Prolog

23 10 2
                                    

Hembusan angin mendayu-dayu, di pesawahan, jalak padi menggiring para petani untuk bermesraan dengan anak-anak bumi. Sementara gadis-gadis luhur budi menelusuri setapak jalan, saling bertukar cerita. Hendak mencuci pakaian di hulu sungai.

Diantara mereka ada Nayshila, tidak murni berdarah Minang, tapi masa kecilnya- tumbuh sampai dewasa di tanah Batipuh di bawah pengawasan kakek neneknya, sesepuh kampung. Tradisi dan cinta Minangkabau mengalir- mengusir darah Arabianya.

Tapi tidak untuk hari ini bahkan semenjak beberapa hari yang lalu, Nayshila enggan beranjak dari kamarnya. Gadis itu mengurung diri, menghabiskan separuh waktunya untuk belajar. Sedangkan separuh sisanya Nayshila gunakan untuk membantu pekerjaan rumah, tidak banyak, Datuk Maringgi melarang Nayshila bekerja terlalu keras. Melihat betapa besar peran Datuk Maringgi dalam hidupnya Nayshila berusaha membalasnya, mendedikasikan juga hidupnya untuk keluarga Datuk Maringgi.

Dan langkah awal yang dia ambil adalah belajar giat, mati-matian mencoba mendapatkan beasiswa kuliah di luar negri. Nayshila sudah merancang rencana, dia sebut rencana itu dengan 'mimpi besar'. Nayshila yakin andai Nayshila belajar di universitas luar negri sampai mendapat gelar disana tentu kehidupan setelahnya akan jauh lebih mudah.

Ya! Nayshila ingin menjadi seorang sarjana kedokteran jebolan universitas luar negri. Jelas akan banyak rumah sakit di kota-kota besar yang akan menawarinya ruang dokter. Mimpi itu tergambar sangat sederhana tapi Nayshila tau tak ada jalur pendakian yang lurus, semua berkelok. Semakin kuat kita mendaki ke atas maka semakin indah pemandangan yang akan kita lihat.

Luar biasa andai kita bisa menginjak puncak tertinggi. Bukan hanya panorama senja yang akan kita tangkap, bisa jadi langit-pun akan kita sentuh. Nayshila yakin ia pasti akan berhasil sebab berbekal iman dan doa tulus dari orang terkasihnya, Datuk Maringgi.

Tentang Nayshila, sekitar delapan belas tahun yang lalu, Zainab-seorang perempuan malang, jauh-jauh menyebrang benua demi masa depan keluarga, kini berakhir di gubuk kumuh, pelosok Jeddah. Ia menjerit sakit, bertaruh nyawa mengupayakan takdir hidup untuk manusia kecil yang selama sembilan bulan sembilan hari bertinggal di perutnya.

Suara kepedihan yang teredam lolongan jerit alam, entah jenis kebisingan apa yang bersorak malam itu, pada malam kelahiran Nayshila, lahir bayi mungil itu diantara jenjang kaki payah Zainab. Bayi itu menangis seakan mengerti hidupnya tak akan pernah berjalan baik.

Di hari kelahirannya, Nayshila ditakdirkan menjadi piatu. Zainab sudah cukup hebat melakukan persalinan mandiri, tanpa bantuan media yang memadai. Padahal di pusat kota Jeddah bukan hal baru saat kita menemukan hospital-hospital mewah bertengger di induk jalanan.

Zainab adalah perempuan malang, tidak ada yang mengasihinya, bahkan bapak Nayshila sekalipun datang bukan untuk menangis sesal di samping jenazah Zainab, bukan untuk mendekap hangat atau menenangkan tangis Nayshila yang terbaring ringkih kedinginan di lantai tempat kematian Zainab. Tidak! Pria bengis itu membiarkan Zainab terbujur kaku di bawah kakinya. Biadab!

Pria yang dahulu amat Zainab hormati, dengan kebaikan-kebaikan palsu pria itu menipunya, menghancurkan kepercayaannya, mematahkan penggarapannya, rasa kemanusiaan dan cinta rupanya hanya dongeng penenang yang memanipulasi kebengisan dunia terhadap seorang lemah seperti dirinya.

Pria yang dahulu amat Zainab hormati, dengan tega bernafas lega di samping jenazahnya seakan merasa puas atas kematian perempuan yang ia asingkan berbulan-bulan di gubuk penderitaan ini.

Bayi mungil yang kelaparan itu pada akhirnya ia bawa, pergi menjauhi mayat ibunya, bukan untuk dibawa pulang, pria keji itu menelantarkan Nayshila kecil di tepi jalan- agar terlihat orang-orang desa yang berlalu lalang, menyelipkan secarik kertas mengharap belas kasihan.

17 RokaatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang