05: Wujud Sebelum Sujud (1)

12 8 1
                                    

Lembayung senja yang menenangkan, semilir angin yang menerbangkan ujung jilbab Maysa. Cahaya langit yang meredup. Semua kembali dari tualangnya. Matahari yang beranjak dari singgasananya, pulang menuju peraduan, pun anak-anak burung yang hari ini baru belajar menjelajahi angkasa. Mereka kembali ke rumahnya, pelukan ibundanya. Dan Maysa, naasnya ia masih terjebak di jantung ibu kota. New York yang enggan lenggang, bergelut Maysa dalam lingkar setan, kesibukan duniawi yang tak bertepi.

“Sus, berapa lagi yang tersisa?” seorang perempuan paruh baya melongok ke luar jendela, “delapan atau sembilan orang lagi, Dok.” Maysa menghela nafas kasar. “Selalu pulang larut!” ia menggerutu.

“Maaf, Dok, akhir-akhir Dokter terlihat tak bersemangat. Apa Dokter sedang ada masalah?” Maysa meluruskan sebuah bingkai foto ke ranah pandangnya. Bingkai yang sudah terpatri lama di atas meja kerjanya.

“Dibawa separuh hidupku olehnya, Sus. Dia yang membentangkan jarak entah apa alasannya.” Maysa tidak kuasa, Maysa ambil bingkai tersebut. Potret seorang laki-laki yang selama delapan tahun terakhir ini mengisi hatinya. “Mengenyam pendidikan tinggi, mendapatkan gelar cumlaude dari salah satu universitas terbaik di Eropa tidak bisa menjamin pemahamanmu terhadap perasaanmu sendiri. Aku tidak bisa menjelaskannya, Sus. Hanya sakit yang aku rasakan. Bagaimana aku bisa meneruskan hidup tanpa seorang yang kuanggap sebagai nafasku?”

“Apa kita sedang membicarakan Dokter Hadwan?” Maysa tersenyum kecut, “ya, Sus, bukan berharap, dia yang memang pergi dengan sebuah janji ‘cepat atau lambat aku akan datang kembali untuk menjemputmu.’ Sus, aku terjebak dalam bayang senyumannya saat ia menggenggam tanganku di bandara dua tahun lalu.” Maysa meletakkan kembali potret Hadwan ke tempat semula.

“Dia menyuruhku untuk tetap disini, mengembangkan rumah sakit yang kita bangun dari uang tabungan kita. Benar katamu, akhir-akhir ini pikiranku diusik. Apakah dia hanya ingin mengasingkanku? Apakah dia tidak lagi ingin melibatkanku dalam setiap urusannya?”

“Aku mengenal baik Dokter Hadwan, aku rasa dia bukan tipikal laki-laki yang ikrar kemudian mengingkar. Tenanglah, Dok, aku yakin Dokter Hadwan akan segera kembali. Bagaimana aku bisa seyakin ini? Jelas sebab sejauh apapun seorang berkelana, menapaki jalan kehidupan, tempat berpulangnya tetaplah rumah.”

“Aku harap semua yang kau katakan benar, Suster Atikah.” Maysa mengusap lembut potret belahan jiwanya. “Hadwan, aku menantimu dengan penantian paling setia, penantian Hawa dan Zulaikha.”

Sesuai dengan permintaan Hadwan, Maysa akan menantinya dengan penantian Hawa dan Zulaikha. Seperti Hawa yang tidak meminta pengganti, berpisah dengan sang kekasih, mereka saling mencari, menanti sebuah temu dengan harapan dan kesetiaan. Pun Zulaikha yang begitu tabah dengan perpisahan. Ia terus memperbaiki diri, sabar menanti restu Tuhan Yusuf sampai benar pantas Tuhan sandingkan Zulaikha dengan tambatan hatinya, Yusuf Alaihi Salam. Bertahun-tahun kerinduannya pada Yusuf. Terganggu tidur Zulaikha. Setiap malam hanya wajah Yusuf yang terbayang.  Dari kemungkinan sekecil apapun, bila Tuhan berkehendak, dibawanya kembali Yusuf ke hadapan Zulaikha. Tuhan telah merestui mereka.

Maysa akan menanti Hadwan, ya, benar, semua yang pergi akan kembali pulang. Tugas Maysa sekarang adalah membangun rumah paling nyaman untuk Hadwan. Agar penatnya semua diobati oleh Maysa, oleh kebersamaan mereka, kelak.

****

“Selamat datang di rumah, Nyonya Nayshila!” Hadwan membentangkan tangannya di hadapan Nayshila. Ia memperlihatkan sebuah rumah yang megah nan teduh di pesisir kota Amesterdam.

Pandangan Nayshila menyisir segala penjuru, udara sejuk berhembus dari pohon-pohon rimbun yang berada di pekarangan rumah. Membentuk seperti taman kecil dengan banyak bunya edelweis.

17 RokaatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang