Fais pulang dalam keadaan lelah, ia mendapatkan bengkel yang cukup jauh, dan motornya juga harus menginap di sana. Pulang-pulang sudah cukup larut, sekitar jam delapan malam.
Benar-benar hari sial tidak ada di kalender.
Setelah mengetuk beberapa kali Fais menerobos masuk, melihat keluarganya sedang berkumpul di ruang makan. Saat Fais mendekat, terlihat mereka sudah selesai makan malam.
Lagi dan lagi Fais hanya menghela napas lelah. Nasibnya memang selalu menyedihkan ternyata.
"Kamu sudah pulang?" Mama Ama, menyambut Fais dengan senyuman lembut.
Alhasil Fais tidak bisa marah, dia langsung balas tersenyum manis. Menduduki kursi yang memang selalu dia duduki.
"Ayamnya habis, kamu makan sayur aja bisa, kan?" tanya Ama lagi.
"Makan apa aja bisa, kok, Ma." Fais menjawab setulus mungkin, menyebabkan Ama tidak risau masalah apapun lagi.
Walaupun belum mandi Fais memutuskan langsung makan saja, biarkan badannya masih kotor, yang terpenting perutnya kenyang dulu.
Tama yang kebetulan sudah selesai sarapan dengan ketiga lainnya memulai pembicaraan. Tidak penting Fais, yang terpenting berbincang dulu.
Awalnya hanya membahas tentang kakaknya, sang papa memuji Glen yang berhasil lulus seleksi atlet basket untuk perlombaan luar negeri, hingga pembicaraan Tama tetap menyerempet pada Fais yang sendari tadi fokus makan.
"Kamu harus berprestasi kaya kakakmu."
Fais mengangguk patuh, walaupun merasakan gumpalan nasi yang tertelan tidak seenak pertama memakannya tadi.
"Papa mau Fais jadi atlet basket?" tanya Fais dengan entengnya.
Namun, Tama justru semakin kesal. "Kepintaran kakak kamu itu di atas rata-rata. Selain jago bakset Glen juga pintar pendidikan akademis. Papa kadang heran kenapa kamu sangat berbeda jauh," keluhkan Tama panjang lebar.
Fais yang mendengar itu memakan nasinya untuk terakhir kali sesuap besar. Daripada semakin hambar saat mendengarkan papanya.
Selain itu perkataan Tama kalau dipikir memang seratus persen benar. Kedua saudaranya mewarisi kepintaran Tama dan Ama, tapi Fais malah terlahir menjadi anak biasa-biasa saja yang harus berjuang keras demi mengejar prestasi sang kakak ataupun berjuang lebih keras agar tidak kalah dari adiknya.
Sang kepala keluarga menghela napas panjang, melihat keterdiaman Fais, Tama tahu anaknya itu sedang berusaha berjuang keras dengan pikirannya sendiri.
"Hari minggu ikut Papa untuk pemotongan pita restoran baru."
"Hanya Fais?"
Tama mengangguk singkat. "Situasi cukup bahaya, akan ada banyak orang jahat di pesta, dan mungkin bisa mencelakai Glen atau Asya."
Kedua saudara yang merasa aneh dengan perkataan papanya mulai saling pandang, sampai pada akhirnya si sulung bertanya.
"Kenapa Fais boleh, kita tidak?"
Tama memandang Fais singkat sebelum pada akhirnya memberikan tatapan lembut kepada si sulung dan bungsu.
"Papa tidak ingin kalian terluka, lagi pula itu tanggung jawab Fais sebagai pewaris." Tama tidak ingin berdebat, beliau berdiri dari duduknya dan mengajak sang istri untuk pergi ke kamar.
Sementara Fais menunggu semuanya pergi, memandang dengan tatapan kosong meja makan itu. Kenapa kehangatan mereka tidak pernah sampai
"Dan Kenapa hampir setiap hari aku merasa seperti tameng untuk pangeran yang sesungguhnya?" gumam Fais sambil mengusap wajahnya kasar.
***
Seperti permintaan sang papa, Fais pergi dengan tama untuk pelucuran restoran. Sebagai seorang pembisnis sudah biasa jika memiliki musuh, apalagi disaat saingannya ingin memperluas usahanya.Fais waktu itu diajak menemui seorang pria dewasa seumuran ayahnya. Dia memperkenalkan diri sebagai pak Anggara, kolega bisnis yang sangat dekat dengan ayahnya. Namun, baru kali ini Fais benar-benar berkenalan dengan pria itu.
Fais cukup kagum melihat auranya, seperti alpha yang memiliki feromon mematikan serta membuat siapapun tercekik. Akan tetapi saat berkenalan Fais sadar Anggara juga punya tingkat keramahan yang tinggi.
"Cukup berbeda bukan?" Tama tiba-tiba berkata tidak jelas kepada Anggara, tapi sepertinya di sini hanya Fais yang tidak mengerti apa-apa.
Anggara menatap Fais cukup lama, sebelum pada akhirnya mengangguk samar.
"Apa kamu puas melihatnya tubuh dengan baik?" Tama tersenyum sinis, dia menepuk bahu Anggara lalu pergi mengajak Fais menyambut tamu lain.
Merasakan ada yang aneh, Fais tidak mengalihkan pandangannya walaupun Tama telah mengajaknya pergi. Kebetulan juga Anggara melakukan hal yang sama, menyebabkan keduanya melakukan kontak mata yang sulit dimengerti tujuannya. Namun, seperti ada getaran aneh di dalam hati Fais.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah (END)
Подростковая литератураFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.