06. Aneh

79 7 2
                                    

Fais hari ini mendapatkan nilai ulangan yang cukup memuaskan, berhasil masuk juara umum seperti harapan sang papa. Namun, tetap tidak ada perayaan.

sebaliknya hasil ulangan Arya cukup memprihatinkan, karena untuk pertama kalinya Arya tidak mendapatkan juara umum seperti biasanya. Ia terlempar jauh, dan hanya mendapatkan juara dua di kelas.

Fais yang telah lolos dari kemarahan papanya ingin tidak peduli, tapi matanya sendiri malah menyaksikan kesakitan untuk hatinya.

Karena merasa kecewa dengan dirinya sendiri, Arya menggurung dirinya di kamar. Ama begitu khawatir sehingga memaksa sang suami untuk membujuk.

Apakah Tama menolak? Sudah pasti jawabannya adalah tidak. Tama langsung mengangguk sambil membawa hadiah yang Tama janjikan jika Arya juara umum.

Benar saja dua belas menit kemudian Arya turun bersama sang ayah sambil menenteng hadiah yang Tama berikan untuk melakukan makan malam. Fais menyaksikan itu semua karena sedang bersantai di ruang tengah.

Fais tidak beranjak bahkan setelah keluarganya hampir berkumpul semua. Ia memperhatikan jari-jari tangannya yang tidak bisa digerakkan. Karena setakut itu nilainya tidak sempurna, jawaban yang ditulis akan salah, Fais benar-benar stres dan bermain piano full selama berjam-jam. Melampiaskan berisi di kepalanya sendiri.

Bukannya makan malam, Fais memilih beranjak pergi. Keluarganya hanya memandang kepergian Fais, tidak ada yang peduli dirinya tidak makan malam.


***
Tempat tujuan terakhir Fais adalah perkampungan dekat dengan gang elitnya. Di saat jam sudah malam, beberapa anak masih bermain voli. Teriakan muda-mudi di sana sangat kencang, mendukung pemain antar kampungnya.

Fais ke sini tidak memakai kendaraan, hanya berjalan kaki beberapa menit. Matanya melirik iri kebahagiaan yang orang-orang itu rasakan. Kenapa Fais rasanya tidak pernah tertawa selebar itu?

"Kakak!" panggil seorang gadis membawa beberapa kotak tisu besar.

Jidat Fais mengernyit bingung, memandang seorang anak SD sedang apa ingin memanggil namanya.

"Kak mau beli tisu? Aku punya masih banyak, tolong bantu dagangan aku ya, Kak. Supaya besok aku bisa makan." Adu anak kecil itu.

Fais dengan kasihan memandang anak itu sepenuhnya. "Apa kamu tidak sekolah? Jualan sampai selarut ini," ucap Fais khawatir.

"Saya tidak sekolah, Kak. Orang tua saya tidak punya biaya," jawabnya dengan sedih.

Seketika Fais merasa sedikit bersalah hanya fokus kepada rasa sakitnya sendiri. Dia tidak ingat bahwa manusia lain juga memikul masalahnya sendiri.

Fais merogoh dompetnya, memberikan dua lembar uang seratus ribu tanpa mengambil tisunya.

Anak itu cukup tidak enak, tapi Fais memaksa.

"Saya tidak bisa terima uang tanpa kerja, Kak. Nanti orang tua saya marah."

Fais tersenyum haru, kenapa anak sekecil ini sangat pintar. Dia bahkan tidak ingin memanfaatkan situasi.

"Ini kamu bawa saja, ingat muka saya saja, nanti kalau saya butuh tisu kamu, Kakak akan ambil tisunya." Fais berusaha negosiasi, walaupun sepertinya tidak berhasil.

Fais melihat gestur penolakan kembali dilakukan.

"Kakak pergi dulu, sampai jumpa,"
Potong Fais, memotong ucapan si anak.

Saat Fais pergi dari lapangan voli, dia malah berpapasan dengan Glen, sang kakak menemukannya baru saja keluar dari gang.

Glen memandang bingung Fais. "Ngapain ke tempat kumuh?" Ucapan Glen tidak salah, karena terkadang bagi orang-orang kaya, tempat perkampungan sering dipandang kotor dan kumuh.

Fais hanya menghela napas panjang. "Sumpek ajak di rumah," jawabnya asal.

"Kak Glen, kenapa tidak bilang si kalau Kak Fais udah ketemu,"
keluh Arya, sambil menghentak kakinya.

"Kalian cariin Fais?"

Kedua saudara Fais langsung mendengus sebal, untuk apa juga mereka keluar malam kalau tidak untuk mencari Fais.

Arya menyilang tangannya di depan dada dan langsung berdiri di hadapan sang kakak kedua.

"Kakak pikir mau nyari kambing? Papa khawatir dan mau ada yang dibicarakan." Arya kembali memayunkan bibirnya, karena lelah mencari Fais.

"Papa khawatir? Tumben sekali," balas Fais seolah tidak percaya, tapi kedua saudaranya malah mengangguk setuju dengan kompak.

Terkadang Fais bingung dengan papanya yang bersifat lebih perhatian, walaupun tuntutannya tetap ada banyak.

"Papa mungkin mau ada perintah," balasnya, memimpin jalan untuk pulang.

"Enggak, papa mau rayain ulang tahun Kakak, ini hadiah atas juara umum Kakak."

"Apa!" Fais memekik kaget, dia berbalik memandang Glen dan Arya tidak percaya.

Bagaimana mungkin sang ayah peduli dengan ulang tahunnya, apalagi sampai mau repot-repot merayakan. Ini bukan lagi keajaiban, tapi keanehan mencurigakan.

Si Tengah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang