Setelah padatnya jadwal mengajar di kampus, Sea akhirnya tiba di rumahnya dengan keadaan lelah, dari pagi hingga malam berada di kampus dan kini satu-satunya keinginannya hanya untuk segera memejamkan mata, tak lagi memikirkan besok karena jadwalnya akan di mulai setalah makan siang.
Namun sialnya, belum ada pukul delapan pagi, pintu rumahnya sudah di ketuk, ketukan tak sabaran membuat Sea buru-buru menghampiri pintunya. Tidak memperhatikan penampilannya sendiri dan hanya ingin memaki siapa tamunya.
"Kak Gaby" Sea tergagap setelah mengetahui siapa tamunya kali ini, kata-kata makian yang sudah di ujung lidahnya menggelegak begitu saja setelah melihat teman lamanya, lebih tepatnya teman yang merangkap peran kakak.
"Ya, aku kakakmu yang masih sama dengan tiga tahun lalu setelah pertemuan terakhir kita" Gaby menjawab dengan senyum tenang.
"Ada apa dengan penampilanmu ini? Kau yakin memakai kemeja lusuh ini untuk mengajar?"
Sea menenangkan diri dan mempersilahkan Gaby untuk masuk kedalam rumahnya, "Tidak kak, aku hanya belum sempat berganti pakaian semalam" ucapnya dengan malu.
Gaby, yang sekarang menjadi pengacara, mungkin hanya akan datang untuk membahas perceraiannya. Setelah lebih dari satu dekade melarikan diri, Chika dan dirinya akhirnya siap memutuskan hubungan mereka secara hukum. Keduanya duduk di ruang tamu kecil Sea dan Sea menawarkan, "Aku hanya punya teh atau kopi kak untuk pagi ini, tidak mungkin aku memberikan air soda.." ucap Sea dengan gugup
"Duduklah, aku tidak akan lama" jawab Gaby sambil menyeringai licik, sikap profesionalnya semakin memperkuat kecemasan Sea.
"Dan terimakasih untuk tawarannya" imbuhnya.
"Kak Gaby di sini untuk menyampaikan surat dari pengadilan kan? Lewati saja kak hal itu, aku tidak akan membantah apa pun yang dikatakan Chika. Aku sudah menandatangani dokumennya, dia boleh tetap tinggal di rumah di Jakarta, aku tidak akan mengambil bagian apapun itu" Sea cepat-cepat menjelaskan, kecemasannya semakin meningkat setiap detiknya.
Namun ekspresi Gaby tetap datar, menatap Sea tanpa ekspresi, "Kau lupa bahwa kalian berdua punya anak perempuan, Chika sudah memberitahumu, bukan?"
"Aku tidak akan memperjuangkan hak asuh itu kak, Chika akan semakin membenciku jika aku melakukannya. Aku akan memberikan dukungan finansial jika itu yang diinginkannya," jawab Sea, nada ketidakpastian merayapi suaranya.
"Menurutmu itu alasanku ke sini?" ucap Gaby mengangkat alisnya, rasa geli bercampur tak percaya.
"Aku tidak membawa berkas apapun, Sea. Aku ke sini bukan sebagai pengacara"
Alis Sea bertaut bingung ketika kedua mata mereka bertemu, keduanya mencari pengertian.
"Pernahkah kau mempertimbangkan mengapa, setelah bertahun-tahun kau menolak untuk menandatangani surat perceraian yang Chika ajukan, namun pernikahan kalian masih sah?"
Kebingungan Sea semakin dalam. "Apa maksudmu?"
"Seanatio Agni.. kalau istrimu benar-benar ingin bercerai, dia bisa saja melakukannya tanpa tanda tanganmu. Tapi dia tidak melakukannya," Gaby menjelaskan dengan singkat, seolah sedang menjelaskan soal matematika yang seharusnya mudah di pahami oleh Sea yang kini seorang dosen.
Namun Sea masih membisu, mencerna kata-kata itu "Kau mengerti maksudku?"tanya Gaby sekali lagi.
"Kamu sungguh-sungguh kak?"
"Pikirkanlah. Aku sudah melakukan bagianku dengan mencerahkanmu. Sekarang giliranmu untuk bertindak sebagai suami Chika dan membereskan semuanya" Gaby bangkit dan berbalik ke arah pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make it Right
FanfictionHow they're all strung together and paint this perfectly imperfect picture.