04: Tuhan Di Bawah Pandangan Hamba (2)

12 8 1
                                    

"Maaf aku...”

“Segala kesalahanmu sudah aku maafkan,Nay, bukan padaku kau harus meminta maaf, tapi pada Tuhanlah, Nay, kau seharusnya memohon ampun.” Nayshila harusnya bersyukur bisa memiliki seorang suami yang begitu baik bermuamalah kepada Tuhan, tapi mengapa sulit sekali hatinya menerima Hadwan? Pernikahan mereka yang tak berandaskan cinta, mengapa pun sulit sekali bagi Nayshila untuk belajar mencintai Hadwan?

“Momen ini akan menjadi sangat berkesan bagiku. Untuk  kedua kalinya aku sholat bersama denganmu, Nay, meskipun di mengajakmu shalat subuh berjamaah, kau hampiriku kemudian untuk menjadi makmum dalam sholat tahajudku. Sekarang, Nay, aku bisa membawamu ke Fatuh Moske, salah satu keajaiban Islam di negeri Eropa. Aku bisa membawamu shalat dzuhur disini, Nay!”

“Aku berharap setelah sempurna kita kerjakan salat maktub bersama, tujuh belas rakaat. Kau bisa menerimaku sebagai imammu, suamimu, kau bisa mencintaiku dan mencintai pernikahan kita.”

Nayshila tidak bergeming, tidak menyahuti ungkapan hati Hadwan. Tidak! Nayshila tidak benar-benar diam, hati kecilnya membontaran amin. Sebuah rahasia hati, siapa yang akan menyangka para malaikat berebut mengangkat doa Hadwan karena doa itu dibekali sayap-sayap yang pada setiap helainya tercipta dari air mata Nayshila. Amin tulus Nayshila yang kemudian mengukuhkan sayap-sayap itu.

Rahasia hati Nayshila tiada yang tahu selain Tuhan, Hadwan hanya manusia biasa, ia bisa terluka, bisa kecewa. Sebegitu bencinyakah Nayshila hingga Nayshila tidak sudi mengamini harapannya? Hadwan sadar, bersama Nayshila ia pasti terluka, tapi meninggalkan Nayshila setelah seluruh jiwanya dipersembahkan untuknya- apakah Hadwan akan hidup bahagia? Tanpa jiwanya, raganya tak lagi bernyawa.

Membentangkan keikhlasan seluas-luasnya, mendidik hatinya untuk selalu tabah. Hadwan tidak boleh membatasi kesabarannya, ada ikrar yang tak bisa ia langgar pada Tuhan, pada Datuk Maringgi.

“Nay.” Hadwan kembali memanggil kali ini dengan suara yang sangat lebih lirih.

“Bolehkah aku minta kesempatan?”

“Kesempatan untuk apa?

Hadwan menarik kedua sudut bibirnya- membentuk lengkungan sabit, tersenyum. Hadwan selalu memulai dialog bersama Nayshila dengan senyuman. Hadwan juga tidak bisa terus memaksa Nayshila, dia tidak boleh egois! Tidak ingin bahagia sendirian atas kebersamaan mereka yang menjadi luka bagi Nayshila.

“Kesempatan untuk membuat jatuh cinta meski sekedar hanya pada pernikahan kita. Tangguhkan lah perceraian kita, bila tujuh belas rokaat kita sudah kerjakan bersama dan kau belum bisa menerima tulus pernikahan kita aku akan melepaskanmu sebaiknya saat aku menikahimu.”

“Tersisa lima belas rakaat lagi, bersabarlah sedikit.”

“Bukan lima belas, tapi sebelas.”

“Kau pandai menghitung, sial! Aku tidak bisa berbohong. Baiklah sebelas rakaat lagi setelah itu kau bebas.” Nayshila berdecak kesal, cukup Hadwan, jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu sakit!

“Kau menyerah sebelum mencoba, jadi untuk apa aku memintaku memberimu kesempatan? Setidaknya sebelum sempurna tujuh belas rakaat kita kerjakan, jangan pernah bicara tentang perceraian!” sepakat. Nayshila dan Hadwan meneguhkan hati mereka agar bisa menerima kemungkinan paling buruk di akhir cerita mereka. Perpisahan yang ditangguhkan waktu. Hadwan membuang jauh mimpinya kecilnya, menunggu maut bersama Nayshila di bawah lindung redup langit Kinderdijk.

“Kita jadikan Fatih Moske sebagai bagian yang bisa kita kenang setelah perpisahan kita nanti.” Nayshila enggan berkomentar, Hadwan-pun tidak menunggu Nayshila menanggapi. Mereka masuk ke dalam masjid, berpisah, Hadwan meninggalkan Nayshila- menghilang bersama para jamaah laki-laki. Sedang Nayshila memakai mukena dan mengambil posisi di balik satir pemisah.

17 RokaatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang