03: Tuhan Di Bawah Pandangan Hamba (1)

8 8 1
                                    

Hembusan angin lembut menerpa wajah Finn, anak-anak rambutnya bergoyang ringan mengikuti irama tarian udara yang dimeriahkan dengan pertunjukan langit. Kemegahan senja, maha karya Tuhan yang Agung.



Finn membaringkan sepedah tuanya, di sisinya di atas hamparan rumput yang juga ikut bergoyang. Lamat-lamat ia tatap kesenjangan semesta. Langit indah yang tak bisa dinikmati tuna netra. Riak air sungai di hadapan Finn hanyalah kekosongan bagi mereka yang tidak bisa mendengar.



Bukan kesenjangan semesta, ini lebih pantas disebut dengan ketidak adilan Tuhan. Mengapa Tuhan membiarkan mereka hidup bila hidup mereka hanya dibebani derita? Apakah begini cara Tuhan tertawa?



"Finn.." suara Nyonya Xafia, Finn segera bersembunyi di balik semak belukar, Finn merutuki kebodohannya. Mengapa hanya dirinya yang bersembunyi? Mengapa Finn membiarkan spedahnya tergeletak di sana? Ah, sial! Nyonya Xafia mengenali sepedah itu. Nyonya Xafia bersedekap dada sembari berpura-pura memasang wajah marah. "Malam ini tidak ada gulai ayam untuk anak nakal!"



"Gulai ayam!?" spontan Finn berteriak antusias, Nyonya Xafia berusaha meminimalisir suara tawanya. Tidak! Dia meredamnya, digigit bibir bawahnya kuat-kuat. Nyonya Xafia kembali memasang wajah yang tak bersahabat.



"Ya! Nayshila sedang berulang tahun, aku memasak gulai ayam untuk merayakannya. Kau, untuk apa ikut senang? Aku tidak mengundang anak-anak nakal ke pesta ulang tahun putriku!"



Runtuh pertahanan Finn, goyah tekadnya untuk terus bersembunyi dari Nyonya Xafia. Aroma lezat yang menyerbak dari mangkuk gulai.. Nyonya Xafia punya senjata rahasia. Finn suka rela terjerat dalam jebakan wanita itu.



Sedetik kemudian kepala Finn menyembul dari balik semak-semak, bocah yatim itu menunduk dalam, "maafkan aku, Nyonya. Aku meminjam sepedah Amora dan pergi bermain tanpa seizinmu."



"Aku mendengar cerita yang lain!" sia-sia! Finn tidak dapat berbohong di hadapan Nyonya Xafia, ada Mora- si setan kecil yang selalu membisikkan kejujuran kepada wanita itu, "baiklah, aku mengaku! Aku merebut sepedah Amora saat dia sedang sibuk memetik bunga edelwish. Dia menangis, menerimaku namaku tapi tidak aku indahkan. Aku melanggar janjiku, aku kembali ke tempat ini untuk tujuan yang sama, berdebat dengan Tuhan."



"Kali ini apa yang kau perdebatkan?"



Finn mengangkat wajahnya, "Tuhan tidak adil, Nyonya! Keindahan langit hanyalah gulita bagi orang buta, gemercik air sungai yang menenangkan adalah kehampaan ruang bagi mereka yang tidak bisa mendengar. Aku penasaran dengan apa Tuhan menina bobokan mereka di atas sampan koyak yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan mereka. Mengapa mereka diam menerima segala takdir buruk tanpa membantah keagungan tuhan? Mengapa mereka tidak sepertiku?"



"Bagaimana kalau kita ubah pertanyaannya? Mengapa kau tidak seperti mereka?" Finn berdecih pelan, "takdir buruk mana yang harus kuterima? Takdir yang menjadikanku yatim? Takdir yang berlaku, ibu yang seharusnya menjelma sebagai serupaan malaikat itu telah mencampakkkanku. Aku tidak akan pernah lupa cerita kecilku, katamu, aKau menemukanku tergolek tak berdaya bagai boneka usang yang ditinggalkan pemiliknya yang mulai beranjak dewasa. Aku anak terbuang, Nyonya. Tuhan dusat, kepadaku saja- bayi nestapa, ia tega. Dicegah semua bahagia menghampiriku!"

17 RokaatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang