Lima tahun kemudian.
Aska menarik sepatunya—mengikat tali-talinya dengan sangat telaten. Setelah lima tahun belakangan ini dia sangat terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri, sejak allesia meninggalkannya. Lima tahun bukan waktu yang singkat, ia mati-matian mencari gadis itu, tapi wanita itu bak ditelan bumi. Sulit sekali—sampai kepribadiannya ikut berubah, menjadi sangat sensitif dan kasar.
Terhitung entah berapa negara yang ia kunjungi untuk mencari wanita itu, namun nihil—aska tak dapat menemukannya dimanapun. Sialnya kini dia hancur sendirian, allesia benar-benar membalasnya dengan sangat kejam. Kehidupannya tak lebih dari hidup tanpa punya tujuan. Allesia adalah mimpinya tapi gadis itu meninggalkannya.
Satu bola mainan terlempar keujung sepatunya—terlihat aska menatap bocah kecil yang baru saja melemparkan itu padanya. Langkah kecil itu menghampirinya disertai cengesan. "Papa!" Teriak bocah itu.
Aska melihatnya sekilas, lalu memilih memfokuskan diri ke layar ponsel yang tengah berdering—Aaron, teman sebayanya tengah menelfonnya.
Mata kecil itu menerjab pelan, menggendong kecil bola mainan tadi. "Papa...," katanya sekali lagi.
"Diam." Kata aska dingin. "Pergi kepada ibumu, berhenti mengusikku."
Mata kecil itu berkaca-kaca, siap untuk menangis. Bocah kecil itu sangat perasa—dengan sedikit bentakan dapat membuatnya mengeluarkan air mata. Aska terlihat tidak perduli, ia memilih untuk mengangkat telfon itu sebentar—namun terhenti ketika bocah laki-laki itu berteriak menangis.
"Huaaaa...,"
"Sial, berhenti menangis! Kau diam sialan—," ucapannya terputus dikala naina mendatangi mereka, menggendong bocah kecil itu dipelukannya kemudian menenangkannya. Menatap marah kepada aska.
Naina menatapnya nyalang. "Apa tidak bisa bagimu berbicara baik-baik kepada anak kita, dia masih kecil. Kau tidak perlu memarahinya sampai seperti itu."
Aska mengehentikan telfonnya sebentar, menatap wanita itu dengan tidak suka. "Itu anakmu, bukan anakku."
Naina membuang wajahnya kesamping, ia benci pembicaraan ini.
"Kita sudah bicarakan ini. Kau—akan jadi ayah untuk anakku, aku akan membantumu mendapatkan allesia."
"Lalu apa kau menemukannya, tidak bukan ?"
Naina meremat kedua jemarinya kuat. "Aku sedang berusaha, kau bersabarlah. Aku yakin kita akan menemukan gadis itu." Ucapnya yakin
Aska menatapnya dingin. Dirinya juga benci pembicaraan ini, yang akan dengan mudah mengingatkannya pada adik cantiknya itu. Entah berapa kali kesempatan kecil ia menemukan celah lalu dengan mudahnya ia kehilangan kesempatan lagi. Seperti ada yang menutupi kebedaan gadis itu.
"Kau mengatakan itu sudah sejak lima tahun ini—aku bosan mendengarkannya. " ujarnya ketus. "Dan untuk satu itu, dengarkan aku. Aku menjanjikan diri untuk jadi ayahnya ketika kau berhasil menemukan adikku. Dia bukan darah dagingku—aku benci mendengarkan kata papa keluar dari mulut yang bukan anakku."
"Aska, kita sudah bicarakan ini sedari dulu! "
"Kau memang tidak berniat mencari wanitaku." Aska menatapnya nyalang. "Jika lima tahun lalu aku tidak pergi bersamamu, allesia tidak akan pernah meninggalkanku. Karna kau dan anak sialanmu ini semuanya kacau, jadi berhenti menuntutku sesuai keinginanmu."
Naina terdiam, terhitung sejak kepergian allesia entah berapa kali mereka bertengkar. Dan selalu ada nama allesia dalam pertengkaran mereka. Sedari awal aska tak pernah menerima kepergian wanita itu—hingga selalu menyalahkannya atas takdir yang menimpa mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/294936527-288-k577470.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry Lia
Ficção AdolescenteAska terobsesi pada adik angkatnya, cinta tidak biasa hadir diantara mereka. Allesia tidak menyadarinya, menganggap bahwa semua pukulan itu sebuah kebencian, padahal tanpa gadis itu sadari, itu hanya sangkalan betapa kerasnya hati aska menolak peras...