Lonely

1K 138 83
                                    

Aku mencium aroma misoshiru dan nasi hangat. Sudah mirip dengan aroma yang aku ingat setiap berkunjung ke kediaman Uzumaki. Aku tersenyum tipis. Lama kelamaan, cepat atau lambat, sebentar lagi, rumah ini akan sehangat rumah yang terletak di pusat desa itu. Rumah Uchiha yang dingin dan menyimpan jejak darah, akan secerah musim panas yang indah seperti hari ini.

Aku duduk di ruang makan, menatap dekorasi yang bertebaran di sekeliling. Pita-pita berwarna cerah menggantung dari langit-langit. Meja sudah dipenuhi hidangan yang tampak lezat, hasil masakan Hinata seharian. Tapi, aku masih tidak mengerti, kenapa rumah ini mendadak begitu ramai dengan persiapan? Kenapa Boruto dan Himawari tertawa setiap kali kutanyakan tentang ini?

Hinata memintaku memompa balon, dan tanpa protes, aku lakukan apa yang ia minta.

Aku duduk di lantai, mencoba memompa balon dengan satu tangan, sambil menyadari betapa menyebalkannya memiliki hanya satu tangan. Tangan kiri yang dulu selalu kugunakan untuk hal-hal kecil seperti ini... kini hanya bayangan yang mengingatkanku pada semua yang hilang. Pompa balon itu terus saja terpental saat aku mencoba menahannya dengan bahuku, membuat frustrasi semakin memuncak di dadaku.

Di sudut ruangan, Himawari memperhatikan, tawanya terdengar ringan saat aku berjuang dengan balon itu. “Sasuke-sensei, mau kubantu?” tanyanya dengan mata berbinar.

Aku menahan diri untuk tidak tersenyum. “Aku bisa melakukannya sendiri,” jawabku datar, meskipun sedikit senyum tersembunyi mulai muncul di bibirku. Balon itu akhirnya terpompa setelah beberapa kali mencoba, tapi bukan berarti tanpa kesulitan. Himawari masih berdiri di sana, tertawa kecil dengan canda tawa yang mengisi ruang yang dulu sunyi dan suram.

Boruto masuk beberapa saat kemudian, melihatku dengan senyum menyeringai. "Kelihatan keren, Sasuke-sensei. Memompa balon seperti itu," katanya dengan nada sarkastik yang biasa.

Aku menatapnya sekilas. “Kalau kau punya waktu untuk bercanda, lebih baik bantu aku saja.”

Dia tertawa dan ikut membantu menempelkan balon di beberapa sudut. Meski canggung, suara mereka membuat Distrik Uchiha yang dulu penuh dengan tragedi kini menjadi lebih hidup. Ini adalah kehidupan yang tak pernah kubayangkan—penuh dengan tawa, canda, dan bahkan kejengkelan kecil seperti memompa balon dengan satu tangan.

Tanganku yang hanya satu, sibuk menempelkan balon-balon itu di sudut-sudut ruangan, tapi pikiranku melayang.

Apa Naruto selalu melakukan ini selama hidupnya?

Jujur saja, aku bukan manusia yang menyukai warna-warni dan keramaian menyolok mata seperti ini, hanya saja... ada perasaan yang kurasakan saat melihat ruang makan Uchiha yang monoton ini berubah menjadi ruangan warna-warni.

Seakan setiap warna yang tertangkap oleh mataku adalah pengingat bahwa hidupku tak akan sendirian lagi, tak akan kelabu lagi. Karena Hinata, Boruto dan Himawari ada di sini.

Tapi tetap saja, aku memiliki apa yang dulu pernah Naruto miliki. Rasanya... sedikit menyedihkan tapi aku tak peduli.

Bukan aku yang mati, aku harus melangkah ke depan.

Selesai menempelkan balon, aku duduk di kursi dekat meja makan. Ruangan ini dihias begitu indah, hampir terlalu ramai untuk seleraku. Tapi kurasa, ada sisi lain dari kehidupanku yang baru yang juga belum sepenuhnya bisa kumengerti. Boruto dan Himawari tampak riang, mereka berlalu-lalang di sekitar rumah, dan saat kutanya lagi, untuk kesekian kali soal apa yang sedang terjadi, mereka hanya terkikik pelan, seolah menyimpan rahasia besar.

“Ada apa sebenarnya?” aku bertanya lagi, kali ini kepada Hinata yang sibuk mengaduk sesuatu di panci.

Dia menatapku sekilas, senyum kecil terulas di bibirnya. “Nanti kau akan tahu, Sasuke-kun.”

Aishiteru de, Gomenasai (Sorry, But I Love You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang