranya tenang, memberikan penjelasan tentang teori dasar yang harus mereka pahami di awal semester. Tapi bagi Liona, kata-kata pria itu hanya terdengar seperti gema yang tak bermakna, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia menatap buku catatannya yang kosong, jemarinya tanpa sadar menggenggam pena lebih erat. The Rose. Tempat yang pernah ia sebut rumah, tempat ia belajar tentang kekuatan, pengkhianatan, dan keluarga yang penuh rahasia. Namun kini, rumah itu hanya tinggal kenangan yang menyakitkan, terenggut dari dirinya.
Liona menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. Dia merasakan kerinduan yang menusuk. Rindu pada masa lalunya, pada perasaan memiliki tempat yang benar-benar bisa ia sebut sebagai miliknya. Di tengah semua kekacauan ini, dia sadar bahwa ada satu orang yang bisa mengerti, seseorang yang mungkin bisa diajak untuk kembali ke tempat itu.
Arion.
Liona tersenyum tipis, memikirkan bagaimana Arion mungkin akan bereaksi ketika dia mengajaknya melihat The Rose. Arion adalah bagian dari masa kininya, dan jika ada yang bisa memahami betapa pentingnya tempat itu baginya, dia yakin Arion adalah orangnya. Dia tahu ini bukan sekadar perjalanan biasa, tapi langkah menuju mengklaim kembali apa yang telah hilang darinya.
Dalam hatinya, Liona sudah mengambil keputusan. The Rose akan menjadi miliknya lagi, dan Arion akan berada di sisinya ketika dia kembali ke sana. Sebuah pertempuran besar menantinya, tapi dia siap menghadapi semuanya.
Liona menegakkan punggungnya di kursi, matanya kini kembali fokus pada pria berjas hitam yang ada di depan kelas. Dia akan bersabar untuk saat ini, tapi tidak lama. Waktunya sudah semakin dekat.
Liona bersandar di kursinya, mencoba mengatur napas yang mulai terasa berat. Begitu banyak yang harus dipikirkan sekarang, dan itu membebaninya lebih dari yang ia akui. Pikirannya berputar-putar, menumpuk satu demi satu masalah yang harus ia hadapi. Ilona, saudara kembarnya yang kini tak waras, terperangkap dalam dunia yang tak bisa ia pahami. Arin, yang tampaknya sedang menyembunyikan sesuatu yang besar dari keluarga mereka. Hendra, ayahnya yang kini mendekam di balik jeruji, di mana kebenciannya pada Liona semakin mengakar. Dan tentu saja, semua tikus pengganggu—musuh-musuh kecil yang tak henti-hentinya merusak kehidupannya, membuat langkahnya semakin berat.
Dan kini, The Rose kembali muncul di hadapannya, seperti hantu dari masa lalu yang tak mau pergi. Tato kecil itu adalah pengingat bahwa dia tak bisa lari dari Auristella. Tempat yang dulu ia anggap sebagai rumah kini kembali memanggilnya, namun dalam wujud yang lebih berbahaya.
Liona mengepalkan tangan, rahangnya mengeras lagi. Dia tak bisa membiarkan semua ini terus berlarut-larut. Setiap langkah yang diambilnya harus dihitung dengan hati-hati, setiap gerakan musuhnya harus diantisipasi. Liona takkan pernah merasa tenang sampai semuanya selesai—sampai setiap masalah, setiap pengkhianat, setiap musuh telah ia hancurkan.
Pikiran tentang Ilona membuat amarah Liona mendidih. Bagaimanapun juga, Ilona adalah saudara kembarnya—bagian dari masa lalu yang lebih ia benci daripada apa pun. Bukan bagian dari jiwanya yang hilang, tapi beban yang terus menyeretnya ke masa lalu yang kelam. Setiap kali Liona memikirkan Ilona, rasa muak dan jijik menguasainya. Ilona, yang lemah dan tak mampu mempertahankan dirinya sendiri, hanyalah pengingat betapa jauh Liona telah melampauinya.
Tapi Liona tahu, tidak ada gunanya membuang waktu untuk membenci Ilona lebih dari yang sudah ia lakukan. Baginya, menyelamatkan Ilona bukanlah tentang kasih sayang, melainkan tentang menuntaskan beban. Liona harus menyelesaikan semua ini, termasuk menghadapi Arin, yang tampaknya sedang bermain dengan api. Jika Arin berpikir dia bisa menyembunyikan sesuatu darinya, dia salah besar. Liona tak akan membiarkan siapa pun, bahkan saudara tirinya sendiri, menghalangi jalannya.
Lalu ada Hendra. Ayahnya, yang tak pernah melihatnya sebagai bagian dari keluarga yang layak. Liona mengepalkan tangan lebih erat lagi. Dia akan menyelesaikan semua ini, meski harus menghadapi pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Dan jika itu berarti harus menghancurkan semua yang tersisa dari hubungan mereka, maka itu adalah harga yang harus ia bayar.
Liona mendengus pelan, kemudian duduk tegak. Matanya menatap lurus ke depan, tatapannya dingin dan penuh tekad. Dia tak bisa membiarkan hatinya melunak sekarang. The Rose adalah kunci segalanya. Dia harus merebut kembali kekuatannya, rumahnya, dan semua yang telah diambil darinya.
Liona menarik napas dalam-dalam. Dalam hatinya, dia berjanji pada dirinya sendiri: Dia takkan berhenti sampai semua misi ini selesai. Hanya dengan begitu dia bisa merasa tenang. Hingga saat itu tiba, tak ada tempat untuk ragu, tak ada ruang untuk mundur. The Rose harus kembali menjadi miliknya, dan dunia akan tahu siapa Liona sebenarnya.
#tbc
Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgraceFollow tiktok: @Velinxndr
KOMEN DOONG YANG BANYAKKK HIHI😖🖤 SPAM NEXT!!
JANGAN LUPA VOTE🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI SANG KETUA 2
Mystery / Thriller❝Menggoda dengan manis, menyerang dengan tajam.❞ -Liona Hazel Elnara