Gadis kecil yang pandai mengukur suasana di ruangan itu, mengangguk penuh semangat dan menyetujuinya ajak aunty-nya, meninggalkan Sea dan Chika untuk menghadapi segala pertanyaan yang ada.
Begitu Sea mendapati dirinya sendirian dengan Chika, ia langsung mencari kebenaran yang sangat ia butuhkan. la mendambakan jawaban, penyelesaian dan jika kecurigaannya benar, Chika adalah satu-satunya orang yang dapat memberikannya.
"Apakah Kitty putri polisi itu?" tanya Sea meskipun ia memiliki firasat kuat bahwa itu salah, namun ia tetap membutuhkan konfirmasi dari Chika sendiri.
Chika menoleh ke Sea dengan tatapan tajam. "Tentu saja tidak, bagaimana bisa kau berbicara seperti itu!?"
"Tetapi anakmu yang mengatakan kepadaku bahwa kamu dan dia akan menikah" desak Sea
"Kamu berpikir aku wanita apa? kamu pikir aku hamil di luar nikah?" balas Chika dengan marah, ucapannya begitu tak terima.
"Begitukah? jadi gadis itu anak siapa, jika bukan Zahran sebagai ayahnya? atau pernikahanmu gagal kembali setelah perpisahan kita?" tuduh Sea dengan frustasi yang semakin memuncak.
Sepertinya kesabaran Chika di uji saat ini, sambil mendesah berat, dia menjawabnya, "Dia anakku dan bukan urusanmu siapa ayahnya!" balasnya dengan sengit
"Jelas aku harus tau siapa ayahnya! kenapa dia bisa pergi ke Jogja hanya untuk menemuiku jika tidak ada sesuatu yang kau sembunyikan?"
"Kenapa kau tak menjelaskan siapa ayahnya, Chika!" bentak Sea dengan marah.
"Kau benar-benar bukan Sea yang aku kenal!!" balas Chika dengan menahan air matanya, dia kaget melihat betapa kasarnya Sea setelah beberapa tahun tak bertemu, dia bukan Sea yang ia kenal, Sea yang dulu ia kenal bahkan tak berani meninggikan suara kepadanya.
Hendak berbalik meninggalkan Sea, tangannya di tahan, dengan berimbuhan suara lirih yang terdengar, "Maaf, Chika. Aku bukan bermaksud seperti itu, aku benar-benar minta maaf" ucapnya dengan tulus dan rasa bersalah di wajahnya, matanya bertemu kembali dengan mata coklat Chika yang penuh airmata.
"Dia anakku" ucap Chika dengan nada yang mulai stabil
"Ya, jika dia anakmu, bolehkah aku melihat akta kelahirannya?" ucap Sea yang nada bicaranya kembali menuntut.
Chika memandang mantan suaminya dengan tatapan tak percaya, dengan nada mengejek dia menjawab, "Siapa kamu yang memiliki hak untuk melihat data pribadi anakku?" ucapnya yang jelas-jelas tak terkesan dengan tuntutan mantan suaminya.
"Apakah dia putriku, Chik?" pertanyaan Sea terdengar berat di udara.
Chika terkejut, tidak menyangka Sea akan menerima begitu saja omong kosong anaknya. Dengan cepat menutupi keterkejutannya dengan ejekan, dia membalas, "Apa kau serius? Bagaimana mungkin dia putrimu? Kita sudah tidak bersama selama satu dekade lebih, aku juga heran kenapa kau masih belum menandatangani surat cerai itu"
"Dua belas tahun yang lalu memang saat itu aku tak mengetahui apakah kau tengah mengandung atau tidak, semuanya begitu berantakan dalam sesaat, kau menyingkirkan ku begitu kejam hingga semua informasi tak kudapatkan, Kitty sekarang berusia sebelas tahun dan kemarin, dia muncul di depan pintu rumahku, di Jogja, Chik. Mengaku sebagai putriku, semuanya masuk akal, Chika" tatapan Sea yang tak tergoyahkan menatap tajam ke arah Chika.
"Anak-anak pada dasarnya memiliki imajinasi yang-" Chika memulai membalasnya, tetapi Sea menyela.
"Kalau begitu, izinkan aku melihat akta kelahirannya"
"Kau pantas mendapatkan piala oscar atas rasa ketidaktahuan dirimu" balas Chika suaranya dipenuhi sarkasme.
"Setelah semua yang telah kau lakukan, tidak setia padaku belasan tahun lalu dan sekarang kau menuntut berkas-berkas putriku dengan berpura-pura berhak? Seberapa keras egomu, Seanatio?"
"Aku sudah melupakannya. Kitty anakku, hanya itulah satu-satunya kebenaran yang perlu kau dengar!!"
marah Chika, nada bicara mungkin mampu di dengar dari lantai atas, kemarahannya jelas berkobar tak terima."Aku tidak pernah mengkhianatimu, Chika. Kalau kepercayaanmu padaku tidak sekuat kepercayaanku, itu salahmu dan jika kau mau mendengarkan penjelasanku semuanya tidak akan berakhir sia-sia!" balas Sea dengan jantung berdebar kencang.
"Benar, itu salahku. Tidak lama aku juga akan segera pindah dari rumah ini, aku tidak akan menuntut hartamu, Sea. Kehadiranmu kembali hanya akan menghancurkan hidupku"
Sea merasakan sakit yang tak asing di hatinya namun dia juga muak dengan segalanya. Kata-kata Chika bagaikan pukulan yang tak henti-hentinya, membuatnya terengah-engah, Sea benar-benar merasa cukup untuk menanggung semuanya, setiap tuduhan mengingatkannya pada malam yang menakutkan ketika Chika menyerahkan surat cerai ke tangannya. Tampaknya setelah hampir dua belas tahun berpisah, akhirnya tiba saatnya bagi Sea untuk memberikan Chika apa yang diinginkannya.
Dia mengeluarkan salinan dokumen perceraian mereka baru-baru ini dan sebuah bolpoin dari saku celana yang telah dia simpan untuk berjaga-jaga atau kebetulan untuk momen ini, momen yang telah dia nantikan namun dia takuti, sebelum Sea meninggalkan Jogja bersama Kitty menuju Jakarta. Dengan tangannya sedikit gemetar saat dia berlutut meletakkan dokumen di atas meja, menandatangani dengan namanya. Sejenak dia menatap dokumen itu, meyakinkan hatinya akan pilihannya, dia berdiri, menahan air matanya dan menyerahkan dokumen itu kepada Chika yang berdiri tak bergerak di depannya, tatapan Chika begitu tak percaya, berganti menatap Sea setelah menatap dokumen yang diserahkan kepadanya.
"Ini" kata Sea, berusaha menenangkan suaranya yang bergetar.
"Aku sudah menandatanganinya. Kau bebas dariku. Tapi tolong, jawablah jujur, Chika. Siapa ayah Kitty yang sebenarnya? Apakah aku?"
Sea tidak bisa berbohong untuk tetap kuat menahan air matanya yang tanpa aba-aba mengalir di pipinya saat dia menatap Chika, matanya memohon jawaban dengan tulus.
Chika juga mendapati dirinya terperangkap dalam pusaran emosi, tak pernah ia sangka akan berada dalam situasi paling rumit dalam hidupnya, air mata mengalir di pipinya saat dia menghadapi gejolak dalam dirinya, terbagi antara cintanya yang masih tersisa dan rasa sakit masa lalu mereka.
Akhirnya, setelah keheningan semakin menegangkan suasana, Chika mengangguk.
Sea terisak pelan, bahunya bergetar saat ia berusaha menahan kesedihannya. Itu adalah momen yang pahit sekaligus manis, ia akhirnya memberikan Chika kebebasan yang di cari dan sebagai balasannya, ia menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Bagi Sea, itu sudah cukup. Dia bisa hidup dengan itu saja.
"Terimakasih" tidak mampu menjawab dengan lantang, jawaban Sea hampir berbisik.
Ini lah akhir dari segala cerita mereka, cerita yang mereka dambakan akan kebahagiaan di akhirnya kini berubah pahit, namun segala keputusan yang ada tidak boleh memporak porandakan tatanan kehidupan.
//
Haii..
Langsung aja ya, kalau ada saran dan kritik bisa langsung di komentar.Sampai jumpa dibab selanjutnya, tetap sehat dan semangat!!
Jangan lupa vote!

KAMU SEDANG MEMBACA
Make it Right
Fiksi PenggemarHow they're all strung together and paint this perfectly imperfect picture.