### Mulai redupnya harapan
"Chik, gua sudah bereskan semuanya di sini. Sekarang mereka akan mulai operasinya,"
suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.
"Tenang, Git. Ibumu akan baik-baik saja. Mereka dokter-dokter terbaik, huhuhu- hu hik-hik" suara Chika yang awalnya ingin menguatkan sahabatnya tapi dia lupa, jika dia juga cengeng.
Waktu seakan berhenti saat dia menunggu kabar dari ruang operasi. Setiap menit terasa seperti berjam-jam. Hanya doa yang tersisa, berharap keajaiban akan datang. berada di tangan Tuhan dan tim medis. Dan dia hanya bisa berharap, berdoa, dan menunggu keajaiban itu terjadi.
### Keadaan Gito dan Chika
Gito dan Chika duduk di ruang tunggu rumah sakit yang sepi, hanya terdengar suara gemerincing alat medis dan dering telepon dari kejauhan. Lampu-lampu neon memancarkan cahaya dingin yang memantul di lantai marmer putih.
Di sudut ruangan, jam dinding berdetak pelan, namun setiap detaknya terasa begitu lambat, seolah-olah waktu sendiri sedang terjebak dalam kecemasan yang tak tertahankan.
Gito duduk di kursi dengan punggung membungkuk, kepalanya tertunduk. Tangannya menggenggam erat satu sama lain di pangkuannya, mencoba menahan getaran yang tak bisa dia kendalikan.
Dia memejamkan mata, merasakan seluruh tubuhnya tegang. Setiap detik yang berlalu seolah-olah menyeretnya lebih jauh ke dalam jurang ketidakpastian. Di kepalanya hanya ada satu pertanyaan yang berputar tanpa henti: "Apakah Ibu akan baik-baik saja?"
Di sebelahnya, Chika duduk dengan kedua tangannya menutupi wajah. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Dia berusaha keras untuk tidak terisak, tapi setiap kali dia menghela napas, isakan kecil tetap keluar.
Suasana hati Chika kacau, antara ingin menguatkan Gito, tetapi hatinya sendiri hancur melihat sahabatnya dalam kondisi seperti ini.
"Gi... Gito, gua yakin Ibu lu kuat. Dia pasti bisa melewati ini," kata Chika dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dia menoleh ke arah Gito, mencoba tersenyum, meski air mata tak kunjung berhenti mengalir di pipinya. Gito menoleh padanya, berusaha menanggapi, tapi dia hanya bisa mengangguk pelan. Kata-kata seolah hilang dari bibirnya.
Chika menghapus air matanya dengan cepat, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia ingin kuat untuk Gito, ingin menjadi tempat sandaran.
Tapi saat melihat Gito yang begitu hancur, dia tidak bisa menahan perasaannya lagi.
"Maaf, Gi... gua... gua seharusnya tidak menangis," suaranya pecah. Tubuhnya gemetar, dan tanpa bisa ditahan lagi, dia mulai menangis lebih kencang. Tangisannya penuh dengan rasa cemas, takut, dan sedih yang tertahan.
Gito merasakan tangannya gemetar lebih kuat. Dia ingin menenangkan Chika, tapi kata-kata tidak bisa keluar.
"Tidak apa-apa, Chik," katanya pelan.
"Lu sudah banyak membantu gua." Suaranya terdengar lelah, seolah dia berbicara sambil menahan beban berat di dadanya.
Chika menunduk, terisak-isak lebih keras, merasa bersalah karena tidak bisa menahan emosinya. "Tapi... tapi gw tidak bisa melihat lu seperti ini, Git. Ini... ini terlalu berat."
Gito hanya menggeleng, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Dia meraih tangan Chika, menggenggamnya erat. "Gua harus kuat saat ini, kalau gua nyerah gua akan kehilangan satu satunya keluarga gw. Dan gw gak mau itu terjadi."
### Ketegangan Saat Operasi Berlangsung
Setiap menit terasa seperti jam bagi mereka. Ketika operasi dimulai, seorang perawat keluar dan memberi tahu mereka bahwa operasi bypass sedang berlangsung.
"Kami akan melakukan yang terbaik. Ini operasi yang kompleks, tapi kami punya tim ahli," katanya sebelum kembali ke ruang operasi.
Gito menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi setiap detik yang berlalu membuat kecemasannya semakin menumpuk. Dia menggenggam tangannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia terus memejamkan mata, berdoa dalam hati, berharap keajaiban datang.
Chika duduk di sebelahnya, masih dengan wajah yang ditutupi kedua tangannya. Isakannya sudah sedikit mereda, tapi tangisannya masih mengguncang tubuhnya.
Dia mencoba berpikir positif, membayangkan Ibu Gito keluar dari ruang operasi dengan senyuman di wajahnya. Namun, bayangan-bayangan buruk terus menghantui pikirannya.
Dia ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan Gito, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia hanya bisa meraih tangan Gito, menggenggamnya erat, dan mereka saling menguatkan dalam diam.
Jam dinding berdetak pelan, tapi bagi Gito dan Chika, setiap detiknya terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ketegangan melingkupi mereka berdua. Pikiran Gito terus-menerus kembali ke dokter yang mengatakan bahwa ini adalah operasi yang kompleks dan berisiko tinggi.
Dokter telah menjelaskan bahwa mereka akan membuat bypass untuk arteri yang tersumbat parah dan memasang stent untuk menjaga arteri lain tetap terbuka. Jika salah satu langkah ini gagal, maka nyawa ibunya dalam bahaya.
Gito merasakan tubuhnya lemas. Dia ingin berlari ke ruang operasi, ingin tahu apa yang sedang terjadi, tetapi dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu dan berdoa. Dia menunduk, air mata yang dia tahan akhirnya jatuh. Perasaan tak berdaya itu begitu menyiksa.
Chika, melihat Gito menangis, tidak bisa lagi menahan tangisannya.
"Gi...," suaranya parau, "semua akan baik-baik saja, kan?" Tapi dia sendiri tidak yakin. Dia hanya bisa berharap kata-katanya benar.
"Harus, Chik. Harus," kata Gito dengan suara yang hampir tidak terdengar, seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun. Di dalam hatinya, dia berdoa dengan segenap kekuatannya.
Ketegangan terasa mencekam, seakan udara di ruangan itu menjadi berat dan sulit untuk dihirup. Setiap orang yang lewat seakan bergerak lambat, seolah-olah waktu berhenti. Di tengah ketakutan dan kecemasan, Gito dan Chika hanya bisa berharap, berharap bahwa di dalam ruang operasi itu, ada keajaiban yang sedang terjadi. Bahwa setiap langkah dokter adalah langkah yang membawa ibunya kembali dari ambang maut.
Setiap ketukan langkah perawat di koridor seolah membuat jantung Gito berdetak lebih cepat. Dia terus menggenggam tangan Chika, meremasnya begitu erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang menahannya dari kehancuran.
Dia tidak bisa membayangkan dunia tanpa ibunya. Dan di tengah ketegangan yang menyesakkan itu, hanya doa dan harapan yang tersisa.
Budioo_
![](https://img.wattpad.com/cover/369422398-288-k960581.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN) End
Romance-----------------------Cerita Gita & Shani--------------- Shani Indira, seorang wanita muda yang baru saja menyelesaikan S2 dengan predikat cum laude, terguncang oleh pertanyaan papanya tentang pernikahan. Shani yang perfeksionis dan ambisius, meras...