07. Termakan Harapan

84 5 0
                                    

Sepertiya harapan Fais terlalu tinggi. Acara yang dikatakan untuk ulang tahun Fais tidak terlihat seperti undangan ulang tahu. Semua orang berpakaian formal, dan tamunya juga adalah kolega bisnis sang papa.

Tama sengaja menggunakan alasan ulang tahun Fais, padahal tema acara ini adalag jamuan makan malam untuk orang-orang yang investasi di restoran baru Papanya. Tidak ada kue ulang tahun, apalagi perayaan anak muda. Tidak seperti perayaan ulang tahun Asya lima bulan lalu. Atau Glen yang punya acara sendiri dengan teman-temannya.

Di tengah pesta, Fais melihat dua sahabatnya yang memang Fais sengaja undang dengan izin sang Tama. Keduanya tampak celingak-celinguk mencari keberadaan Fais.

Fais berjalan mendekat ke arah mereka, menepuk pundaknya dengan lembut. "Elgo, Algi," panggil Fais.

Keduanya kompak menoleh dan tersenyum sangat lebar. Elgo dengan tampang bahagianya menyalami tangan Fais.

"Akhirnya lo nyusul buat KTP," ucapnya dengan nada bercanda.

Fais hanya terkekeh, benar juga usianya telah legal sekarang. Semakin bebas, seharunya.

"Gue bawa sesuatu, kita ke salah satu meja, yuk," ajak Algi antusias menujukkan sebuah kota.

Acara hari ini kebetulan dilakukan di salah satu gedung sewaan papapnya. Ada beberapa meja dan kursi, memudahkan para pelayan membawakan jamuan.

Elgo membawa Fais ke pojok ruangan, mereka duduk melingkar katena memang mejanya bundar. Fais cukup antusias dengan kado yang dibawa oleh kedua temannya.

Saat Algi membukanya, Fais menemukan sebuah kue yang telah dipasangi lilin. Elgo pun langsung menyalakannya.

"Gue liat mereka nggak sediain kue, jadi kebetulan kita bawa." Ada nada kekesalan yang Algi pendam saat mengatakan hal itu.

Bagaimanapun mereka tahu kehidupan Fais luar dalamnya.

"Makasi, ya. Kalian emang yang terbaik," ucap Faia dulu.

Dia sangat terharu, apalagi saat Fais disuruh meniup lilin. Hatinya yang beku kembali hangat, kecewanya kini sudah hilang digantikan rasa senang yang berlebih.

Mereka bertiga juga membangi kuenya di sana, memakannya seolah memiliki acaranya sendiri. Tidak peduli dengan tamu undangan yang lain, karena pada dasarnya perayaan ulang tahun harusnya menjadi acara utamanya.



***
Sekitar jam sepuluh malam Fais disuruh naik ke atas panggung mini yang telah disiapkan. Tama sudah melakuman beberapa sambutan kecil, sekarang gilirannya ketiga anaknya untuk naik ke atas panggung.

Fais berjalan paling belakangan, di saat kedua saudaranya diapit sang papa dan mama, Fais berdiri di sampin Tama penuh kekakuan. Tama juga tidak peduli di mana Fais berdiri, seperti anak buangan.

"Hari ini adalah hari ulang tahun anak tengah saya, sekaligus saya ingin memperkenalkan Faisan Nagra Atama sebagai penerus perusahaan saya."

Semua tamu undangan bertepuk tangan meriah, merasa ini adalah sebuah kebanggaan, tapi Fais sendiri semakin tertekan.

"Dan untuk ulang tahun Fais, saya telah membelikan hadiah yang sangat spesial." Fais ikut memandang ke mana arah tangan Tama, sebuah kain merah di buka di belakangnya. Fais cukup binggung saat Tama memberikannya hadiah piano.

Tapi dengan rasa senang Fais menerimanya, ini seperti sebuah hal biasa. Mungkin kalau di rumah sang papa terlibat cuek dan tidak peduli, tapi pada dasarnya saat di depan orang banyak, Fais akan seperti anak yang paling disayangi di dalam keluarga.

"Terima kasih Papa." Fais mengikuti permainannya, mengucapkan terima kasih dengan senang.

"Anak saya ini suka sekali main piano, karena itu hadiahnya juga piano. Kamu mau, kan main depan banyak orang?" Tama berkata seolah sangat tahu anaknya.

Namun, Fais juga tidak menolak, dia mau main, menjadikam acara ini lebih meriah dengan permainan piano Fais yang tentu saja sangat mahir. Jari-jari tangannya begitu lentuk, menciptakan setiap nada dengan indah.

Sementara Elgo dan Algi hanya menyaksikan, demgan pandangan yang sangat miris.

"Mereka kaya lagi ngedrama, ya. Kalo gue jadi produser, udah gue bawain mereka piala," komentar Elgo dengan sarkas.

"Siapa yang bakal tahu kalau anak yang dianggap kesayangan itu paling menderita di dalam rumah," sambung Algi.

****
Setelah pertunjukan piano selesai, Tama kembali menghampiri Fais di sisi panggung. Fais tersenyum lebar, cukup senang mendapat hadiah untuk pertama kalinya, walaupun harus di depan orang banyak.

Tama tidak membalasnya, dia malah memasang wajah serius. "Papa ingin kamu jual pianonya setelah ini, untuk memperbaiki motor. Kamu pikir Papa akan membiarkan kamu punya hobi dan mengacaukan semua yang Papa Atur?"

Wajah Fais berubah masam, meninggalkan lubang baru yang sulit dikatakan.

Fais hanya mengangguk pelan, setidaknya hasil jualnya masih bisa memperbaiki sepeda motor buntutnya. Walaupun Fais sebenarnya tidak rela.

"Setelah ini jangan pernah menunjukkan kecacatan apapun kepada Papa," tegaskan Tama yang setelahnya langsung pergi.

Karena kedua saudaranya kini sudah ada di hadapannya membawa hadiah. Kalau soal hadiah mereka tidak akan pernah lupa, sebab pada dasarnya mereka saling menyayangi.

Si Tengah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang