08: Hampir Rubuh (2)

2 1 0
                                    

Hadwan mencuri pandang ke arah pantulan bayang Nayshila yang terpantul dari rear vision mirror.  Netranya yang selalu menyuratkan ketakutan kini berbinar senang. Cahaya dan harapan yang semestinya bertempat disana berpulang lagi. Bagai terlahir kembali sebagai bayi yang lebih suci dari apa yang digariskan Tuhan sebelumnya.

Mimpi besarnya sebentar lagi akan menjadi nyata.

“Temanku, Dokter Austin adalah salah satu pengajar disana, dia juga merupakan teman karibku dan Maysa dulu, kita pernah melewati beberapa kelas bersama. Di Universitas Oxford, Austin terkenal sebagai laki-laki yang ramah. Kau harus memikirkan baik-baik, Nay, lautan pengetahuan seperti apa yang ingin kau selami.” Nayshila termenung bukan pada tujuan ucapan Hadwan, tapi pada kisah masa lalu yang Hadwan selipkan. Pada nama yang bila menyebutkannya mampu mengundang senyuman Hadwan.

“Siapa, Maysa?” gadis itu mulai jengah, menuntut tau, dimana Hadwan menempatkan Maysa dalam hidupnya. “Dia temanku, Nay.” hanya itu. Nayshila tidak puas dengan penjelasan itu. Jelas meragu, benarkah mereka hanya sebatas teman? Atau Hadwan memang tidak ingin menceritakan sosok yang berarti dalam hidupnya. Seperti masa lalunya. Hadwan tidak ingin membagi apa yang dimilikinya.

“Apa kau ingin menjadi dokter bedah seperti diriku?” Nayshila tak menyahut masih sibuk dengan pikirannya. “Nay?” Hadwan menyadarkan Nayshila dari renungannya.

“Aku ingin menjadi seperti Maysa. Ingin menjadi sosok yang selalu kau ingat bahkan saat ketiadaannya di sampingmu.” Nayshila tak mengindahkan tanggapan Hadwan. Pandangannya ia lemparkan ke arah luar jendela. Merasa senyumnya tak berbalas, Hadwan menggenggam tangan Nayshila, menautkan keseluruhan jemarinya di setiap sela jari istrinya.

Pandangan Hadwan tetap tertuju ke arah kemudi, tatapan Nayshila-pun enggan lepas dari kebisingan kota yang dilewatinya. Gadis itu membuat sumpah, hanya akan luluh bila dibujuk Hadwan, bukan dengan sikap manisnya, perlakuan lembutnya. Nayshila ingin Hadwan terbuka padanya. Tidak boleh ada kebohongan lagi.

Naasnya, Hadwan tidak kunjung membuka suara. Baru kali ini mungkin Hadwan mengutuknya dengan perasaan sepi. Apa Hadwan sedang menghukumnya? Apa ini adalah balasan atas setiap ujaran kebencian yang dilayangkan Nayshila untuk dirinya?

“Kau tau Hadwan hatiku sedang dengan cemburu, mendengar nama perempuan lain diucap lembut oleh suamiku. Aku sedang berperang dengan prasangkaku, ia yang terus menyudutkanmu, meragukan ketulusan yang kau janjikan di hari pernikahan kita. Maysa, aku tak tau seberapa pentingnya ia di dalam hidupmu. Jujur, aku merasa tersaingi, Hadwan. Ketiadaannya saja mampu mencuri senyummu. Kau memang ada di hadapanku, tapi mengapa aku merasa hatimu dibawa jauh oleh dirinya? Tenanglah ucapanku, Hadwan! Bukanlah ia alasanmu bersujud mengemis restu Tuhan.”

Hadwan menepikan mobilnya di sisi jalan. Laki-laki itu menatap lekat netra Nayshila, kemudian meraup wajah Nayshila, mengikis jarak, saling membagi deru nafas. Hadwan mendaratkan bibirnya ke atas bibir Nayshila. Menciumnya lebih lama dari kecupan kemarin.

Nayshila merasa tenang, hilang semua gundahnya, dalam cumbuan mereka Hadwan menghapus semua keraguan Nayshila. Pembelaan yang manis, dengan bibirnya dicuri semua keresahan Nayshila.

Nayshila tidak berani berani bertindak lebih, ingat mereka tengah berada dimana. Nayshila melepaskan tautan bibir mereka. Hadwan pasrah ia tidak bisa mengingkari janjinya, Nayshila tak boleh dipaksa. Hadwan mempersiapkan hatinya untuk ikhlas, tidak menuntut balas terhadap apapun.

“Bagaimana mungkin aku mengkhianati gadis secantik dirimu. Jangan lagi bicara tentang Maysa, kupertegas, dia hanya masa laluku, pelajaran hidup bagiku. Mungkin aku tidak bisa menghilangkan jejak hadirnya dari ingatanku. Kau tak perlu cemburu, Nay, kau masa depanku, denganmu aku menjalani hidup. Masa lalu biarlah menjadi kenangan, sementara dirimu sudah aku jadikan tujuan.”

Lenyap sempurna keraguan Nayshila, tidak seharusnya Nayshila khawatir. Hadwan adalah miliknya, tiada sesiapapun yang bisa merebut Hadwan dari dirinya. Hatta itu Maysa sekalipun. Hadwan tetaplah suaminya.

“Boleh kita melanjutkan perjalanan?” Nayshila mengangguk singkat.

Mobil kelabu itu kembali mendengkur halus. Sebelum pedal gas Hadwan injak, Nayshila menyempatkan diri untuk berucap, “jangan hadirkan peran ketiga dalam cerita kita. Risalah hidup ini hanyalah kita yang berhak menjalaninya.”

Hadwan tersenyum, menyanggupi.

Mereka melanjutkan perjalanan, melesat mobil itu menuju Universitas Van Amsterdam. Tidak memakan waktu panjang, sekitar dua puluh menit setelahnya mereka sampai. Hadwan menghubungi seseorang, berbicara dalam bahasa asing. Tak berselang lama dari putusnya sambungan televon itu, datang seorang pemuda berlari kecil menghampiri mobil mereka.

Rupanya bukan pemuda, tetapi lelaki paruh baya, berpakaian rapih menunjukkan eksistensi dalam dunia pendidikan. Dia adalah Dokter Austin. Hadwan keluar dari mobil disusul Nayshila. Hadwan yang membukakan pintu untuk Nayshila.

“Selamat datang sahabat lamaku!”

Mereka berjabat akrab, jarang bertemu, sibuk dengan kesibukan masing-masing. Ambisi Hadwan mengembangkan Darus Syifa dan kursi pengajar Dokter Austin yang telah membuatnya nyaman. Sesekali mungkin Dokter Austin memenuhi panggilan tugas. Mengeja keadaan dengan memahami bahasa tubuh mereka. Yang mati. Dokter Austin banyak membantu kasus-kasus besar, menjadi terkenal tidak  membuatnya sungkan datang ke Darus Syifa bila sahabatnya meminta bantuan.

“Siapa gadis anggun ini, Hadwan?” Austin baru menyadari sosok asing yang berada di dekat Hadwan. Ia lihat gadis itu datang bersamanya. “Dia saudariku, Nayshila.”

Nayshila tersentak kaget, Hadwan kembali berbohong, ingkar cumbuannga barusan. Menyesal Nayshila, mengala dia tidak menampar Hadwan saja? Mengapa Nayshila malah memejam mata menikmati lembut bibir Hadwan?

Apa se-dina itukah Nayshila sampai Hadwan tidak sudi mengakui dirinya? Saudari dia cakap? Tega sekali Hadwan menyaki hatinya. Menambal luka dengan luka baru.

“Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, kukira dia adalah kekasihmu. Hampir saja aku menghajarmu, sampai benar kau menyakiti sahabatku, Maysa. Kan kubuat tubuhmu tercabik. Aku hancurkan hatimu yang tak berperasaan, menyia-nyiakan seorang yang rela kau buat menunggu.” sekarang apa Nayshila masih boleh mempercayai Hadwan? Benarkah Maysa hanya sebatas bagian dari masa lalunya?

Nayshila menunggu jawaban Hadwan, lancang berharap Hadwan mengoreksi ucapannya. Membetulkan. Pengakuannya barusan hanya sekedar gurauan antar teman kecil. Sayangnya, ucapan Hadwan selanjutnya malah semakin membuat Nayshila sakit. Yan mendengar ucapan Hadwan adalah telinganya, yang menunjukkan reaksi malah netranya.

Luruh ketegaran Nayshila, ia menangis, cepat Nayshila mengusap kasar jejak air matanya. Beruntung tidak ada yang menyadari rintik sendu gadis tersebut. “Aku dan Maysa ingin membuktikan kepada orang-orang tidak ada penantian yang sia-sia. Jarak hanyalah angka, mudah terkikis dengan doa. Biarlah kita memupuk rindu, menjalankan peran masing-masing. Maysa adalah Hawa, separuh ragaku, sedang aku adalah Adam, pelengkap hidupnya. Kita anggap perpisahan ini sebagai ujian cinta, tak menyerah, seperti Adam dan Hawa yang tidak minta diberi pengganti. Tujuh tahun dilindung janji dan kesetiaan. Di Padang Arafah mereka kembali bertemu didapat sudah restu dari Tuhan, untuk tetap bersama, menunggu jemputan maut.”

“Aku lega masih sedalam itu kau mencintai Maysa.” Hadwan tersenyum dengan bentuk lengkungan baru. Nayshila sulit mengartikannya. “Bukan ini tujuan kita datang kemari, bukan untuk terus membahas kekasihmu.” Nayshila menegur.

“Kau benar!” selayar pandang Hadwan menatap Nayshila. Atensinya langsung beralih pada Dokter Austin. “Teman, aku ingin mendaftarkan adikku disini. Aku oercayaKau bisa mengurus semuanya dengan mudah.”

“Kau datang pada orang yang tepat, Hadwan! Tapi ini tidak gratis. Kau harus mentraktirku secangkir kopi di kedai sebrang. Aku juga rindu kebersamaan kita dulu.”

Hadwan melirik Nayshila, meminta persetujuan. Dasar brengsek! Dia sama sekali tidak berbasa-basi mengajak Nayshila. Benarlah, Hadwan tidak ingin menyangkut pautkan Nayshila dalam cerita masa lalunya. Hadwan hanya menjebak Nayshila di lembar baru cerita hidupnya. Lembar-lembar bersama Maysa, yang menautkan dirinya, tak boleh diusik Nayshila. Beginilah konsekuensi bersama dengan seorang yang belum selesai dengan masa lalunya?

Paragraf tentang Maysa masih belum berakhir titik. Bab baru sudah Hadwan tulis bersama orang lain. Cerita Maysa masih ia gantungan, tidak mau diakhiri.

Apa Nayshila masih punya hak untuk melarang kepergiaan Hadwan? Jelas tidak. “Pergilah, Hadwan, biar aku tinggal disini, melihat-lihat.” Hadwan melenggang begitu saja tanpa kata pamit. Tidak terlihat penyesalan dari raut wajahnya.

Hadwan berubah sekejap mata, Hadwan yang meninggalkannya berbanding sekali dengan Hadwan yang enggan berangkat bekerja pagi tadi. Nayshila berusaha acuh pernikahan mereka-pun hanya sementara. Hadwan sudah cukup baik membantu Nayshila merakit kembali mimpi yang sebelumnya dia hancurkan.

Nayshila juga beranjak pergi, entah kemana, langkahnya yang mengikuti arah angin. Tidak lama Nayshila berhenti di depan sebuah bangunan yang menjulang megah, masih di dalam kawasan universitas. Atensi Nayshila merinci- mencari apa yang sekiranya dapat mengisi waktu kosongnya. Menunggu kepulangan Hadwan.

Netra kelam Nayshila mengunci netra pekat seorang lelaki, sedetik perhatiannya tak bisa dibagi, dicuri semua oleh pemilik mata langit malam itu. “Finn?” Nayshila bergumam lirih, semilir angin yang berhembus di celah ruang antara Finn dan Yazfar. Finn bernafas lega Nayshila masih mengenalinya. Secepatnya ia menghampiri Nayshila. Mengajak Yazfar.

“Janji sudah kupenuhi, kita kembali bertemu, Nayshila.” gadis itu tersenyum manis, terlupakan sebentar lukanya sebab kehadiran Finn. Aneh terbilang, Finn selalu datang di saat ia terkurung dalam keadaan bingung.

“Apa yang membuatmu datang kemari?”

“Saya mendaftarkan diri menjadi seorang mahasiswi kedokteran di universitas ini.” belum terlambat, tawaran beasiswa itu belum sepenuhnya Finn tolak. Bolehlah sesekali Finn berpihak pada Tuhan Yazfar, masih ada sepercik kebaikan pada-Nya. Dia yang memiliki kuasa untuk mengatur. Bila benar pertemuan Finn dan Nayshila adalah buah dari campur tangan Tuhan, maka sungguh amat manis Tuhan merancang jalan takdirnya.  Finn imani takdir, tidak ada kebetulan di dunia ini.

“Betulkah apa yang kau ucap? Sungguh, Nay, aku tidak menyangka kita akan berada di satu universitas yang sama. Aku-pun mendapat beasiswa disini. Bercita-cita pula sepertimu, aku ingin menjadi seorang dokter.” Kalimat itu terlontar karena desakkan hatinya, kerinduannya untuk dekat dengan Mazaya, meski bertentangan dengan sumpahnya- membuang jauh mimpi masa kecilnya. Bila hanya dengan membutakan luka Finn dapat kembali bersama dengan Mazaya, Finn rela melakukannya!

“Senang saya mendengarnya, saya memiliki teman untuk berbagi cerita.” lapang hatinya menerima kehadiran Finn. Laki-laki itu mampu menjadi kelegaan baginya.

“Finn, kau tidak bicara sebelumnya kalau kau mendapat beasiswa di universitas ini. Kau mendahuluiku, Finn. Tak apalah, aku turut berbahagia. Setelah semua luka yang kita lalui pada akhirnya kita berhasil mendapatkan apa yang kita impikan. Tamat aku belajar di Universitas Al-Azhar, menyelam sampai ke dasar lautan pemahamanku terhadap agama ibu. Kini kau dan beasiswamu, percis seperti apa yang kita cita-citakan dahulu. Kebahagiaan ini harus dirayakan, Finn!” Yazfar unjuk diri, akhirnya punya tempat untuk bicara. Sayang, Finn tak menggubrisnya.

Berbeda dengan Nayshila yang ikut antusias tertular semangat Yazfar, “benar, kebahagiaan ini harus dirayakan. Berpijak disini juga adalah mimpiku, Finn.”

“Jangan terburu-buru mengadakan perayaan besar, menyambut keberhasilan kecil kita. Bagimana kalau kita sambut dengan pesta sederhana saja? Masih banyak keberhasilan hebat yang menanti untuk kita rayakan. Kulihat di sebrang jalan sana ada sebuah kedai kopi, kau mau, Nay, kuajak kesana?” Nayshila menolak cepat.

Dia tidak berhak beranjak tanpa seizin Hadwan, begitulah adab yang Nayshila dapat dari Ramlah. Meskipun Ramlah tidak pernah bertutur lembut di hadapan Datuk Maringgi, dia tidak pernah menangguhkan hak-hak Datuk Maringgi. Ramlah masih ta’dzim padanya, melakukan semua pekerjaan rumah dan kewajiban lainnya sebagai seorang istri.

Tidak pernah sekalipun Ramlah keluar dari rumah tanpa izin suaminya. Tidak pernah dia melanggar perintahnya atau mengerjakan sesuatu yang Datuk Maringgi benci.

Wanita itu ternyata amat sabar, menerima segala keputusan Datuk Maringgi meski dengan berberat hati tak peduli itu adalah hal yang bertentangan dengan prinsipnya. Ramlah ridho atas semua perlakuan Datuk Maringgi, tidak pernah terbesit sedetik-pun niat untuk pergi dan meninggalkan suaminya.

Padahal bila mau dia mampu, seperti waktu itu, jauh dari usia senjanya, saat Ramlah masih wanita muda. Ceritanya sepulang dari Bukit Tinggi Datuk Maringgi membawa seorang bayi bersamanya, dia adalah Nayshila. Bayi malang yang diperdangangkan. Datuk Maringgi rela menukar bayi ringkih itu dengan seluruh letak sawahnya di Batipuh. Datuk Maringgi jatuh hati sekali pandang pada gemas wajah bayi tersebut.

Datuk Maringgi ingin menghadiahkan bayi bernama Nayshila itu untuk istrinya yang amat mendambakan keturunan. Kanker rahim yang diderita Ramlah membuta harapannya menjadi seorang ibu pupus begitu saja. Tapi Ramlah tidak menyambut hangat kedatangan Nayshila ke dalam rumahnya. Bukan karena ia takut jatuh miskin. Ramlah takut hidup Maringgi menjadi sulit, tanpa sawah-sawahnya nanti. Bagaimana masa tuanya? Waktu yang seharusnya menjadi waktu istirahat Maringgi. Terduduk santai mereka tinggal menikmati jerih dari usaha mereka semasa muda. Menatap langit senja di pekarangan rumah mereka, menunggu giliran ajal.

Ramlah sudah ikhlas sebenarnya terhadap perlakuan takdir. Biarlah tak memiliki anak, hidup terpencil, jauh dari sanak kerabat. Ramlah kembali pada tujuan awalnya setelah diperistri Datuk Maringgi, menemani Datuk Maringgi dalam setiap keadaan, baik senang ataupun malang, beranak banyak ataupun tidak. Mereka akan tetap berakhir berdua. Anak, bukan pencapaian hidup bagi Ramlah.

Sayang, Datuk Maringgi berbeda paham, ia menaruh cinta dan iba di tempat yang sama. Mengajak Nayshila ke dalam hidup Ramlah, suatu kesalahan! Ramlah bangun rumah penuh kebencian, dendam ia pada Nayshila, berkorban banyak Datuk Maringgi untuk menghidupi Nayshila. Menurut Ramlah, bayi kotor itu telah menyusahkan belahan jiwanya. Datuk Maringgi.

Belum genap dua tahun Nayshila bernaung di rumah mereka, habis semua tabungan Datuk Maringgi, ia tidak punya lagi sawah yang mampu menghidupi keluarganya. Karena terlilit keadaan, pria itu terpaksa memboyong keluarga kecilnya ke tempat yang lebih layak dihuni keluarga miskin itu. Bukan Batipuh yang kental dengan kesenjangan sosial. Mungkin, Padang Panjang. Meninggalkan Batipuh, Datuk Maringgi dan Ramlah seperti Adam dan Hawa yang terusir dari surga. Sebab melakukan satu kesalahan, bukan memakan buah keabadian, tapi mengasuh sebuah dosa, anak dari hubungan gelap, mereka yang harus menerima hukuman Tuhan.

Mengasuh Nayshila dengan dengki, cinta Maringgi yang terbagi. Nayshila kenyang mengenyam pendidikan, satu hal yang langka bagi gadis kampung se-melarat dirinya.  Percuma, tetap hampa dirinya tak mendapatkan pengajaran hidup, ilmu yang tak bisa ia temukan di bangku sekolah, sedikit bisa dicuri dengan mengamati Ramlah.

Tidak mencukupi sebenarnya, beruntung Rina, mau merampungnya.

“Kau menolak ajakanku?” Nayshila merasa tak enak, tidak! Nayshila tetap tidak bisa pergi bersama Finn dan temannya. Dia takut malaikat melaknat setiap tapaknya yang melangkah tanpa ridho dari suaminya.

Nayshila berusaha mencari alasan yang dapat dimaklumi Finn. “Aku masih sibuk mengurus berkas-berkasku, tenanglah, setelah ini kita punya banyak waktu untuk bersama.” benar juga! Ikhlas Finn atas penolakan Nayshila.

“Baiklah, kami pergi dulu, hari sudah mulai gelap, sampai bertemu kembali, Nayshila!” usai melambaikan perpisahan paling manis keduanya melenggang pergi. Semesta tak merestui Hadwan dan Finn bertemu, untuk saling mengenal. Percis seperti yang berlaku di Fatih Moske, berselang sebentar dari kepergian Fiinn, Hadwan datang menghampiri Nayshila dengan wajah berseri, raut tak berdosa.

Hadwan berjalan seorang diri tidak ditemani Dokter Austin, di tangannya terdapat beberapa berkas, acuh Nayshila padanya, acuh pula Nayshila terhadap ‘bagaimana Hadwan bisa menemukan dirinya?’ di hadapan Nayshila Hadwan memperlihatkan berkas-berkas itu. “Minggu depan semester baru dimulai, kau sudah bisa bergabung disini. Setiap pagi aku akan mengantarmu, bila kelasmu sudah selesai, hubungi aku, aku akan menjemputmu atau Emran, bila kesibukanku menghalangi. Sebisa mungkin aku tidak akan membiarkanmu sendirian!”

“Terima kasih.” Nayshila menjawab singkat, Hadwan mengerti betul dengan apa yang sedang terjadi. “Kau marah padaku, ya, atas kebohonganku tadi?” Nayshila tidak mengindahkan pertanyaan Hadwan. Delapan tahun laki-laki itu hidup di dekat Maysa ia benar-benar hafal bahasa perempuan, seperti ketika kita bertanya ‘kau marah?’ dan dia tak menjawab berarti kau telah melakukan kesalahan.

“Boleh aku menjelaskan?” bibir Nayshila masih terkatup rapat. Sekarang dia muak terus disuapi kebohongan. Hadwan tidak menyerah begitu saja, membujuk seorang gadis yang merajuk. “Kalau kau tetap diam, aku tidak segan untuk menciummu!”

Nayshila mendecak kesal. Terpaksa memasang telinga untuk kembali mendengarkan kebohongan Hadwan. “Aku lupa, aku punya hadiah untukmu!” dikeluarkannya kalung pemberian Attar kemarin. Hadwan pasangkan kalung itu di leher jenjang Nayshila.

Sial, Nayshila mudah luluh dengan keindahan!

“Kau tau, Nay, pernikahan kita yang tiba-tiba, sulit, bukan hanya bagimu, bagi lingkunganku juga. Tak mudah mereka menerima pernikahan ini. Kalau aku tergesa memperkenalkanmu sebagai istriku, mereka akan menyimpulkan hal yang tidak-tidak, tolong hargai reputasiku! Mereka yang berada di pihak Maysa-pun pasti akan membenci keberadaanmu. Beri aku waktu, Nay, untuk menjelaskan pada mereka tentang kita.” ujar Hadwan dengan nada memohon.

“Kau bilang Maysa hanyalah temanmu tapi mengapa seakan kehadiranku menggeser posisinya? Bila benar hanya teman mengapa kau seyakin itu aku akan dibenci lingkunganmu dan Maysa?” Hadwan menyelipkan anak rambut Nayshila.

“Siapapun Maysa, dia hanya masa laluku, Nay, siapapun Maysa, kau berhasil merebut tempatnya, di dekatku, di hatiku. Kau adalah gadis pilihanku! Tengoklah jari manismu, melingkar disana cincin pernikahan kita! Nay, di hadapanmu Maysa bukanlah siapa-siapa lagi.” tentram hati Nayshila, untuk apa merasa terancam dengan cerita masa lalu Hadwan? Nayshila lebih unggul dalam hal apapun.

“Bicaralah, Nay, jangan menyiksaku dengan diam-mu! Aku benar-benar minta maaf!” bukan pada Nayshila ia berucap, khayalnya membayangkan sosok Maysa. Hadwan menyapu lembut wajah tambatan hatinya, entah bermaksud pada siapa sebenarnya.

“Kau berhak marah padaku, aku ikhlas bila hal itu membuatmu lega.” Nyeri ulu hatinya, bukan pada Nayshila Hadwan mengemis maaf. Ia tidak menemukan dirinya di netra satu Hadwan. Ada sosok lain yang terperangkap disana. Mungkin Maysa.

Perkataan yang berbanding dengan apa yang diucapkan Hadwan sebelumnya, Nayshila menarik nafas dalam-dalam kemudian tersenyum dengan penuh kerelaan. “Aku istrimu, Hadwan, aku menerimamu dengan segala celah dan salahmu. Tanpa kau memohon-pun, ridho aku atas semua perlakuanmu. Kesalahan-kesalahanmu sudah aku maafkan.” Cepat Hadwan menyadari bukan Maysa yang menjadi lawan bicaranya. Dia adalah Nayshila, istrinya.

‘Ya Allah mengapa sulit menghapus bayang Maysa dari lamunanku?

17 RokaatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang