20 Juli, menjelang 36 tahun.
Kebahagiaan di hati ini tumbuh begitu saja, perasaan bersalah yang selama ini menggantung di dadaku mulai memudar. Wajah Naruto, bayangan wajahnya yang sering muncul di saat-saat sepi, tak lagi menghantui seperti dulu.
Ada bagian dalam diriku yang merasa 'lupa,' atau mungkin—mati rasa. Hinata, Boruto, Himawari—mereka semua hadir mengisi celah kosong dalam hidupku, membuatku berpikir bahwa mungkin ini adalah waktuku untuk bahagia. Setelah semua penderitaan sejak kecil, mungkin inilah balasan dari takdir yang akhirnya berpihak padaku.
Boruto dan Himawari... Perlahan, mereka mulai memanggilku "Otou-san." Awalnya, kata-kata itu terasa aneh, canggung di telinga. Aku bukan Naruto—aku bukan ayah mereka, setidaknya bukan dari darah. Tapi semakin lama, panggilan itu terasa semakin alami. Ada sedikit kehangatan setiap kali Boruto memanggilku, atau Himawari yang tersenyum kecil saat memanggilku dengan sebutan itu.
Aku tidak pernah menduga akan ada yang memanggilku dengan kata seperti itu.
Malam-malam pun berubah. Aku tidak lagi dihantui mimpi buruk tentang pembantaian klan Uchiha. Gambar-gambar dari masa lalu yang suram, wajah Itachi yang membayang, kini tergantikan oleh mimpi-mimpi yang lebih lembut, penuh tawa dan senyuman dari keluargaku. Rasanya begitu asing, namun dalam keasingan itu ada ketenangan yang aku nikmati.
Musim panas di Konoha tidak mengurangi kehangatan dalam hatiku. Setiap hari terasa lebih cerah, bahkan ketika udara lembab menyelimuti kota.
Aku tahu Hinata sedang hamil, dan aku ingin dia merasa nyaman, rileks sebelum masa-masa melahirkan tiba. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mengajaknya, Boruto, dan Himawari berlibur ke sebuah tempat yang pernah kukunjungi saat masa penebusan dosaku—sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, penuh dengan ketenangan.
Sore itu, ketika aku menyampaikan rencanaku, Boruto dan Himawari langsung melompat kegirangan. Mereka berteriak saling sahut-menyahut, mencoba menebak-nebak ke mana aku akan membawa mereka.
“Otou-san, kita akan pergi ke pegunungan?” tanya Boruto dengan mata berbinar.
“Ke pantai, ya?” sambung Himawari tak mau kalah.
Aku tersenyum kecil mendengar antusiasme mereka. Mereka mungkin tak tahu, tapi di tempat itu, aku menemukan kedamaian dalam keheningan. Sebuah tempat yang tak pernah kubayangkan akan kubagikan dengan orang lain, apalagi dengan keluarga.
Hinata hanya diam, tersenyum lembut sambil memperhatikan mereka. Ada ketenangan dalam caranya memandang, seolah-olah dia sudah tahu apa yang kupikirkan sebelum aku mengatakannya. Saat Boruto dan Himawari berlarian menuju kamar mereka untuk mulai berkemas, aku menatap Hinata, mengulurkan tangan padanya.
“Kau akan suka tempatnya,” ucapku, mencoba memastikan.
Hinata menggenggam tanganku dengan erat. “Aku tahu. Terima kasih sudah mengajakku dan anak-anak ubtuk berlibur.” Ada kelembutan dalam suaranya, sesuatu yang membuatku lupa sejenak akan beban-beban masa lalu.
Kami saling menatap untuk beberapa detik. Di wajahnya, aku bisa melihat sesuatu yang sederhana—ketulusan. Mungkin untuk pertama kalinya, aku mulai benar-benar merasa bahwa ini... semuanya memang pantas untukku. Bahwa setelah semua penderitaan, aku layak merasakan kebahagiaan ini. Tapi di dalam hati, aku juga tahu... bayangan Naruto, rasa bersalah itu, mungkin tak akan sepenuhnya hilang.
Namun untuk sekarang, aku akan membiarkan diriku merasakan apa yang ada di depan mataku. Aku akan menikmati kebahagiaan ini, bahkan jika untuk sesaat.
Darah Uchiha memang terkutuk, namun, kali ini, mungkin saja, Kami-sama bermurah hati kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aishiteru de, Gomenasai (Sorry, But I Love You)
FanfictionCover by Taara Uchiha adalah pendengki terbesar yang ada di muka bumi. Seperti Indra kepada Ashura... Seperti Madara kepada Hashirama... Dan sepertiku kepada Naruto.