Uchiha

692 107 94
                                    

28 Januari. 42 tahun. Tetsu no Kuni.

Rasanya seperti menatap cermin dari masa lalu. Di depan mataku, berdiri Boruto, anak yang dulu pernah kupandang sebagai bagian dari Naruto, sekarang lebih mirip diriku daripada ayahnya.

Di usianya yang ke-19, Boruto berdiri tenang, dengan jubah hitam panjang yang mengingatkanku pada hari-hari ketika aku menyendiri, menanggung beban nama Uchiha. Gerakannya terkendali, sikapnya dingin, matanya yang kini tertutup sebagian oleh untaian rambutnya... Jika bukan karena rambut pirang dan mata biru itu, mungkin tak ada yang akan mengira dia adalah anak Naruto.

"Jougan..." Suaranya memecah keheningan, membawa pikiranku kembali ke kenyataan.

Jougan. Mata yang bahkan aku sendiri masih kesulitan memahami sepenuhnya. Shikamaru pernah menyinggungnya beberapa kali dalam perbincangan kami. Menurutnya, Jougan adalah hasil dari darah Ootsutsuki—gabungan garis keturunan Hagoromo dan Hamura yang bersatu dalam tubuh Boruto. Satu lagi jejak takdir yang tidak bisa dihindari, sesuatu yang bahkan aku tidak bisa abaikan.

Aku tahu ini penting. Tapi berulang kali aku mengingatkan Shikamaru bahwa aku sedang menjalankan misi jangka panjang. Aku tidak ingin dibebani hal-hal yang bersifat personal. Misi ini... semua ini adalah cara untuk menjaga jarak dari apa yang telah kutinggalkan. Dari mereka.

Tidak ada yang tahu, tidak satu pun dari nakama kami yang memahami apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Hinata. Apa yang kubawa dari Konoha. Bahkan Shikamaru, yang paling dekat dengan semua urusan, hanya bisa menyuruhku pulang dulu sebelum melanjutkan misi berikutnya. Tapi aku bertanya-tanya, apakah masih ada tempat bagiku di Konoha? Orang-orang yang pernah kuanggap rumah telah menyuruhku pergi.

Kadang, aku melihat bagaimana reaksi orang-orang di sekitarku. Beberapa nakama yang melakukan misi denganku hanya memandangku lebih lama dari yang seharusnya.

Mungkin mereka sadar, tapi mereka diam. Sakura... dia tahu lebih dari siapa pun, tapi ketika kami bertemu singkat di Uzushiogakure, dia tidak pernah menyinggung Konoha, apalagi Hinata. Karin, yang bersama Sakura saat itu, hanya menatapku dengan pandangan tajam, seperti biasa, tanpa bertanya lebih jauh.

Mungkin semua orang sudah tahu akhir cerita ini sejak awal. Bahwa aku akan terus di luar Konoha, menjalankan misi demi misi, sementara Hinata tetap berada di sana, di desa yang pernah kuanggap rumah. Mungkin mereka berpikir tak ada cinta sejati di antara kami, hanya sebuah pernikahan formal yang ditandatangani di atas kertas.

Tapi, bagiku, itu lebih dari sekadar status.

Jadi, aku bertanya-tanya, adakah tempat bagiku untuk pulang, atau akankah aku terus melangkah lebih jauh, sampai aku kehilangan semua yang pernah kupikir bisa kucintai?

.
.
.

Aku ingin bertanya mengapa Boruto ada di sini, di Tetsu no Kuni, tempat yang sama sekali tak cocok bagi seorang Uzumaki. Tapi kata-kataku tak pernah keluar. Lidahku membeku, tak berbeda dengan hamparan salju yang membentang di depan kami.

Aku menatapnya, berusaha mencari jawaban dalam diam, sementara Boruto menatap lurus ke arahku, dengan ketenangan yang begitu asing dari anak yang dulu kukenal.

"Aku berpikir mungkin ini saatnya, Sasuke-sensei," suaranya akhirnya terdengar, rendah dan penuh keyakinan.

Aku terdiam. Saatnya untuk apa? Apa yang dia maksud? Aku tak mengerti.

Boruto melanjutkan, "Beberapa bulan yang lalu, ada sebuah hari di mana aku hampir mati... dan kurasakan chakra Ayah menyelimutiku. Seolah ia ada di sana, bersamaku."

Mataku membesar tanpa bisa kutahan. Naruto...? Jadi, Naruto juga menanamkan sebagian chakranya ke tubuh Boruto? Sama seperti yang dia lakukan padaku?

"Ayah membawaku kembali," Boruto berkata pelan, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut. "Ia bilang aku tidak semestinya berada di sana. Aku harus kembali dan menjadi anak sulung yang baik untuk Okaa-chan. Anak sulung yang baik untuk Uzumaki... dan Uchiha."

Aishiteru de, Gomenasai (Sorry, But I Love You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang