Efek Kupu-Kupu

120 13 3
                                    

Juni, 2023

Langit sore itu tampak kelabu, disertai rintik-rintik hujan yang jatuh pelan di atas kaca mobil. Suasana di luar serasa ikut meresap ke dalam hati wanita itu, yang tak henti-hentinya memikirkan bagaimana kondisi seseorang yang akan ditemuinya— yang terbaring lemas di rumah sakit, dalam kondisi yang belum jelas. Jantungnya berdetak kencang, cemas memikirkan apa yang akan ia temui begitu tiba di sana. Ketika taksi berhenti di depan rumah sakit, Wanita itu turun dengan langkah berat. Pintu otomatis rumah sakit terbuka, dan aroma antiseptik serta dinginnya pendingin ruangan langsung menyambutnya. Ia menghampiri meja resepsionis dengan sedikit gemetar.

“Maaf, saya mencari pasien bernama Glamora Althar Liora,” katanya dengan suara yang hampir tersendat.

Resepsionis memeriksa komputer sejenak, lalu memberikan arahan ke lantai tiga, kamar 314. Dengan napas yang ditahan, Wanita itu melangkah menuju lift. Di dalamnya, ia merasa seolah-olah seluruh dunia memadat, menghimpitnya dari segala arah. Ketika pintu lift terbuka, ia melangkah ke lorong panjang yang sunyi, menapaki lantai dingin dengan langkah-langkah yang terdengar samar.

Kamar 314. Di sanalah seseorang yang ingin ditemuinya berada. Wanita itu menatap pintu putih itu selama beberapa detik sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu.

Dilihatnya seorang pria terbaring di atas ranjang, diselimuti kain putih rumah sakit dengan alat-alat medis disekitarnya. Tubuhnya tampak lebih kurus daripada yang terakhir kali dilihat wanita itu, hampir seolah waktu merampas sebagian besar kekuatannya. Wajahnya pucat, dan kantung matanya lebih hitam dari biasanya. Ada sesuatu yang salah; bukan hanya soal kesehatannya yang memburuk, tetapi seolah-olah pria yang pernah ia sayangi sepenuh hati itu terjebak dalam sesuatu yang jauh lebih gelap. Melihatnya seperti itu membuat hati wanita itu tenggelam dalam kesedihan.

Dengan langkah perlahan, wanita itu duduk di kursi di samping tempat tidur. Jari-jarinya menyentuh tangan yang terkulai, mencoba merasakan kehadirannya meski pria itu tidak merespons. Matanya masih tertutup rapat, tenggelam dalam dunia yang tak bisa wanita itu jangkau.

Wanita itu menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar. Pandangannya teralihkan ke meja kecil di samping ranjang. Di sana, sebuah buku dengan sampul kusam tergeletak, membangkitkan rasa penasarannya. Ia meraihnya, merasakan tekstur kasarnya di telapak tangan. Gambar rasi bintang membentuk sebuah harpa menghiasi sampulnya, sementara ada satu titik kecil di luar garis-garisnya yang sama sekali tidak ia mengerti. Ia melirik pria itu yang masih terbaring diam, dan wanita itu ingat pernah memberi tahu bahwa namanya merupakan arti dari sebuah rasi bintang yang membentuk alat musik mirip seperti harpa. Kini, rasa penasaran yang tak tertahankan mulai menguasainya. Perlahan, ia mulai membuka halaman pertama.


******

April, 2018

"Glamora Althar Liora, remedial lagi ya!"

Sepintas, aku masih bisa mendengar kalimat Bu Heni, guru ekonomi ku di kelas 3 SMA. Pelajaran tentang cara menghitung nilai total barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara terasa sangat menyebalkan saat itu—seperti halnya mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu muncul tentang arti namaku. Namaku memang cukup unik. Begitu unik hingga bahkan mesin pencari pun kesulitan menemukan artinya. Penyesalanku adalah tidak sempat menanyakan maknanya kepada mereka yang memberikannya, Ayah dan Ibu, sebelum mereka meninggal dalam kecelakaan tunggal saat aku masih duduk di bangku SD. Kadang, sebelum tidur, aku berharap setidaknya salah satu dari mereka muncul dalam mimpiku, hanya untuk membisikkan arti nama yang mereka pilih. Agar aku bisa menjawab setiap kali orang bertanya. Bertanya pada kakakku, satu-satunya keluarga yang tersisa, sama sekali tidak membantu—dia sendiri juga tidak tahu.

TERMODINAMIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang