"Ini piano?" Tama tidak bisa berkata-kata saat melihat piano hadiahnya untuk Fais ada di ruang tengah Anggara.
Tidak terasa dadanya kembali terhimpit sesak, memandang bagaimana Fais menghargai hadiahnya.
"Anak itu sangat baik, sayang sama kamu, sebagai Papa yang dia sangat hormati. Fais menyembunyikan hadiah ini untuk kenangan terindahnya, karena untuk pertama kalinya sanga Papa memberikan hadiah yang Fais sangat suka." Anggara menambahkan agar rasa bersalah Tama jauh lebih besar.
Anggara yang sadar Fais bukan anaknya saja menyayangi Fais sebisanya. Sebab sejak Fais dituduh anaknya, Anggara telah mengagap dirinya menjadi ayah untuk pertama kalinya. Fais memberi kesempatan yang sangat berharga untuk Anggara.
"Apa saya sejahat itu?" Tama kembali menemukan piala yang dibuangnya ada di lemari kaca Anggara. "Kamu saja memperhatikan anak itu begitu detail. Tapi saya? hanya bisa salah paham terus-menerus."
Tidak ada yang berkomentar, Anggara memandanga hening lantai sampai seorang asisten datang bersama laptopnya.
Anggara langsung menyuruh asistennya itu menaruh laptop di atas meja dan ikut bergabung duduk.
"Ini juga salah saya. Mungkin karena tidak waspada, musuh ikut menjeratmu dalam masalahku." Anggara meminum kopinya dengan rasa pahit yang mengetal di hati.
"Mungkin salah saya juga yang meyayangi Fais, hingga musuh mengira Fais adalah target yang empuk," lanjur Anggara yang jujur amat merasa bersalah.
Tujuan Anggara tidak jauh waktu itu, hanya menemani Fais yang kesepian karema ulah papa kandungnya sendiri. Selain itu Anggara sangat menyayangi Fais seperti anak kandungnya sendiri. Sampai-sampai surat warisannya hampir semua atas nama Fais, tentunya belum diketahui oleh Tama saat ini.
Namun, dikira Tama akan marah. Pria itu tidak menyalahkan Anggara sedikitpun. "Saya pernah salah, jadi kita tidak boleh saling menuduh mulai sekarang," balas Tama lebih tenang.
"Kalau begitu kita harus menangkapnya segera. Sebab orang itu juga yang telah mencelakai Fais, saya yakin pelaku yang merusak hidup kita hanya satu orang, karena saya sudah memantaunya, hanya saja untuk pelaku saya belum tahu itu siapa."
Tama melirik data-data di laptop sambil mendengarkan Anggara menjelaskan. Satu-satunya solusi untuk masalah berkepanjangan saat ini adalah menangkap pelakunya.
***
Belum selesai Anggara dan Fais membicarakan masalah, Ama telah menelepon dan mengatakan Fais sudah sadar sambil mencari-cari Anggara.Keduanya langsung menuju rumah sakit, berlari menuju kamar Fais yang terletak di lantai paling atas, dengan fasilitas VVIP semua.
Tama yang berjalan membuka pintu duluan, sementara Anggara menyusul di belakang. Tampak Fais sedang ditenangkan oleh Ama, wanita itu memberikan rentetan kata sambil menangis dan memeluk sang anak yang disayanginya.
Ama tidak menjelaskan masalah yang sebenarnya, Fais baru sadar dan pikirannya harus selalu ringan. Tapi sebaliknya dia menyemangati Fais, memberinya pujian karena telah kuat berjuang.
"Om Anggara," panggil Fais lemah, ia langsung memandang Anggara tanpa melihat ada Tama juga di sana.
Ama yang sadar ada memasuki ruangan memberi ruang kepada Anggara. Setelah tahu perbuatan suaminya, Ama paham siapa yang Fais butuhkan saat ini.
Karena telah diberi ruang, Anggara mendekat, menatap mata Fais yang tampak membendung tangisannya, sampai Anggara memeluk tubuh ringkih itu.
"Om, Fais kangen," ujarnya, membuat Tama membeku di tempatnya.
"Om nggak pernah pergi, kok. Kamu nggak akan kangen lagi," jawab Anggara yang tahu kalau Fais masih linglung.
Tapi Fais malah semakin mengeratkan pelukannya, seolah tidak mau melepaskan Anggara.
"Om, Fais takut," ucapnya lagi.
Sosok Fais yang dulu seolah hilang, dia menjadi anak yang banyak berubah, prilakunya mendadak sulit dibaca dengan keadaan sekitarnya yang Fais masih takuti.
"Ada Om, ada Papa, dan Mama di sini, jadi kamu tenang, ya," ucap Anggara lembut.
"Fais mau ikut Om Anggara. Fais mau tinggal sama Om, Fais nggak mau sama Papa." Dengan suara isakan pelan sebagai pengatar suara serak Fais, semua orang semakin membeku di tempatnya.
Anggara tidak bisa menjawab apa-apa, tapi pintu ruangan Fais tiba-tiba terbuka dengan kedatangan Glen dan Asya.
"Fais, kamu adik Kak Glen, kamu tidak bisa pergi." Glen langsung melepaskan pelukan Anggara, sementara Asya yang menggatikannya.
Fais yang baru sadar dan mengikuti insting sejak awal hanya bisa kebingungan.
"Kak Fais anak Papa, semuanya salah Paham dan Papa sudah sangat menyesal," sambungkan Asya.
Pandangan Fais seketika memandang sang Papa, Tama hanya berdiri dengan perasaan cemas, pandangannya begitu berkaca-kaca, binggung harus berbuat apa.
![](https://img.wattpad.com/cover/376809766-288-k676194.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah (END)
Novela JuvenilFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.