21. Tragedi

1.2K 41 4
                                        

Angggara menarik tangan Fais untuk dibawa pergi ke bandara. Masalah segala jenis identitas sudah Anggara atur agar Fais bisa pergi hari itu juga. Tidak ada waktu, dalam sekejab semua kesempatan bisa hilang.

Sementara Fais terus memandang ke belakang, memastikan adiknya tetap baik-baik saja.

"Kita akan menjadi ayah dan anak mulai sekarang," balas Anggara dengan senyuman lebar.

Namun, baru mau membuka pintu utama, satu keluarga Fais sudah ada di depan rumah. Dengan Anto yang memang mengikuti kepergian Fais, akan tetapi setelah tahu kalau anak itu pergi ke rumah Anggara, Anto langsung menghubungi Tama, serta menceritakan semua yang dia tahu.

Hal itu cukup tepat waktu, karena Anggara masih di rumahnya bersama Fais.

"Mau kamu bawa ke mana anakku!" teriak Tama marah, dia ingin mendekat, tapi Anggara segera mengeluarkan pistol yang disembunyikannya.

Tama tidak berani bergerak, dia sebaliknya langsung diam dan patuh. Amarahnya dipendam dengan tangan mengepal kuat.

"Fais ikut pindah denganku ke Amerika. Aku telah mewariskan seluruh hartaku kepadanya, jadi kamu tidak bisa meghalangi." Anggara berkata dengan nada tenang.

Sementara Fais tidak bisa melakukan apapun, sebab dirinya tahu kalau Asya masih ditahan.

"Fais juga setuju. Mana mau dia hidup dengan seorang yang tidak mengakuinya anak. Benar kan, Fais?" Anggara menekankan setiap kata, agar Fais paham.

Mendengar itu Fais dengan cepat mengangguk, dengan wajah sangat tertekan.

Fais merasa bersalah setelah itu, melihat papa dan mamanya yang begitu terpukul. Sementara Glen mematung penuh harapan, jika yang diakui Fais bukan kebenaran.

"Kamu menyakitinya, dan saya kebetulan ada. Keluarganya bukan siapa-siapa lagi bagi Fais." Anggara menipulatif, menggarang cerita dengan lugas. "Sekarang jangan halangi saya pergi," ucap Anggara yang ingin menyeret Fais lagi.

"Tidak! Kak Fais pergi karena terpaksa. Orang itu mengancam akan menyakiti Asya!" Asya tiba-tiba lari dari dalam rumah, ia berhasil lolos dari tahahan di dalam.

Suaranya menggema keras, menyadarkan semuanya kalau Fais telah diancam sedemikian rupa oleh Anggara.

"Sialan!" marah Anggara, nenyadari anak buahnya telah lalai.

Untuk itu Fais segera meloloskan diri, dia berlari melindungi adiknya. Sementara Anggara yang murka segera menodongkan pistol ke arah dua saudara itu.

Orang-orang yang menonton itu langsung menahan napas. Sangat takut jika Anggara benar-benar menembak Fais ataupun Asya.

"Masalah ini bersumber dari kita, untuk apa kamu menyakiti anak dan suamiku. Cukup Angga, kita tidak bisa lagi melanjutkan masalah masa lalu!" teriak Ama, menghentikan niat jahat Anggara.

Wajah Anggara jelas semakin merah, dia menoleh ke belakang, menatap wajah Ama yang diperhatikan memang sangat mirip Fais.

Napas Anggara memburu, ia berusaha tersenyum sinis sebelum pada akhirnya membalik pistol untuk ditodongkan kepada Ama.

"Kamu benar," balasnya dengan kesal. "Kamu benar sekali, seharunya kamu tidak meninggalkan saya. Kamu tahu betapa kesepiannya hidup saya setelah kejadian itu?" Anggara bertanya dengan pias.

"Hidupku seperti terkubur di dalam tanah hidup-hidup Ama. Bedanya hanya orang yang benar-benar terkubur akan mati segera, tapi aku harus tetap bertahan!"

"Angga, itu salah takdir. Aku tidak ingin meninggalkanmu, tapi ...."

"Bohong!" Anggara berteriak, memotong ucapan Ama.

Hatinya sakit, tidak mau mendengar ucapan Ama, Anggara memotongnya dengan teriakan lantang. "Harusnya kamu kembali, Ama, bukannya membuat banyak anak dengan pria itu!"

Siapa yang tidak sakit ditinggalkan, apalagi setelah perjuangan Anggara. Ama adalah satu-satunya wanita yang begitu Anggara puja, tapi kenapa dirinya tidak pernah dapat balasan apapun.

Mata Anggara melotot tajam berkaca-kaca. "Biarkan aku tinggal dengan anakmu. Impianku hanya satu, ingin menjadi ayah salah satu anakmu," ungkap Anggara sekali lagi.

Tapi Ama tidak setuju, dia menggeleng keras dan berjalan mendekat dengan nekat.

"Langkahi mayatku dulu baru kamu bisa!" tantang Ama dengan berani.

Namun, Anggara tampaknya tidak bisa diajak main-main. Ia langsung berkata, "Ok." Setelah itu satu tembakan keras terdengar.

Semua orang syok, termasuk pelakunya sendiri. Anggara menjatuhkan pistolnya setelah menembak peluru ke arah Ama. Wanita yang selalu dicintainya.

Tangan Anggara bergetar ia langsung melangkar mundur. Tetapi Anto mengambil kesempatan itu untuk memukuli Anggara.

Sisanya berlari ke arah Ama dan Glen, pistol itu berhasil dihalangi oleh Glen, dia menjadi tameng untuk ibunya.

Tangan kanan Glen yang terkena mengeluarkan darah segar, menyebabkan seluruh anggota keluarganya panik, hingga Tama lebih memilih untuk membawa Glen ke rumah sakit dulu.

Kurang dari dua menit polisi pasti datang, karena Tama telah menghubungi diam-diam. Yang terpenting adalah Glen sekarang.

Si Tengah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang