Mau tidak mau Fais harus menuruti keinginan Anggara, ia sulit sekali menolak. Namun, dari pertemuan pertama hingga sekarang, mereka menjadi orang yang cukup akrab, sebab keduanya suka berbincang banyak hal.
Fais juga jadi mengetahui, kalau Anggara telah sendiri hampir tujuh belas tahun. Dia dituputusi kekasihnya karena kesalahan yang dibuat pada satu malam. Fais tidak bertanya dengan jenis kesalahannya, tapi dirinya mencoba mengerti.
Fais yang sebenarnya mencoba menjaga jarak, selalu Anggara dekati tanpa pikir panjang, berakhir dengan Fais yang terpaksa menurut sekaligus dia sebenarnya senang bisa dekat dengan Anggara.
Setelah pertemuan yang kesekian kali, Fais pulang cukup larut karena Anggara meminta Fais menemani menonton pertandingan bola antar kampung. Fais sempat berpikir keras kenapa orang sekaya Anggara harus menonton sebuah permainan sepak bola orang perkampungan.
Namun, Anggara memberikan jawaban yang membuat Fais tidak akan pernah lupa.
"Om pernah berharap hidup seperti mereka. Kelihatannya memang susah, tapi jika dibandingkan harus menanggung beban yang begitu banyak di usia dini, Om lebih memilih kelaparan setiap hari."
Anggara bercerita ibunya adalah tukang selingkuh, serta ayahnya tidak pernah peduli. Bagi ayahnya selama istrinya memberikan keturunan itu cukup, sebab mereka menikah juga di atas kertas dengan satu tujuan.
Lama kelamaan Anggara tubuh dewasa di bawah didikan sang ayah. Pemikirannya yang kolot dan kejam, membuatnya di bawah tekanan serta kekangan.
Ayahnya juga melarang Anggara jatuh cinta, karena sebagai pewaris dirinya telah disiapkan masa depan, termasuk dengan siapa dia harus menikah. Hidupnya terasa keras, saat baru menginjak tujuh belas tahun, Anggar harus pergi kesana kemari untuk berkenalan dengan orang penting untuk kepentingan bisnis.
Mungkin karena ingin cukup kebebasan tanpa beban, Anggara memutuskan tidak kuliah, memegang perusahaan lebih baik pikirnya. Namun, sialnya bebannya ternyata tidak pernah berkurang.
Pertama kali Anggara datang ke perkampungan kumuh untuk mengecek sebuah proyek, Anggara melihat tawa bahagia jauh lebih keras datang dari anak-anak di bawah garis kemiskinan. Anggara iri, dan mulai sering memperhatikan mereka.
Dari situ juga Anggara mengenal gadis cantik yang membuatnya jatuh cinta. Dia adalah relawan yang membantu orang-orang miskin. Setiap pertemuan selalu membuahkan getaran tidak biasa. Kami menjadi kekasih enam bulan kemudian, dan hari-hari terlewati dengan bahagia.
Mereka putus karena ayah Anggara menjodohkannya. Tapi Anggara malah menyebar berita hoax kalau dirinya HIV dan ia memutuskan melajang seumur hidupnya.
Fais mendengar cerita susah orang lain langsung merasa, kalau tidak hanya dirinya yang susah di dunia. Bukan hanya dirinya yang memikul beban banyak. Anggara, orang yang Fais kagumi di pertemuan pertama juga merasakan hal yang sama.
"Ternyata dunia kadang terlalu adil, ya?" batin Fais memasuki rumah.
Baru saja sampai di ruang tengah, sang papa tiba-tiba muncul dengan raut wajah marah.
"Dari mana saja kamu!?" tanya Tama mengeram marah.
"Sejak kapan dia peduli?" batin Fais, merasa miris.
Karena untuk pertama kalinya dicari, tidak seperti biasanya sang papa acuh, Fais menjawab dengan enteng.
"Main, Pa. Sambil belajar buat ulangan kenaikan sebentar lagi," bohong Fais, yang sebenarnya dalam hati sedikit merasa takut. Kebohongan kali ini mungkin saja tidak dipercaya.
Tapi Tama langsung mendengus sebal, ia memperlihatkan sebuah piala baru yang Fais sembunyikan beberapa hari lalu.
Itu adalah kejuaraan piano, Fais berhasil meraih juara tiga, tidak terlalu mengecewakan, tapi papanya tidak pernah suka.
"Kamu main beginian sampai nilai bahasa Inggris kamu turun, hah? Terus kenapa hanya juara tiga, bukan juara satu!"
Fais menelan ludahnya kasar. Dia melakukan dua kesalahan yang diketahui sang papa. Pertama ikut lomba main piano, yang kedua bukan juara satu. Kalau Fais tidak bisa mendapatkan juara satu, itu adalah kesalahan yang paling tidak termaafkan.
"Setidaknya kalau punya hobby kamu harus unggul, Papa tidak suka orang tidak pintar dalam kesenangannya sekalipun. Lihat lebih banyak Glen, dan belajar darinya!" perintahkan sang papa, yang kemudian membawa pialanya keluar.
Fais tahu untuk apa itu, jelas akan dibuang ke tong sampah seperti barang yang tidak ada harganya. Degan sedih dia beranjak pergi, menuju kamarnya yang ada di samping kamar pembantu.
"Fais," panggil Glen, sang kakak yang selalu menjadi patokan untuk Fais.
Fais tersenyum, dia masih memaksakan raut wajahnya. Walaupun sang papa selalu memaksa agar bisa seperti Glen, Fais tidak pernah menyalahkan kakaknya itu. Bagi Fais, Glen sudah seperti idola sendiri di hatinya.
"Papa marah lagi, ya. Maafin Kakak yang diam-diam masuk kamar kamu dan nunjukin piala itu. Maksud kakak supaya ayah juga bangga sama kamu."
Fais sedikit marah saat tahu yang mengadukan piala itu adalah Glen, tapi mendengar ada niat baik di belakangnya, Fais langsung merubah pemikiran itu.
"Enggak apa-apa, Kak. Makasi atas usahanya," balas Fais tersenyum tulus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah (END)
Teen FictionFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.