27 Juli. 36 tahun.
Liburan di Hoshigakure seharusnya menjadi momen yang menyenangkan. Sejak awal aku berpikir tempat ini akan menjadi pelarian yang tepat—desa kecil di pegunungan, jauh dari hiruk pikuk Konoha, diterangi oleh gemerlap lampu seperti bintang-bintang di langit. Hinata tampak antusias, senyum lembutnya selalu menghiasi wajahnya. Boruto dan Himawari pun tampak tak sabar, bersemangat untuk menjelajahi desa baru ini. Namun, bagiku... liburan ini tak terasa seperti liburan.
Mimpi buruk itu masih menghantuiku, seolah menjadi bayang-bayang yang terus melekat di pikiranku. Mimpi di mana aku melihat Naruto, tubuhnya yang lunglai setelah terkena cambuk Urashiki, dan tatapan penuh kebencian yang ia lontarkan padaku. Aku bisa saja menghentikan Urashiki saat itu, tapi aku memilih tidak melakukannya. Sejak mimpi itu, seolah-olah dewa-dewa sedang menghukumku. Setiap langkahku terasa berat, dan meskipun aku berusaha keras untuk menutupi semua itu dari mereka—Hinata, Boruto, Himawari—rasanya aku selalu gagal.
“Otou-san, lihat ini! Langitnya penuh bintang!” teriak Himawari sambil menunjuk ke langit, matanya berbinar-binar penuh kekaguman.
Aku menoleh, memaksakan diri untuk tersenyum. “Ya, Himawari. Indah sekali.”
Boruto, yang berjalan sedikit di belakang, mengangguk setuju. “Kau benar, Himawari. Tempat ini seperti planet lain. Hebat juga, Otou-san, bisa memilih tempat seperti ini.”
Aku hanya mengangguk pelan. Pilihanku... tempat ini seharusnya menjadi momen bagi kami untuk lebih dekat. Aku ingin melihat mereka tertawa, bermain tanpa khawatir, terutama Hinata. Dia sudah memasuki bulan keenam kehamilan, dan kupikir tempat ini akan membuatnya rileks. Tapi di balik itu semua, rasa bersalahku terus membayangi pikiranku.
Hinata mendekat, menyentuh lenganku dengan lembut. “Kau baik-baik saja, Sasuke-kun?”
Matanya lembut, penuh perhatian seperti biasa. Dia selalu tahu ketika ada sesuatu yang tidak beres denganku. Aku hanya mengangguk. “Aku baik-baik saja,” jawabku singkat. Namun, jujur saja, aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa terus menyembunyikan ini darinya.
Setiap malam di Hoshigakure, meski aku berada di samping Hinata, perasaan itu tidak pernah hilang. Aku tak bisa lepas dari pikiran bahwa ini semua adalah kesalahan. Mimpi buruk itu, tatapan Naruto yang penuh kebencian, dan fakta bahwa aku—Sasuke Uchiha—adalah orang yang membiarkannya mati. Aku sudah mengambil tempat yang seharusnya menjadi milik Naruto. Setiap kali aku menatap wajah Boruto, wajah Himawari, dan bahkan Hinata, perasaan bersalah itu semakin menggelayuti hatiku.
Hoshigakure mungkin indah, tapi tidak ada keindahan yang bisa menyembunyikan rasa bersalah yang mendalam di hatiku.
***
Sore itu, udara di Hoshigakure sedikit lebih berat dari biasanya. Aku dan Boruto sedang berlatih di halaman belakang penginapan, di bawah langit yang perlahan berubah jingga. Latihan rutin ini seharusnya menjadi pengalihan pikiran yang sempurna, cara untuk melupakan sejenak semua beban yang menggelayut di pikiranku. Tapi ternyata tidak semudah itu.
Boruto, seperti biasa, menunjukkan tekad yang kuat. Dia terus berusaha sebaik mungkin, menggenggam pedangnya dengan tangan yang mulai bergetar namun tidak pernah menyerah. Matanya penuh tekad—sebuah perpaduan antara ketekunan Naruto dan sedikit kekelaman yang mungkin diwarisinya dariku.
Aku melihat diriku sendiri dalam dirinya, namun saat aku perhatikan lebih lama, aku menyadari ada pancaran lain di balik matanya. Pancaran itu, betapapun kuingkari, adalah milik Naruto.
Aku mencoba fokus, memusatkan pikiranku pada pedang yang kugenggam. Kusanagi terasa dingin di tangan kananku, sementara tangan kiriku... tak ada di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aishiteru de, Gomenasai (Sorry, But I Love You)
FanfictionCover by Taara Uchiha adalah pendengki terbesar yang ada di muka bumi. Seperti Indra kepada Ashura... Seperti Madara kepada Hashirama... Dan sepertiku kepada Naruto.