04. Wine

818 42 8
                                        

Fais memutar gelas winenya dengan lihai, matanya memandang sekitar tetapi hatinya selalu memiliki kekosonganya sendiri.

Jangan tanya siapa yang mengajarinya menjadi seperti sekarang di usianya yang belum genap tujuh belas tahun. Hidupnya terasa lebih pahit dari setiap alkohol yang yang dia tengak. Kedua orang tuanya tidak peduli, asal itu bukan kelakuan sang adik ataupun kakak.

Tama hanya memandang acuh anaknya sedang minum wine di salah satu meja. Dirinya lebih fokus untuk berbicara dengan beberapa kolega bisnisnya.

Mungkin kepercayaan itu juga didapat karena Fais tidak pernah mengacau disaat minum. Seolah minuman itu telah berteman baik dengan Fais sejak umurnya lima belas tahun. Setiap kali Fais berpikir kalau wine akan membuatnya melayang dan melupakan sejenak masalahnya, justru Fais tertampar kenyataan bahwa dalam hidupnya ia tidak akan pernah bisa melupakan masalahnya barang sejenak saja.

Fais menyuruh pelayan menuangkan wine lagi, lalu mulai melamun entah dengan pikiran apa. Terlalu banyak dan bising.

"Kau peminum hebat?" tanya seorang pria matang, menyebabkan Fais sedikit tersadar akan lamunannya.

"Ada banyak orang ingin minum untuk melupakan sejenak masalahnya. Tapi kalau terlalu tangguh, bagaimana mereka akan mendapatkannya?"

Anggara, orang yang bertanya akhirnya merasa sedikit kaget mendengar penuturan anak remaja yang bahkan terlihat belum legal untuk meminum botol minuman.

"Apa kamu sudah terlalu sering minum di bar?" Anggara merasa kaget, tapi Fais hanya bisa tersenyum miris di dalam hati.

"Mana ada waktu, Tuan. Saya terlalu sibuk," jawabnya tanpa dusta.

Fais hanya minum diacara formal ayahnya. Kebetulan sekali ayahnya selalu mengajaknya pergi untuk undangan para rekan bisnisnya. Hal itu membuat Fais selalu bisa minum diam-diam tanpa sepengetahuan kedua saudaranya.

Karena kaget dengan pernyataan Fais yang selalu mengejutkan, Anggara sedikit mengaga tidak percaya.

"Hem ... sama seperti saya. Tapi setelah beberapa lama saya benar-benar berhenti minum." Anggara mengambil jus jeruk yang disajikan oleh pelayan. "Saya melakukan satu kesalahan saya besar, hingga saya sadar, minuman kadang menyebabkan adanya kesalahan yang tidak pernah dipikirkan."

Fais tidak bertanya lagi, itu diluar ranahnya, tapi kali ini ia hanya menyesap wine itu pelan, merasakan pahit serta manisnya lebih lama. Hatinya tidak tahu kenapa cukup senang ditemani oleh Anggara.



***
"Berhenti dekat-dekat dengan pak Anggara," ucapan pertama Tama, setelah mereka masuk ke dalam mobil.

Fais yang tidak menyangka hanya mengernyit dalam, sebelum pada akhirnya mengeluarkan sedikit protesan.

"Pak Anggara juga kolega bisnis Papa, jadi kenapa hanya pak Anggara yang harus dijauhi?"

"Apa kamu mabuk?" tanya Tama kesal, ia memijit batang hidungnya dengan satu tangan, sementara satu tangannya menyetir mobil.

"Tidak, Pa." Anggara memandang semakin bingung papanya, karena pertanyaan Tama berganti-ganti.

Tidak mengetahui kalau papanya sedang menahan emosi mendalam di lubuk hatinya.

"Kalau begitu kenapa kamu tidak menuruti perintah Papa? Kamu mulai menentang perintah Papa? Kamu sudah tidak mau lagi menuruti perintah Papa?" Tama sangat marah, dia memandang anaknya dengan penuh emosi campur aduk.

Seolah Fais sudah melakukan kesalahan besar, tapi di sini Fais hanya mencoba menjelaskan hal sepele. bukannya mabuk lalu mengacaukan acara.

Mau tidak mau Fais menuruti keinginan papanya yang cukup aneh itu.

"Maaf, Fais akan menjaga jarak dengan pak Anggara." Fais menoleh ke arah Tama takut-takut,  tapi raut wajah papanya santai kembali seperti semula.

Kebingungan Fais semakin menjadi-jadi, dia berusaha untuk tetap menelan ribuan pertanyaan. Sebab mereka tidak sedekat itu untuk berbincang-bincang.


***
Baru kemarin Fais memperingatkannya untuk tidak menemui Anggara lagi, tapi sekarang dia malah bertemu di depan gerbang sekolah.

Karena Fais tidak membawa sepeda motornya, ia berniat untuk mencari taksi. Motor varionya sedang ngambek, bannya kempes tidak tahu kenapa.

Fais keluar dengan Elgo dan Algi, karena kedua sahabatnya itu harus menunggu jemputan. Awalnya Fais ingin pura-pura tidak kenal saja, tapi dirinya malah disapa.

Anggara memanggil nama Fais hingga remaja itu terpaksa menyapa balik.

"Tuan Anggara, sedang menjemput anaknya?" tanya Fais canggung, apalagi semenjak ayahnya melarang Fais menemui Anggara.

"Saya tidak punya anak dan juga istri. Bisa kamu panggil saya Om saja?" Anggara tersenyum sangat lebar.

Tapi Fais langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil mengangguk.

"Om mau menemui kamu, bisa kita makan siang berdua di kafe dekat sekolah ini? Om hanya ingin sedikit dekat sambil mengobrol."

"Tapi ...."

Anggara yang melihat Fais ragu, ia memotong ucapan penolakan anak remaja itu.

"Apa Papa kamu melarang?" Anggara menebak secara acak.

Tapi Fais langsung menggeleng cepat. Dia harus membersihkan nama sang Papa.

"Tidak, tidak. Fais bisa, ayo Om."

Anggara tersenyum senang, menarik tangan Fais untuk masuk ke dalam mobil mewah miliknya.

Meninggalkan Elgo dan Algi yang melongo karena melihat Fais malah dijemput om-om.

"Fais nggak putus asa, kan? Dia sampai jual diri?" Tanya Algi sembarangan.

Sang kakak langsung mengeplak kepala sang adik. "Sembarangan aja kamu."

Si Tengah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang