05 Maret. 34 tahun.
Semua terjadi begitu cepat. Bermula dari Hinata yang menerima lamaranku, kepindahanku ke Distrik Uchiha, kunjunganku ke Klan Hyuuga untuk meminang Hinata—yang entah mengapa disambut baik oleh para tetua Hyuuga...
Lalu sekarang...saat kulihat ia berjalan ke arahku, memakai shiromuku dan wataboshi yang berkilauan diterpa sinar matahari musim semi...berjalan perlahan didampingi oleh Hyuuga Hiashi yang memasang raut wajah tajam. Seakan memperingatkanku untuk tidak macam-macam dengan putri sulungnya.
Di belakang, berjalan beriringan, Himawari dan Boruto membawa ranting bunga sakura, tersenyum padaku, penuh pengharapan...
Himawari ingin Okaa-chan bahagia.
Aku mengingat perkataan gadis kecil itu saat ia menerimaku sebagai calon suami Hinata. Sebagai ayahnya.
Tentu saja aku akan melakukan segalanya agar mereka bahagia.
Aku memiliki semuanya. Harta, kekuatan, rasa cinta...yang sangat dalam kepada Hinata.
Bukankah itu cukup untuk membuat siapapun bahagia?
Hinata menengadahkan wajah. Tatapan mata kami sempat bertemu untuk beberapa detik. Sesuatu di hatiku muncul di permukaan.
Seakan ada simfoni indah di antara kojiki yang dilantunkan oleh pendeta muda. Aku tak tahu lantunan kitab suci kuno itu bisa indah untuk didengar.
Seakan bunga sakura yang sedang mekar lebih berkilau daripada biasanya. Aku tak pernah tahu, kelopak bunga yang rapuh bisa secantik itu.
Apa musim semi tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya?
Apakah udara musim semi bisa senyaman ini?
Kutatap Hinata yang menundukkan wajah. Perlahan wajahnya terangkat, memantulkan warna shiromuku yang berkilauan. Perlahan matanya menelusuri rahang, bibir, lalu ke mataku. Namun refleks kutundukkan wajah. Tak berani balas menatapnya.
"Ehem..."
Kudengar Hiashi Hyuuga berdeham pelan. Memperingatkanku yang mungkin saja terlihat bodoh, bersyair di siang bolong, salah tingkah seperti orang tolol di tengah upacara pernikahan. Di tengah ratusan mata perak yang tertuju kepadaku.
Rasa gugup menyergapku. Detak jantungku memacu, seperti ada gumpalan besar tersumpal di tenggorokan, tercekat, pandanganku tak fokus.
Terakhir kali aku merasakan hal ini, adalah saat aku bertatap muka dengan Itachi.
Tapi sekarang hari pernikahanku. Mengapa aku merasa seperti sedang bertaruh nyawa?
Kulirik sosok yang berdiri di samping kananku. Wajahnya berkilauan diterpa sinar matahari musim semi. Lalu ia balas menatapku. Tatapan canggung dan gugup yang sama seperti yang kurasakan.
Aku mengangguk padanya. Meyakinkannya, meyakinkanku bahwa ini tepat. Bahwa keputusannya untuk menikah denganku adalah keputusan yang tepat.
Bahwa aku tidak licik.
Bahwa aku tidak tamak seperti Indra yang ingin berkuasa di Klan Hagoromo
Bahwa aku tidak tamak seperti Madara yang ingin menguasai dunia shinobi.
Bahwa aku tidak tamak saat membiarkan cambuk api Urashiki mengenai jantung Naruto.
Aku tidak tamak... aku hanya ingin merasakan kebahagiaan yang sudah lama terenggut.
Aku mencintai Hinata, dan itu adalah kesalahan terbesarku. Terlebih lagi, aku membiarkan Naruto terbunuh saat itu. Dia, yang seharusnya bersanding dengan Hinata, kini tiada. Kematian Naruto masih segar dalam ingatan semua orang, dan kini aku di sini, menggantikan tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aishiteru de, Gomenasai (Sorry, But I Love You)
FanfictionCover by Taara Uchiha adalah pendengki terbesar yang ada di muka bumi. Seperti Indra kepada Ashura... Seperti Madara kepada Hashirama... Dan sepertiku kepada Naruto.