00—Prolog
Liona memperhatikan gerak-gerik pria itu dengan seksama. Langkahnya mantap dan penampilannya terlihat normal, seolah hanya seorang akademisi biasa. Tapi Liona tahu lebih baik daripada itu. Tidak ada yang mencurigakan pada awalnya, hingga matanya tertuju pada sesuatu di lengan pria tersebut—sebuah tato kecil yang terlihat samar di balik lengan jasnya. Tato yang hanya akan dikenali oleh mereka yang memahami maknanya.
Liona memicingkan matanya, membaca dengan jelas tulisan kecil di sekitar tato tersebut. "The Rose."
Detik itu juga, mata Liona membelalak, darahnya mendidih. The Rose. Sebuah nama yang begitu familiar, bukan sekadar nama, tapi simbol yang pernah menjadi bagian dari jiwanya. The Rose adalah keluarga, tempat yang dulu ia sebut rumah. Keluarga Auristella, sebutan untuk kelompok yang pernah menjadi hidupnya sebelum semuanya berantakan. Bagaimana mungkin? Bagaimana tato itu bisa ada di sini, di lengan pria ini? Di tempat yang jauh dari masa lalunya? Liona merasa tubuhnya membeku, otaknya berputar liar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Pikiran Liona mulai terpecah, semua memori dan perasaannya tentang The Rose menghantamnya sekaligus. Tidak mungkin ini kebetulan. Pria ini, dan tato itu—semua ini pasti bagian dari sesuatu yang lebih besar.
"Kamu yang di belakang, apa yang kamu lamunkan?" suara berat pria itu membuyarkan lamunannya. Semua mata di kelas kini tertuju padanya.
Liona tetap tak menjawab, tak ingin menunjukkan emosinya. Matanya perlahan-lahan beralih dari tato ke wajah pria itu. Rahangnya mengeras, amarah mulai menjalari dirinya. Pria itu mengangkat alis, menunggu respons, namun Liona tidak peduli.
Dia memalingkan pandangannya lagi ke tato itu, kini dengan perasaan berbeda. Bukan hanya kebingungan, tapi tekad kuat. The Rose adalah satu-satunya tempat yang pernah ia anggap rumah, dan sekarang simbol itu kembali menghantuinya. Apa pun artinya, dia tahu satu hal—dia harus merebut rumahnya kembali.
Dengan napas yang teratur tapi penuh dengan kemarahan terpendam, Liona mengencangkan genggamannya di sisi kursi. Tidak ada yang bisa menghentikannya, tidak kali ini.
The Rose miliknya, dan dia akan mengklaimnya lagi, apapun yang terjadi.
_________________________________
Malam itu, hujan turun deras, seperti pertanda akan datangnya badai. Di tengah gelapnya kota, Liona duduk di tepi jendela, memandang ke luar dengan tatapan penuh beban. Hatinya diliputi kecemasan, bukan hanya karena masalah-masalah yang ia hadapi sekarang, tetapi juga karena bayang-bayang masa lalu yang masih terus menghantuinya.
Sudah beberapa bulan berlalu sejak pernikahannya dengan Arion, dan hubungan mereka semakin erat. Meski begitu, semakin ia mendekat pada Arion, semakin ia merasa tenggelam dalam rahasia keluarganya sendiri—rahasia yang belum terungkap, bahkan setelah sekian banyak peristiwa yang mereka lewati bersama.
Keluarga Liona adalah teka-teki yang sulit dipecahkan. Di balik senyuman dan kata-kata manis yang sering mereka tunjukkan ke dunia luar, ada lapisan-lapisan kebohongan yang perlahan terkuak. Setiap rahasia yang terungkap, selalu membawa masalah baru. Kini, perhatian Liona tertuju pada jarak kelahirannya dengan Ilona, adik tirinya, yang hanya terpaut dua bulan. Sebuah anomali yang selalu membuatnya bertanya-tanya, tetapi tak pernah mendapat jawaban yang pasti. Pertanyaan itu kini semakin mendesak untuk dijawab.
Apakah ada yang disembunyikan ibunya selama ini? Bagaimana bisa dua anak dilahirkan dengan selisih waktu yang begitu singkat? Dan mengapa rasa benci yang Ilona tunjukkan kepadanya begitu mendalam, seolah-olah mereka terikat oleh sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar persaingan kakak-adik?
Di sisi lain, Liona juga harus menghadapi pembencinya—orang-orang yang terus berusaha menjatuhkannya. Mereka datang dari berbagai arah, baik dari masa lalu, maupun dari lingkaran terdekatnya sekarang. Ancaman-ancaman itu semakin nyata, dan kali ini, mereka tak hanya mengincar Liona, tapi juga keluarganya.
Pernikahannya dengan Arion, yang seharusnya menjadi awal dari kebahagiaan, justru menjadi titik di mana rahasia keluarganya mulai terkuak satu per satu.
Di tengah semua itu, Arion selalu ada di sampingnya, berusaha memberikan kekuatan dan perlindungan. Namun, Liona sadar, ada hal-hal yang tak bisa ia sembunyikan selamanya. Rahasia keluarganya terlalu dalam untuk diabaikan, dan cepat atau lambat, semua akan terungkap—dengan atau tanpa persetujuannya.
————————————
"Liona hanya pendatang baru di keluarga!" suara Adera bergetar menatap Liona yang menatapnya dingin. "Sebelumnya semua baik-baik saja! Tapi setelah anak ini datang semuanya berubah! Anak ini pembawa sial!!"
"Apa maksudmu?" tanya Liona dengan suara tajam.
"Anak haram, kau tidak layak hidup setelah semua yang terjadi!"
Liona mengepalkan tangannya erat saat mendengar kata-kata Adera yang semakin tajam. Tatapannya yang dingin berubah menjadi semakin tajam, menembus pandangan Adera yang masih dipenuhi kemarahan. Liona bergerak maju, langkahnya pelan namun penuh dengan tekanan, mengabaikan detak jantungnya yang semakin kencang. Ia tidak peduli dengan semua cercaan itu—Adera tidak tahu apa-apa.
"Anak haram? Tidak layak hidup?" Liona menggerakkan giginya, menahan amarah yang hampir meledak. Ia berhenti tepat di depan Adera, menatapnya dengan raut wajah datar, tanpa emosi, membuat suasana semakin mencekam.
"Kalau begitu, kau benar. Liona memang sudah mati," suara Liona rendah, penuh ketenangan yang menakutkan. "Tapi kau, Adera, kau akan segera menyadari bahwa yang kau takuti itu bukan hanya Liona—tapi apa yang akan datang setelah itu."
Liona menarik napas dalam, mengendurkan genggaman tangannya sedikit, namun matanya tetap tajam, tak terpengaruh oleh lontaran kebencian Adera.
Liona menahan napas sejenak, matanya tak pernah lepas dari wajah Adera yang tampak goyah di hadapannya. Hinaan dan amarah yang dilontarkan barusan membuatnya semakin dingin dan penuh perhitungan. Tanpa banyak bicara, Liona bergerak lebih dekat, hingga hanya beberapa inci yang memisahkan mereka.
"Kalau kamu mau bermain, Adera," bisiknya dengan nada rendah, penuh racun, "maka akan ku ladenin dengan senang hati."
Liona tiba-tiba menghempaskan Adera dengan kasar, membuat wanita itu tersentak mundur, nyaris terjatuh. Tatapan Liona menyala buas, intensitas kemarahannya terasa jelas. Sebuah seringai licik muncul di wajahnya, mencerminkan sesuatu yang jauh lebih gelap di dalam dirinya.
"Aku tidak peduli seberapa jauh kau ingin membawa ini," Liona melanjutkan dengan suara yang dingin dan terkontrol. "Aku akan pastikan kau tahu bahwa aku bukan sekadar pendatang di sini. Dan percayalah, aku jauh lebih berbahaya daripada yang kau bayangkan."
Elina yang ada disana dengan wajah pucat bertanya dengan nada bergetar. "Apa maksudmu, nak? Kamu Liona anakku..."
"Liona belum mati..."
"Tidak, Liona Hazel Elnara memang sudah mati, Kalian menyesal? Dan kalau kalian mau meminta maaf dengannya... maju! akan ku bunuh kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI SANG KETUA 2
Mystery / Thriller❝Menggoda dengan manis, menyerang dengan tajam.❞ -Liona Hazel Elnara