Hilmi menggigit bibirnya, menahan jemarinya agar tidak menekan tombol suka pada postingan terbaru Jinanda. Lelaki itu terlihat sangat tampan malam ini, walau hanya memakai kaos tanpa pernak-pernik hedon seperti Arga. Alis hitm tebalnya, bibir pinknya serta hidung mancung Jinanda, selalu bisa membuatnya pangling.
Sesekali Hilmi menge-zoom, foto tersebut, agar hanya Jinanda yang terlihat. Matanya terus memandangi wajah tampan Jinanda sesekali tangannya meremat seprai. Merasa gemas dengan senyum yang ditampilkan sang empu di foto tersebut. Ingin rasanya, Hilmi mencubit kecil pipi tirus Jinanda, kalau perlu ia kecup beberapa kali.
Dan gara-gara foto tersebut, Hilmi sampai berandai-andai.
Bagaimana jika suatu saat, ia dan Jianda menjadi sepasang kekasih?
Apakah, Jinanda akan menampikan senyum yang lebih lebar dari ini?
Apakah, Jinanda kan mencintainya sama besar seperti ia mencintai sang empu?
Dan masih banyak lagi pertanyaan random yang bisa membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan. Senyum lebar serta kekehan geli menghiasi wajah serta kamarnya. Rasanya, Hilmi benar-benar dibuat gila hanya karena melihat foto Jinanda. Laki-laki itu, entah kenapa berhasil menarik perhatiannya di awal pertemuan mereka.
Hilmi yang terlalu malas menaruh rasa suka kepada lelaki di dunia nyata, memilih untuk mencintai lelaki fiksinya. Pada saat matanya dan juga mata Jinanda bertemu malam itu, tatapannya seolah terkunci oleh pahatan sempurna wajah sang empu.
Mari kita memundurkan waktu sebentar.
Dulu kala, tepatnya malam minggu, tiga tahun yang lalu.
Hilmi diajak oleh sang Ayah untuk menghadiri acara makan malam yang diadakan oleh dua Perusahaan besar, yang merayakan keberhasilan atas kerja sama mereka dalam menjalankan proyek besar. Hilmi yang awalnya menolak, karena malam itu rencanaya dia akan pergi ke Gramedia untuk membeli novel incarannya.
Namun sang Ayah tak kehabisan akal, dengan membawa nama mendiang sang Istri, ia berhasil membuat Hilmi menuruti permintaanya. Walau setelahnya dia menyesal, karena hal itu membuat Putri semata wayangnya sedih. Hilmi tampil cantik dan anggun malam itu, gaun biru muda peninggalan sang Ibu menjadi pilihannya. Membuat Harris, sang Ayah, merasakan perasaan dejavu, saat pertama kali Ranti (Ibu), memakai gaun yang ia belikan.
Ayah membukakan pintu samping, tepat di mana sang Putri duduk di kendaraan roda empatnya. Hilmi tersenyum, lalu menyambut uluran tangan Harris. Setelahnya, raut wajahnya kembali murung, masih tak terima waktu malam minggunya terganggu.
"Senyum sayang, jangan buat orang ngiranya Ayah bawa paksa kamu datang ke sini." Kata Ayah, menghadap ke arahnya. Hilmi mengembungkan pipinya, meniup poninya kesal.
"Kan emang dipaksa, lagian kehadiran Hilmi di sini tuh engga penting, Ayah." Ayah yang mendengar jawaban sang anak, menggeleng tak setuju. Merapikan rambut sang Putri yang sedikit berantakan karena terpaan angin malam.
"Untuk Ayah itu penting, mereka semua harus tau kalau Ayah punya harta karun yang paling berharga." Hilmi tersenyum geli, namun tak urung, hatinya terasa hangat mendengar pujian tulus yang keluar dari bibir sang Ayah.
"Hm......emang berapa harganya?" Tanya Hilmi, mereka sudah dipersilahkan masuk setelah menunjukkan kartu undangan yang ada barrcode khususnya.
"Palung Mariana bahkan kalah sama kamu, nak." Lagi dan lagi, Ayah berhasil membuatnya tertawa geli. Mencubit kecil lengan sang Ayah yang merangkul pundaknya.
Hilmi rasanya sangat bersyukur, sang Ibu bertemu dengan orang yang tepat. Sehingga dia bisa merasakan kasih sayang serta perasaan cinta yang dituangkan Ayah dari dulu bahkan sampai sekarang. Semua itu tak berkurang, walau Ibu pergi jauh meninggalkan mereka dengan rasa sesak di hati keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite : Tiramisu
Fiksi Penggemar17+ ... Benar kata pepatah, dunia itu sempit. Berawal dari dirinya yang di paksa Harsa, Ayahnya, untuk turut ikut serta datang ke acara Kantor sang Ayah. Mengenakan dress peninggalan sang Ibu, Hilmi tampil cantik seimbang dengan penampilan sang Ayah...