Hari senin, menjadi hari yang paling melelahkan menurut beberapa orang. Tapi, bagi Hilmi hari senin adalah hari yang paling ia nantikan. Bukan karena mata pelajarannya bukan juga karena Upacara Bendera. Itu karena hari Senin adalah hari di mana Hilmi bisa melihat Jinanda secara dekat.
Seperti saat ini, Hilmi baru saja keluar dari area parkiran motor murid. Dari sini, dia bisa melihat wajah tegas Jinanda yang menelisik seragam para Siswa/i. Senyum tipis terukir di wajah Hilmi, Jinanda selalu bisa membuat bibirnya naik. Berdehem beberapa kali serta mendatarkan wajahnya, Hilmi berjalan mendekati barisan Siswa/i.
Hilmi melangkahkan kakinya dengan pasti, walau jantungnya kini berpacu lebih cepat dari biasanya. Di depannya ada 10 orang Siswa/i yang tengah berbaris untuk di lihat kelengkapan seragaknya, setelah itu adalah giliran barisannya. Hilmi memilih baris paling akhir, dia sudah memperhitungkan semuanya.
Meringis kecil saat melihat teman barisannya di pukul dengan koran tipis, tentunya tidak sakit. Di liriknya kerah, serta pinggangnya, aman, perlengkapan Upacaranya tidak tertinggal satu pun. Walau bisa saja, Hilmi sengaja melupakan dasi atau ikat pinggangnya agar bisa lebih lama menatap Jinanda dalam jarak dekat. Sayang, akal sehatnya selalu berhasil mengalahkan akal bodohnya.
Mengetuk telapak kakinya pelan, melirik kembali Jinanda yang dengan serius mengintrogasi beberapa Siswa/i di barisannya. Dua orang lagi, setelah itu adalah gilirannya diperiksa oleh Jinanda. Matanya menatap malas koran yang berada di tangan Jinanda yang sang empu gunakan untuk memeriksa para Siswa/i.
Seperti saat ini, koran yang digulung itu menjalar di tubuhnya. Memeriksa, apakah di balik seragamnya ini ada barang tersembunyi. Tangannya menekan gulungan koran tersebut ke area pinggang Hilmi yang terasa mengganjal.
"Ini, apa?" Tanya Jinanda, saat merasakan ada sesuatu di balik seragam siswi di depannya. Hilmi menaikkan alis sebelahnya, mengingat, barang apa yang ia sembunyikan di balik seragam putih abu-abunya.
"Oh, ini permen karet sama ko**ko, mau?" Tawar Hilmi lempeng, membuat Jinanda menggeleng takjub.
Aneh. Padahal ada saku, kenapa malah di taruh di balik seragam? Benar-benar, aneh.
Mata Jinanda menelisik wajah Siswi di depannya yang terlihat familiar. Izinkan Jinanda berpikir sebentar sebelum dia melanjutkan tugasnya, tak masalah, ada beberapa temannya yang juga berjaga di gerbang pagi ini. Melebarkan mata, sekelebat memori random hari itu berputar bak video dengan resolusi 144p, tidak jelas tapi dia ingat kejadian keseluruhannya. Siswi di depannya ini adalah Siswi yang menabrak dadanya hingga mimisan hebat.
Jinanda ingat, Siswi ini temannya Citra, Adel dan juga Katty, kan? Seketika Jinanda teringat niatnya untuk mengucapkan kata maaf yang tak sempat ia ucapkan hari itu. "Hm, lo yang waktu itu mimisan di kantin, kan?" Tanya Jinanda, menarik lengan Hilmi sedikit menjauh dari barisan para Siswa/i.
"Iya. Untuk yang itu, sorry banget ya, seragam lo gak kena darah gue kan?" Hilmi bertanya balik dengan wajah lempengnya, berbeda dengan jantungnya yang berdegup kencang serta hatinya yang berbunga.
"E-eh, harusnya gue bilang sorry. Kalau aja hari itu gue agak jaga jarak, mungkin lo gak bakal nabrak dada gue sampai mimisan." Ucapnya, menatap serius Hilmi. Sementara Hilmi berdehem, mengalihkan salah tingkahnya.
"Ah, engga pa-pa. Kalau gitu, gue balik ke kelas dulu ya-" Himi terdiam sebentar, menatap wajah Jinanda, berpura-pura tak mengetahui nama sang empu.
"Jinanda."
"Ah, gue balik ke kelas dulu Jinanda." Belum sepenuhnya pergi dari hadapan Jinanda, laki-laki itu menahan lengannya bak film romansa K-Drama dan India.
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite : Tiramisu
Fiksi Penggemar17+ ... Benar kata pepatah, dunia itu sempit. Berawal dari dirinya yang di paksa Harsa, Ayahnya, untuk turut ikut serta datang ke acara Kantor sang Ayah. Mengenakan dress peninggalan sang Ibu, Hilmi tampil cantik seimbang dengan penampilan sang Ayah...